Sunday, 29 April 2007

Skype-an sama mbak Theresa

Tadi mbak Theresa dan aku ber-skype-an. Seru pokoknya. Malah ngobrol sama mbak Ratri juga. Leo juga ikutan ngobrol sambil nunggu brambang yang masih dia jemur (Leo hari ini nggoreng brambang lagi, soalnya brambang yang dulu dia goreng sudah abis. Cepet ya abisnya, padahal belum ada sebulan yang lalu dia nggoreng brambang 2 kilo).


Obrolannya mulai dari Londo (malah Enggres barang yang dibahas) sampai dengan Australi. Dari autumn di Australi sampai spring di Belanda (wong kuwalikan alias terbalik to musim Londo en Australi). Dari Euro sampai Australian dollar. Dan tidak ketinggalan ada obrolan tentang makanan (apa lagi kalau bukan).  Wis lengkap pokoknya.


Mbak Theresa itu ternyata suaranya lembut. Kosok balen (kebalikan) dengan suaraku yang kayak halilintar. he...he...he...


OK mbak, nanti kapan-kapan kita sambung lagi ya. Siapa tahu kalau mbak Theresa ke Belanda kita bisa kopdaran atau kalau kami ada rejeki (ya siapa tahu to) kami bisa ke Australia dan kita bisa ketemu.   

Saturday, 21 April 2007

Hari ini dapat kejutan dari mbak Atik

Hari ini pulang dari pasar dapat kejutan. Ada kiriman untukku dari mbak Atik. Setelah aku buka.....HORE BIJI KEMANGI!!!!!!! 


Terimakasih ya mbak Atik. Seneng banget aku. Aku akan tanem mumpung sudah mulai lente (spring). Nanti kalau sudah panen, mau mepes atau bikin ikan rica-rica sudah ada kemanginya.


Terimakasih sekali lagi ya mbak Atik. Muaachh....muaaachh.... huggsssss.....

Monday, 16 April 2007

Bersepeda ke Gouda




Hari Sabtu lalu kebetulan cuaca bagus. Leo ngajak bersepeda. Sebetulnya sih nggak ada tujuan tertentu, tapi ketika Leo ngambil jalan ke arah Gauda, akhirnya aku nanya gimana kalau ke Gouda sekalian. Dia setuju. Akhirnya kami bersepeda ke Gouda.

Jarak dari rumah ke perbatasan Gouda sih cuma 15 km, jadi pp 30 km. Tapi kemudian kami ke centrum. Pulangnya nggak lewat jalan yang sama, tapi muter. Akhirnya memang lebih jauh lagi jarak yang kami tempuh. Kami perkirakan hari Sabtu lalu kami menempuh 40 km dengan bersepeda.

Sampai rumah rasanya gempor. Maklum sudah lama nggak bersepeda sejauh itu sejak herfst (autumn) yang lalu. Jadi memang perlu latihan lagi.

Yang bikin lama memang jeprat-jepret foto. Maklum memang tujuan utama waktu itu ambil foto mumpung cuaca bagus. Waktu masuk Gouda kami melihat balapan sepeda amatir. Seamatir-amatir mereka, masih lebih profesional dariku.

Yang bikin lama lagi adalah aku nggak bisa bersepeda cepat karena punya masalah dengan lutut, apalagi waktu baliknya jalan agak naik turun. Kata Leo:

"Ayo....aku yang sudah setengah abad saja bisa, masak kamu yang 8 tahun lebih muda nggak bisa. Ayo....kamu pasti bisa...."

Maklum bersepeda memang bagian hidup orang Belanda. Jadi nggak kaget kalau mereka jago dalam bersepeda.

Sampai di Gouda kami baru sadar kalau hari Sabtu adalah hari pasarnya Gouda. Akhirnya kami malah lihat pasar di sekitar stadhuis (town hall) nya. Alun-alun yang biasanya kosong disulap menjadi pasar kaget. Lumayanlah lihat-lihat pemandangan pasar. Walaupun kalau dibanding pasar tradisional Rotterdam masih kalah besarnya.

Ini beberapa foto yang aku pasang di sini. Urutannya agak lupa-lupa ingat. Males nyocokin lagi.

Friday, 13 April 2007

Foodprocessor - Multisystem keukenmachine: Alat ngrajang brambang

http://www.allesover-keukens.nl/pg/Producten/Foodprocessor/Multisystem+keukenmachine
Waktu itu pak Yanuar nanya alat ngrajang brambang yang kami gunakan kayak apa, kok Leo bisa bikin rajangan brambang sangat tipis dan bagus. Banyak lagi porsinya. Aku sudah foto-in tapi kebetulan nggak tahu kenapa nggak bisa di up load.

Tapi paling enggak, bisa dilihat alatnya seperti pada link tersebut di atas. Food processor ini merk Braun. Awalnya kami beli karena kami nggak punya blender, padahal kan perlu tuh bikin bumbu halus segala. Belum lagi butuh bikin sambel.

Akhirnya kami beli alat ini. Dikirain isinya cuma blender doang, soalnya waktu itu kami cuma terfokus pada gelas blender yang dipajang. Gelas blendernya nggak gitu gede, cocoklah buat kami kalau cuma mau bikin bumbu atau jus. Tapi ternyata baru tahu kalau ada berbagai macam alat lainnya dalam satu set tersebut. Makanya bengong waktu pelayan tokonya ngeluarin kotak lumayan gede dan cukup berat dari gudang berupa satu set keukenmachine (kitchen mechine atau food processor) ini.

Isinya macem-macem. Ada alat untuk ngocok telur kalau mau bikin cake dan roti, ada alat untuk merajang berbagai macam (kentang untuk french fries, timun, menyerut wortel secara kasar untuk bikin salad dsb). Dan ternyata salah satu pisaunya bisa juga untuk ngrajang brambang. Cepet banget, 1 menit bisa untuk ngrajang sekilo. Bahkan ada juga pisau untuk memarut kelapa.

Tapi terus terang aku belum pernah memaksimalkan penggunaan alat ini. Lha gimana, wong penduduk di rumah cuma dua orang, jadi pake alat ini kalau betul-betul butuh misalnya untuk ngrajang brambang, bikin bumbu pecel kering. Pokoknya untuk bikin porsi gede.

Semoga info ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Ups....lupa, aku bukan pegawai pemasaran Braun lho ya. Nggak dapat komisi walaupun sudah promosiin alat mereka.

Wednesday, 11 April 2007

Ketika berat badan menjadi masalah dalam sebuah perkawinan...

Tadi aku menonton tayangan ulang program Dr. Phil yang membahas tentang operasi plastik, berat badan dan sejenisnya. Salah satu tamunya adalah sepasang suami istri.


Sang istri bertubuh endut walaupun dia sudah berusaha mati-matian untuk menurunkan berat badannya. Dia sudah capek berkonsultasi dengan berbagai dokter, ahli gizi, instruktur olah raga dan sebagainya tapi berat badannya tidak turun-turun juga.


Dia ingin membahagiakan suaminya yang menuntut dia untuk bertubuh langsing kayak bintang film. Apapun dia lakukan untuk memperoleh tubuh yang langsing seperti yang diinginkan suaminya. Bahkan kalau ibaratnya makan rumput bisa menurunkan berat badannya, dia akan melakukannya. Tapi tetap saja dia tidak memperoleh hasil yang diharapkan.


Yang jadi masalah adalah kata-kata suaminya yang sangat menyakitkan. Sudah tahu istrinya setengah mati berusaha, tetapi tetap saja kritikannya sangat pedas menyakitkan. Dalam tayangan ini si suami bilang kalau baru sadar bahwa apa yang diucapkan terhadap istrinya sangat menyakitkan. Dia tidak sadar bahwa selama ini si istri sudah invest begitu besar untuk membahagiakan suaminya tetapi tidak ada timbal balik yang membesarkan hati istrinya.


Melihat tayangan tersebut, aku menjadi sangat bersyukur punya suami yang penuh pengertian dengan diriku. Dalam hal fisik, Leo dan aku memang seperti langit dan bumi. Dia tinggi 192 cm sedangkan berat cuma 88 kg. Sedangkan aku dengan tinggi kurang dari 150 cm tetapi beratku tidak berbeda jauh dengan dia.


Aku sudah melakukan berbagai hal tetapi sulit sekali berhasil. Aku sudah bosan kalau harus disuruh ke lab lagi, ngomong sama berbagai dokter dan ahli nutrisi yang sebetulnya aku sudah tahu isinya, aku sudah ke sport centre dan konsultasi dengan para trainers tapi tetap saja hasilnya nggak memuaskan. Biasanya yang kaget dengan hasilnya adalah mereka, bukan aku karena aku tahu tubuhku yang bandel banget turunnya. Makan sedikit atau banyak nggak ada bedanya, tidak berpengaruh nyata. Bahkan kalau makin sedikit makan akan makin efisien kerja tubuhku.


Akhirnya aku melakukan apa yang bisa aku lakukan. Misalnya kalau mudik aku pengin makan apa yang tidak bisa aku temukan di sini, aku tetap makan. Tapi sebelum dan sesudah balik ke Belanda aku harus ke sport centre lebih aktif.


Ketika aku merasa capek dengan usahaku, aku mengeluh ke Leo. Dialah yang selalu menenangkanku, dialah yang selalu mengatakan bahwa yang penting aku sehat dan aku tidak boleh terlalu menyiksa tubuhku. Dia bilang:


"I love you the way you are....."


Aku selalu menitikkan air mata ketika dia bilang seperti itu. Artinya dia bisa menerima aku apa adanya. Ya Allah, terimakasih atas anugrahmu ini, memberikan seorang suami yang bisa memahamiku. Inilah salah satunya yang menyebabkan aku mencintai dia.  


PS. Ini gambar aku dan Leo, begitu kontras ya....   


 

Monday, 9 April 2007

Londo nggoreng brambang....


Niat amat ya dia ngupas sampai nggoreng brambang.

Aku ini heran banget, Leo itu kok suka banget sama brambang (bawang merah) goreng. Memang betul makanan akan lebih enak kalau dikasih brambang goreng, tapi kadang dia juga nyomot sedikit dan dimakan begitu saja.

Dia baru tahu kalau brambang goreng does exist ketika menikah gara-gara aku pernah bikin brambang goreng. Sebelumnya dia malah nggak tahu sama sekali kalau barang itu ada. Waktu itu aku memang kerajinan, bikin brambang goreng cukup banyak supaya bisa disimpan lama. Jadi kalau bikin nasi goreng, atau bakmi goreng atau gado-gado atau masakan lainnya sudah tersedia brambang goreng untuk ditaburkan di atasnya. Sedangkan kalau dia yang ditaburi bukan saja masakannya tapi juga nasinya (jadi kayak makan nasi uduk). Padahal hampir tiap hari aku masak masakan Indonesia yang artinya dimakan pake nasi kan, jadi bisa dibayangkan dia selalu mengkonsumsi brambang goreng hampir tiap hari. Memang tidak banyak sih naburinnya karena brambang goreng kan untuk penyedap rasa saja.

Kalau kebetulan persediaan brambang goreng habis, dia pasti nanya. Aku juga kasihan, wong ya cuma brambang goreng saja kok aku nggak sediain. Pernah karena males nggoreng brambang, aku belikan saja gebakken uitjes (bawang bombay goreng) yang dijual di supermarket. Begitu dia icipi, komentarnya: "Het is niet lekker" (nggak enak). Akhirnya dia nggak mau makan uitjes tersebut sama sekali.

Yang jadi masalah adalah aku ini paling sebel nggoreng brambang. Ngupasnya masih OK, ngrajangnya masih OK karena ada kitchen mechine, tapi yang paling menyebalkan adalah menggorengnya karena selain oily juga butuh waktu cukup lama dan butuh ketrampilan tersendiri. Terlalu lama 10 detik bisa gosong, terlalu cepet 5 detik masih belum kemripik (crispy). Maunya kan bikin brambang goreng yang kuning kecoklatan dan kemripik.

Secara bercanda aku bilang sama dia kalau orang Jawa itu gampang nge-test apakah mantu perempuannya bisa masak atau enggak (maklum secara tradisional kan dulu perempuan yang di dapur, jadi yang di-test masak adalah calon mantu perempuan, bukan laki-laki. he...he...he...). Tinggal suruh saja dia nggoreng brambang dan kacang tanah. Kalau berhasil bikin brambang goreng yang tidak gosong tapi kemripik maka lulus deh ujiannya.

Dia juga suka mengamati aku bagaimana bikin brambang goreng. Lama-lama dia bantuin. Kemarin malah ajaib sekali. Dari mulai ngupas sampai nggoreng dia lakukan sendiri. Aku cuma bantuin ngupas dan menjemur (karena kebetulan ada sinar matahari kemarin). Sebelum dijemur, dia kasih garam.

Selama dijemur, aku ngempi. Tapi aku nggak sadar, tiba-tiba aku bau brambang goreng. Ternyata dia sudah mulai nggoreng sendiri. Niat banget ya. Akhirnya aku ke dapur dan bantuin dia untuk mengeringkan hasil gorengan dengan keuken papier (kitchen towel?) supaya minyaknya terserap. Aku cuma bantuin itu saja karena aku harus nyiapin untuk makan malam.

Hasilnya tidak terlalu jelek. Yang pertama agak gosong tapi sangat kemripik. Yang kedua dan selanjutnya makin bagus. Dia bahkan lebih cepat karena pake minyak yang panas sekali (aku biasanya pake minyak panas tetapi nggak berani sepanas dia). Kemarin dia goreng 2 kg brambang segar dan hasilnya diwadahi dalam 4 stoples (walaupun kata dia dalam bahasa Belanda namanya bukan stopfles tapi pot).

Setelah selesai dia bilang kalau dia bangga sekali bisa nggoreng brambang. Bahkan dia nanya:

"So...dou you think I can get my diploma? I have passed the test of making brambang goreng"

"Iya betul kamu sudah lulus. I am proud of you...."

Dulu dan sekarang


Kebetulan mami (ibu mertua) masih punya foto ini, jadi aku bisa potret ulang.

Foto ini ketika Leo masih kecil usia 3 tahunan. Cute kan? Aku gemes ngelihatnya, pengin aku cubit saja.

Dia sebetulnya nggak suka mainan kayak boneka dan sejenisnya. Tapi mami kayaknya pengin dia difoto bareng teddy bear.

Ini foto Leo ketika masih kecil (usia sekitar 3 tahun) dan sekarang (usia setengah abad). Dulu dia sangat mollig dengan kaki yang endut. Tapi menurutku sih cute. Setelah gede dia ceking banget tapi dengan berjalannya waktu dia sudah agak lumayan nggak terlalu ceking.

Dia kecewa sekali karena aku nggak punya foto masa kecil. Memang dulu aku nggak suka di-foto karena aku endut banget (sekarang malah makin mekar. he...he...he....).

Keindahan suatu kemewahan?

Ketika aku mengirim beberapa foto-foto yang kami ambil dari Keukenhof kepada teman-teman kami di Indonesia, ada beberapa komentar mereka yang cukup menggelitik. Misalnya:


"Mbak ternyata di belande bagus banget ya! tidak seperti di jakarta setiap hari macet dan polusi terus, coba jakarta seperti di belande asik kali ye....!" 


Kebetulan memang temanku ini belum pernah ke luar negeri. Yang dia tahu cuma desanya yang terletak di pelosok Wonogiri dan Jakarta (tempat dia sekarang bekerja). Di Jakarta dia betul-betul merasa sumpek karena polusi dan kemacetan yang luar biasa. Dia tidak mungkin kembali ke desa karena di desanya tidak ada lapangan kerja baginya. Dia harus mengadu nasib di kota, diawali dengan menjadi office boy dan karena dia tekun bekerja sambil sekolah (apalagi dia sangat jujur), dia sekarang diangkat menjadi tenaga administrasi di sebuah LSM di Jakarta. 


Begitu aku kirimi dia foto-foto tulips, itulah komentarnya. Kapan Jakarta bisa menjadi asri, bebas dari macet dan polusi.


Ada teman lain yang berkomentar: 


"Ya..ampun Mbak Sri... Keren bangetzzz, kalo ngeliat taman kayak gitu bisa lupa tuh di dunia masih banyak orang nembakin sesamanya, diinjak-injak harkatnya....karena Tuhan sebenarnya menciptakan begitu banyak keindahan yang dirusak sendiri oleh manusia... Aduhh..jadi permenungan sendiri deh......"


Komentar ini dilemparkan oleh seorang yang bekerja di sebuah LSM internasional di Jakarta. Yang aku tahu, pergi ke luar negeri tidak asing bagi dia. Tapi pekerjaan pokoknya tetap sama: mengurus isue-isue human rights dan women rights.

 

Dari kedua komentar tersebut baik dilempar oleh seorang desa yang sumpek dengan kehidupan kota metropolitan yang tidak ramah ataupun dilempar oleh seseorang yang bekerja di sebuah lembaga internasional, intinya menurutku tetap sama: suatu impian menghendaki perbaikan.

 

Keindahan ternyata sudah merupakan suatu kemewahan. Kapan negaraku akan bersih (dari polusi dan korupsi), bebas dari kekerasan (baik ekonomi maupun fisik), dan indah asri tanpa pengrusakan lingkungan yang gila-gilaan.  

 

Sunday, 8 April 2007

Ke Keukenhof




Kebetulan hari Jumat Leo libur. Kebetulan juga cuaca sangat bagus untuk ke luar mengambil foto. Kebetulan lainnya, adiknya Leo ngasih kami tiket gratis ke Keukenhof. Alhamdulillah, akhirnya tahun ini kami ke Keukenhof lagi.

Seneng banget ngelihat betapa cantiknya tulip, narcis dan bunga-bunga lainnya. Aku tidak pernah bosan memandangi keindahan bunga-bunga tersebut.

Ini ada beberapa foto yang aku pasang di sini.

Tuesday, 3 April 2007

Diwut-diwut....debatable or undebatable?

Ketika membaca tulisan mbak Theresa di sini tentang sulitnya bahasa Jawa, kemudian malah mengingatkanku bagaimana kesulitanku menerangkan kepada Leo tentang arti sebuah kata dalam bahasa Jawa. Bahasa kan tidak hanya mengandungi arti tetapi juga rasa, belum lagi tergantung konteks kapan suatu kata bisa digunakan. Tapi paling tidak ada beberapa kata yang Jawa yang aku ajarkan pada Leo, misalnya nggregesi, diwut-diwut, sipat kuping dsb.


Leo paling terkesan dengan kata "diwut-diwut" (berbulu tebal). Mungkin kata ini dianggap lucu. Aku menjelaskan bahwa biasanya diwut-diwut ditujukan untuk anjing yang bulunya tebal. Karena bulunya tebal, biasanya anjing tersebut cute, pokoknya lucu menggemaskan (walaupun aku ini takut sama anjing, sekecil apapun anjing tersebut). Akhirnya setelah berdebat panjang, kami punya kesepakatan bahwa diwut-diwut itu dalam bahasa Inggrisnya adalah "hairy" (lha mbuh itu bener atau enggak, tolong bagi yang bisa berbahasa Inggris dikoreksi, apakah terjemahan ini benar atau salah).


Cuma dia tanya:


"Kenapa kok diwut-diwut selalu ditujukan untuk anjing? Padahal kan kucing bisa juga diwut-diwut"


"Lha nggak tahu kenapa untuk anjing, tapi memang biasanya memang kata ini untuk anjing bukan untuk binatang lainnya"


Aku juga kemudian berpikir, kenapa cuma untuk anjing ya. Padahal di sini banyak juga kucing yang bulunya tebal dan panjang, nggak seperti di Indonesia yang biasanya kucing bulunya pendek (dan kelet, meminjam istilahnya mbak Theresa). 


Waktu aku tanya mbak Theresa tentang penggunaan kata diwut-diwut, mbak Theresa bilang:


"Diwut-diwut biasanya untuk anjing lha soale kucing Jawa wulune kelet tapi klo ada kucing wulune diwut2 yo piye maneh?"


Waktu itu Leo masih belum puas dengan jawabanku, kok diwut-diwut cuma ditujukan untuk anjing, kenapa bukan untuk lainnya. Mengapa juga bukan untuk manusia yang banyak bulunya atau manusia yang punya rambut tebal di kepala serta kumis dan jambang tebal di mukanya. Aku bilang kalau untuk manusia nggak bisa karena kita kan belum pernah menemui manusia yang punya bulu seluruh tubuhnya. Tapi kemudian dia malah nanya:


"Lha kalau gorila gimana? Dia kan diwut-diwut juga to......"


Aduh...susah amat sih. Sudah dikasih tahu kalau diwut-diwut itu untuk anjing, malah masih nanya kalau gorila gimana. Tapi untuk sementara (sebelum aku punya argumentasi yang tepat untuk itu), dia "terpaksa" menerima bahwa diwut-diwut biasanya ditujukan untuk anjing.


Dari pembicaraan kami tentang diwut-diwut, dia tiba-tiba kemudian menjadi pengamat berbagai macam anjing. Setiap kali kami jalan-jalan di park atau dimanapun juga, kalau dia melihat ada anjing diwut-diwut dia pasti akan selalu berkomentar: "Dat hond is diwut-diwut (anjing itu diwut-diwut)". Bahkan pernah dia pulang dari suatu tempat, cepat-cepat (sebelum lupa) kata-kata yang dia ucapkan pertama kali adalah:


"Today I saw a diwut-diwut dog in the metro...." 


Ada pendapat tentang kata "diwut-diwut" ini? Supaya nanti kalau aku ditanya lagi sama Leo nggak cuma sekedar: "pokoknya....diwut-diwut itu biasanya untuk anjing" Kata "pokoknya" kan kayak kata tersebut sudah undebatable alias tidak dapat diperdebatkan lagi, padahal sih kan masih terbuka ruang untuk dibatable. Atau ada yang punya kamus bahasa Jawa?


PS: Foto yang aku pasang, aku ambil dari internet tapi lupa sumbernya dari mana. 

Monday, 2 April 2007

Hampir selalu berantem...

Ada satu hal yang hampir selalu membuat aku berantem sama Leo. Perasaan aku nggak pernah nggak berantem sama dia dalam hal satu ini. Apakah itu? Membaca peta. Aku paling benci kalau disuruh baca peta, perasaan kok susah banget gitu lho. Padahal di Eropa kan kemahiran dalam membaca peta bisa dianggap sangat mutlak. Tetapi karena kemampuanku dalam hal yang satu ini sangat parah, jadi ya bacanya nu-nak-nu-nuk, pelan banget tapi tetap saja nggak mudeng-mudeng. Sampai-sampai petanya aku putar-puter berharap supaya petanya bisa ngomong sendiri, tapi tetap saja nggak ngomong-ngomong.


 


Leo punya teori kalau "women and maps are a very bad combination!" Dia membuat teori ini karena dia melihat begitu banyak perempuan yang tidak bisa membaca peta (termasuk istrinya sendiri). Aku selalu menolak teori tersebut karena banyak kok teman-teman perempuanku yang bisa baca peta. Tetapi tetap saja dia bilang secara prosentase, dia melihat masih jauh lebih banyak laki-laki yang bisa membaca peta daripada perempuan. Kayak petugas sensus saja dia itu, sampai tahu prosentase orang yang bisa baca peta berdasarkan jenis kelamin.    


 


Karena teorinya inilah yang menyebabkan aku dan dia sering berantem kalau harus bepergian bersama ke tempat yang baru pertama kali kami datangi. Maunya dia, aku yang baca peta dan dia yang nyopir (karena memang nggak bisa dibalik posisinya karena aku nggak bisa nyopir). Sudah tahu aku nggak bisa baca peta, masih juga aku disuruh jadi navigator. Giliran kesasar, dia ngomel-ngomel. Salahnya sendiri nyuruh aku baca peta!


 


Dia memang paling sebel melihat keparahanku membaca peta. Aku selalu bilang:


 


"Itulah bedanya orang Eropa dengan orang Indonesia. Orang di Indonesia lebih suka bertanya kalau nggak tahu jalan, ada human touch, nggak seperti di Eropa yang semuanya serba mesin"


 


Tapi dia masih ngotot:


 


"Lha kalau kamu kesasar in the middle of no where gimana? Padahal di situ nggak ada orang yang bisa ditanya dan kamu juga nggak bisa baca peta"


 


Lha aku juga nggak mau kalah,


 


"Lha ngapain aku harus berada in the middle of no where?"


 


Tapi mau nggak mau, aku juga harus belajar membaca peta. Memang kalau kesasar di Belanda, orang masih bisa diajak ngomong bahasa Inggris (maklum bahasa Belandaku parah banget) karena umumnya orang Belanda bisa berbahasa Inggris tetapi giliran kesasar di negara Eropa lainnya dimana orang nggak bisa berbahasa Inggris atau nggak mau diajak ngomong bahasa Inggris, maka kemampuan untuk membaca peta sangat mutlak dibutuhkan.


 


Foto: gimana kalau kita kesasar in the middle of no where? Nggak ada orang yang bisa ditanya karena cuma ada domba dan rumput?