Berhubung tidak bisa upload foto di blog, akhirnya aku tempel di sini. Cap jae kampung yang menurutku enak dan bergizi. Terimakasih ya mbak Ine atas resepnya.
Friday, 20 October 2006
Cap jae kampung Londo
Berhubung tidak bisa upload foto di blog, akhirnya aku tempel di sini. Cap jae kampung yang menurutku enak dan bergizi. Terimakasih ya mbak Ine atas resepnya.
Cap jae kampung Londo
Setelah membaca resepnya Mbak Ine tentang cap cay kampung, membuat aku pengin mencoba bikin. Maklum, ini masalah memory di Semarang yang nggak pernah terlupakan. Dulu orang-orang menyebutnya cap jae, bukan can cay. Tapi terus terang walaupun keekian nya cuma trigu dan telur kok ya rasanya miroso tenan.
Terlampir gambar masakan cap jae ku. Menurutku sih enak ya. Karena saking kepinginnya bikin keekian kampung, aku yo bener-bener nyonto resep keekian nya mbak Ine, nggak ditambah, nggak dikurangi. Misalnya, tepung 150 gram, yo tak grami tenan kae. Airnya 30 cc, yo bener-bener aku ukur 30 cc pake gelas ukuran. Padahal biasanya kalau nyonto resep, yo aku ubah-ubah sak sukaku sesuai seleraku.
Tapi kalau sayuran dan masak cap jae nya, aku yo sesuaikan dengan seleraku dan tentu saja persediaan bahan di kulkas ku. Yang jelas, aku tambahi udang sedikit, tapi sedikit lho ya soalnya takut rasa kampungnya ilang. Selain itu, udang di sini rasanya rada hambar, nggak kayak udang di Indonesia. Lha yo gimana nggak hambar, wong aku pake udang beku. Udang kayak gini setahuku udang import. Sebelum diimport, pasti udangnya dikupas dulu, dimasak dulu, terus kuahnya dibuang, baru dikemas. Jadi ya bisa dibayangkan kalau sari udangnya sudah banyak yang ilang. Ngomong muter-muter kayak gini sebetulnya cuma mau ngasih tahu kalau cap jae ini masih cap jae kampung, wong walaupun pake udang, tapi kan udangnya cuma dikit tapi paling enggak masih berasa udang lamat-lamat walaupun cuma dikit karena sarinya banyak yang hilang.
Kalau sayurannya seperti biasa, aku sukanya warna-warni. Yang ada di kulkas, aku masukin yang penting kayak warna pelangi: wortel, kapri, kembang kol, kacang polong, tomat. Sampai-sampai paprika saja dimasukkan, wong namanya cap jae kampung Londo. Nggak punya kobis, jadi nggak pake kobis. Kebetulan Leo juga nggak suka kobis, jadi ya tidak masalah walaupun kadar kekampungannya menjadi turun walaupun sedikit. Karena nggak punya daun bawang, aku masukkan prei (kebetulan prei sedang murah di sini)
Di resep di tulisnya pake kaldu atau air. Berhuhung nggak punya kaldu ayam, aku cuma pake kaldu bubuk. Kebetulan punya brambang goreng dan seledri mentah. Jadi yo lumayan buat taburan di atasnya, biar kelihatan meriah dan cukup miroso.
Kalau ditanya apakah bergizi atau tidak, menurutku sih bergizi karena banyak sayurannya. Selain itu, tidak terlalu banyak kolesterol karena nggak pake daging, udangnya sak upit sporadis sekali (bahkan hampir nggak kelihatan kalau tidak dipetani satu-satu). Telur cuma satu (untuk bikin kekian) untuk makan berdua. Jadi yo kesimpulanku, cap jae kampung ini justru menu sehat. Terimkasih ya mbak Ine atas resepnya.
Ketika ditanya Leo, ini masakan apa, aku bilang cap jae kampung. Kata dia, not bad.....
Jadi.... cap jae kampung sudah masuk Londo! Opo ora hebat?
Terlampir gambar masakan cap jae ku. Menurutku sih enak ya. Karena saking kepinginnya bikin keekian kampung, aku yo bener-bener nyonto resep keekian nya mbak Ine, nggak ditambah, nggak dikurangi. Misalnya, tepung 150 gram, yo tak grami tenan kae. Airnya 30 cc, yo bener-bener aku ukur 30 cc pake gelas ukuran. Padahal biasanya kalau nyonto resep, yo aku ubah-ubah sak sukaku sesuai seleraku.
Tapi kalau sayuran dan masak cap jae nya, aku yo sesuaikan dengan seleraku dan tentu saja persediaan bahan di kulkas ku. Yang jelas, aku tambahi udang sedikit, tapi sedikit lho ya soalnya takut rasa kampungnya ilang. Selain itu, udang di sini rasanya rada hambar, nggak kayak udang di Indonesia. Lha yo gimana nggak hambar, wong aku pake udang beku. Udang kayak gini setahuku udang import. Sebelum diimport, pasti udangnya dikupas dulu, dimasak dulu, terus kuahnya dibuang, baru dikemas. Jadi ya bisa dibayangkan kalau sari udangnya sudah banyak yang ilang. Ngomong muter-muter kayak gini sebetulnya cuma mau ngasih tahu kalau cap jae ini masih cap jae kampung, wong walaupun pake udang, tapi kan udangnya cuma dikit tapi paling enggak masih berasa udang lamat-lamat walaupun cuma dikit karena sarinya banyak yang hilang.
Kalau sayurannya seperti biasa, aku sukanya warna-warni. Yang ada di kulkas, aku masukin yang penting kayak warna pelangi: wortel, kapri, kembang kol, kacang polong, tomat. Sampai-sampai paprika saja dimasukkan, wong namanya cap jae kampung Londo. Nggak punya kobis, jadi nggak pake kobis. Kebetulan Leo juga nggak suka kobis, jadi ya tidak masalah walaupun kadar kekampungannya menjadi turun walaupun sedikit. Karena nggak punya daun bawang, aku masukkan prei (kebetulan prei sedang murah di sini)
Di resep di tulisnya pake kaldu atau air. Berhuhung nggak punya kaldu ayam, aku cuma pake kaldu bubuk. Kebetulan punya brambang goreng dan seledri mentah. Jadi yo lumayan buat taburan di atasnya, biar kelihatan meriah dan cukup miroso.
Kalau ditanya apakah bergizi atau tidak, menurutku sih bergizi karena banyak sayurannya. Selain itu, tidak terlalu banyak kolesterol karena nggak pake daging, udangnya sak upit sporadis sekali (bahkan hampir nggak kelihatan kalau tidak dipetani satu-satu). Telur cuma satu (untuk bikin kekian) untuk makan berdua. Jadi yo kesimpulanku, cap jae kampung ini justru menu sehat. Terimkasih ya mbak Ine atas resepnya.
Ketika ditanya Leo, ini masakan apa, aku bilang cap jae kampung. Kata dia, not bad.....
Jadi.... cap jae kampung sudah masuk Londo! Opo ora hebat?
Attachment: cjk.JPG
Monday, 2 October 2006
Komnas Hak Asasi Bumbu
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
Selain nye-tok kacang, tentu saja nyetok kencur, daun jeruk dsb. Sampai-sampai Leo bilang: "aku dulu waktu masih single, koelkast ini isinya nggak ada yang namanya barang-barang kayak gitu. Sekarang freezer jadi full of boemboe"
Aku bilang: "Ah...kamu juga suka kok kalau aku masak macem-macem"
Lha gimana nggak nyetok, kalau di Indonesia sih gampang. Pengin menggunakan daun jeruk, kencur dsb tinggal nyegat tukang sayur atau ke pasar atau ke supermarket. Dapatnya fresh lagi. Lha di sini, boemboe kayak gitu kan eksotik, harus ke Asian supermarket atau toko-toko Indonesia yang menjual kayak gituan. Itu artinya harus ke Rotterdam atau ke Rijswijk. Perjalanan sih nggak ada sejam, tapi kalau naik openbaar vervoer alias public transportation kan mahal sekali. Belum lagi berat, jadi harus bawa mobil. Jadi kalau mau beli boemboe ya harus nunggu longgarnya Leo untuk nganterin ke sana.
Kembali ke bumbu pecel lagi. Aku jarang sekali beli bumbu pecel karena pernah beli merk Karang Sari tapi kok rasanya sudah apek. Mungkin sudah lama kali ya di toko. Terus pernah lagi beli bumbu gado-gado yang merk lokal, rasanya menurutku lebih parah. Atau mungkin lidahku saja yang nggak pas dengan pecel nya Londo.
Aku bilang sama teman, gado-gado di sini rasanya sudah menyalahi hak-hak asasi bumbu gado-gado. Begitu juga nasi goreng, rasanya aneh, bakmi goreng berasa nggak ngalor nggak ngidul. Betul-betul menyalahi pakem (lha tapi kalau para Londo suka, yo nggak po-po yo?). Temanku kemudian bilang: "wah kalau gitu, harus didirikan KOMNAS HAB (Hak Asasi Bumbu) nih"
Kabar bahwa Leo suka gado-gado sudah tersebar luas diantara keluarga, kerabat dan teman-teman semua. Saking santernya kabar tersebut, waktu kami pulang kampung, setiap orang yang kami datangi baik itu bude, saudara sepupu, keponakan, teman-teman semua pasti nyuguhinya gado-gado atau pecel. Dari mulai pecel Madiun, Kediri, gado-gado Jakarta dll. Bahkan waktu di Kediri, bude selalu membelikan pecel dari pasar untuk sarapan pagi. Leo sebetulnya nggak pernah sarapan, tapi nggak enak juga untuk menolak. Selain itu melihat pecel Kediri yang dibungkus pake daun dan ditambah dengan rempeyek dan kerupuk, ya siapa bisa nolak. Apalagi nasinya anget dan minumnya teh anget, pasti enak to.
Waktu di Semarang juga gitu. Seorang saudara bahkan import khusus bumbu pecel dari Ngawen untuk disajikan sebagai salah satu menu suguhan untuk kami. Kalau nggak salah yang membuat namanya ibu Kusrin. Bumbu pecelnya enak, dan wangi daun jeruknya terasa harum sekali. Belum lagi kencurnya juga terasa, tapi nggak getir, wong sudah dicampur dengan macem-macem bumbu lainnya tentunya. Wis pokoknya top rasanya. Kalau dibandingkan dengan pecel made in Londo, ya jauhlah. Pecel made in Ngawen ini jauh lebih uenak. Kebetulan Leo suka pedes, jadi nggak masalah dia makan pecel yang pedas harum ini.
Nggak tanggung-tanggung, saudaraku ini malah sudah membelikan bumbu pecel berplastik-plastik untuk kami bawa pulang ke Belanda. Jadi jangan kaget kalau waktu itu mungkin seperempat isi koper kami adalah bumbu pecel made in Ngawen. Lumayan juga buat persediaan berbulan-bulan. Kalau males masak, tinggal ngencerin bumbu dan ngrebus sayuran.
Di Jakarta juga sama. Waktu itu kami ketemu mbak Suci, istri almarhum Munir, dia juga ngajak ke warung dekat rumahnya untuk makan pecel. Kata mbak Suci, wis mumpung di sini, ayo kita makan rujak cingur atau pecel Madiun. Lumayan juga sih rujak cingurnya walaupun made in Bekasi, bukan made in Suroboyo. Leo milih pecel Madiun. Katanya sih enak (wong aku nggak ikut ngicipin). Kalau nggak enak, yo nanti tak laporkan ke Komnas Hak Asasi Bumbu to!
Have a nice day.
Sri
PS. Gambar bintang (rating) nggak ada hubungannya dengan review. Aku langganan Multiply yang gratis, jadi yo ora lengkap, kebetulan bagian blog sudah kepake untuk yang lain. Mau langganan yang mbayar, percuma, karena blog cuma diisi setahun sekali. Hi...hi...hi... dasar males!
Komnas Hak Asasi Bumbu
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
Selain nye-tok kacang, tentu saja nyetok kencur, daun jeruk dsb. Sampai-sampai Leo bilang: "aku dulu waktu masih single, koelkast ini isinya nggak ada yang namanya barang-barang kayak gitu. Sekarang freezer jadi full of boemboe"
Aku bilang: "Ah...kamu juga suka kok kalau aku masak macem-macem"
Lha gimana nggak nyetok, kalau di Indonesia sih gampang. Pengin menggunakan daun jeruk, kencur dsb tinggal nyegat tukang sayur atau ke pasar atau ke supermarket. Dapatnya fresh lagi. Lha di sini, boemboe kayak gitu kan eksotik, harus ke Asian supermarket atau toko-toko Indonesia yang menjual kayak gituan. Itu artinya harus ke Rotterdam atau ke Rijswijk. Perjalanan sih nggak ada sejam, tapi kalau naik openbaar vervoer alias public transportation kan mahal sekali. Belum lagi berat, jadi harus bawa mobil. Jadi kalau mau beli boemboe ya harus nunggu longgarnya Leo untuk nganterin ke sana.
Kembali ke bumbu pecel lagi. Aku jarang sekali beli bumbu pecel karena pernah beli merk Karang Sari tapi kok rasanya sudah apek. Mungkin sudah lama kali ya di toko. Terus pernah lagi beli bumbu gado-gado yang merk lokal, rasanya menurutku lebih parah. Atau mungkin lidahku saja yang nggak pas dengan pecel nya Londo.
Aku bilang sama teman, gado-gado di sini rasanya sudah menyalahi hak-hak asasi bumbu gado-gado. Begitu juga nasi goreng, rasanya aneh, bakmi goreng berasa nggak ngalor nggak ngidul. Betul-betul menyalahi pakem (lha tapi kalau para Londo suka, yo nggak po-po yo?). Temanku kemudian bilang: "wah kalau gitu, harus didirikan KOMNAS HAB (Hak Asasi Bumbu) nih"
Kabar bahwa Leo suka gado-gado sudah tersebar luas diantara keluarga, kerabat dan teman-teman semua. Saking santernya kabar tersebut, waktu kami pulang kampung, setiap orang yang kami datangi baik itu bude, saudara sepupu, keponakan, teman-teman semua pasti nyuguhinya gado-gado atau pecel. Dari mulai pecel Madiun, Kediri, gado-gado Jakarta dll. Bahkan waktu di Kediri, bude selalu membelikan pecel dari pasar untuk sarapan pagi. Leo sebetulnya nggak pernah sarapan, tapi nggak enak juga untuk menolak. Selain itu melihat pecel Kediri yang dibungkus pake daun dan ditambah dengan rempeyek dan kerupuk, ya siapa bisa nolak. Apalagi nasinya anget dan minumnya teh anget, pasti enak to.
Waktu di Semarang juga gitu. Seorang saudara bahkan import khusus bumbu pecel dari Ngawen untuk disajikan sebagai salah satu menu suguhan untuk kami. Kalau nggak salah yang membuat namanya ibu Kusrin. Bumbu pecelnya enak, dan wangi daun jeruknya terasa harum sekali. Belum lagi kencurnya juga terasa, tapi nggak getir, wong sudah dicampur dengan macem-macem bumbu lainnya tentunya. Wis pokoknya top rasanya. Kalau dibandingkan dengan pecel made in Londo, ya jauhlah. Pecel made in Ngawen ini jauh lebih uenak. Kebetulan Leo suka pedes, jadi nggak masalah dia makan pecel yang pedas harum ini.
Nggak tanggung-tanggung, saudaraku ini malah sudah membelikan bumbu pecel berplastik-plastik untuk kami bawa pulang ke Belanda. Jadi jangan kaget kalau waktu itu mungkin seperempat isi koper kami adalah bumbu pecel made in Ngawen. Lumayan juga buat persediaan berbulan-bulan. Kalau males masak, tinggal ngencerin bumbu dan ngrebus sayuran.
Di Jakarta juga sama. Waktu itu kami ketemu mbak Suci, istri almarhum Munir, dia juga ngajak ke warung dekat rumahnya untuk makan pecel. Kata mbak Suci, wis mumpung di sini, ayo kita makan rujak cingur atau pecel Madiun. Lumayan juga sih rujak cingurnya walaupun made in Bekasi, bukan made in Suroboyo. Leo milih pecel Madiun. Katanya sih enak (wong aku nggak ikut ngicipin). Kalau nggak enak, yo nanti tak laporkan ke Komnas Hak Asasi Bumbu to!
Have a nice day.
Sri
PS. Gambar bintang (rating) nggak ada hubungannya dengan review. Aku langganan Multiply yang gratis, jadi yo ora lengkap, kebetulan bagian blog sudah kepake untuk yang lain. Mau langganan yang mbayar, percuma, karena blog cuma diisi setahun sekali. Hi...hi...hi... dasar males!
Sunday, 1 October 2006
Musim semi dan panas yang menyenangkan
Ini foto bunga yang aku ambil di halaman rumah mertua pada musim panas tahun lalu.
Aku selalu suka bunga walaupun selalu gagal kalau disuruh nanem sendiri. Walaupun sudah mengikuti petunjuk, selalu saja gagal alias mati. Mungkin aku nggak punya groene vingers atau green fingers. Atau mungkin males saja. Tapi aku selalu gatal untuk memotret bunga-bunga yang indah. Musim semi dan musim panas selalu menyenangkan bagiku.
Memasuki September tahun ini, bunga sudah berkurang walaupun di beberapa tempat, aku masih melihat berbagai bunga masih mekar. Mengagumkan, karena sekarang sudah September lho, biasanya September angin sudah mulai kencang dan daun-daun sudah berguguran menyambut musim gugur.
September ini suhu masih di atas 20 derajat (bahkan kadang masih 24 derajat), padahal biasanya sudah lumayan drop. Menurut berita, September tahun ini adalah September terpanas selama 300 tahun terakhir.
Genoa-Italia
Piazza de Ferari, semacam centrum atau alun-alunnya Genoa.
Ini foto-foto waktu kami di Genoa-Italia bulan lalu sampai awal bulan September. Menurut kami Genoa cukup indah dengan banyak gedung-gedung tua yang usianya sudah ratusan tahun, cuma di beberapa tempat memang kurang terawat. Di beberapa gedung tua bahkan UNESCO harus turun tangan untuk membantu melestarikannya. Seperti gedung-gedung tua di Eropa, biasanya bangunan tersebut cukup kokoh, bisa bertahan ratusan tahun.
Subscribe to:
Posts (Atom)