Sunday, 6 September 2009

Terimakasih Munir, engkau memberikan lebih dari cukup kepada bangsa

 

Tanggal 9 September 2004

 

Tuna bread itu sudah tidak ada di atas kulkas. Mungkin Leo sudah membuangnya. Tuna bread yang seharusnya dimakan oleh Munir tapi dia tidak sempat memakannya karena dia sudah meninggal saat aku temui di Schiphol…….

 

Kilas balik…..

 

Jumat, 3 September 2004

 

Aku dapat informasi dari Poengky kalau Munir akan tiba di Belanda tanggal 7 September. Poengky bilang:

 

“Aku titip Munir yo mbak….tenan lho (bener lho), aku titip dia. Kalau ada apa-apa tolong dibantu ya…”

 

“Yo…jangan khawatir……..”

 

Senin, 6 September 2004

 

Pagi hari:

 

Aku telpon Munir di HPnya (0811990568): 

 

“Cak sampeyan kuwi jan-jané sido opo ora sesuk nang Londo, kok ora ono kabare (Cak, anda ini jadi nggak besok ke Belanda kok nggak ada kabarnya)”

 

“O….sido…sido….. (O…jadi….jadi….)”

 

“Terus sidane numpak opo? KLM opo Garuda? (Terus jadinya naik apa? KLM atau Garuda?)”

 

“Aku sidane numpak Garuda…..(aku jadinya naik Garuda)”

 

“Nek ngono, aku mbok di-sms, nomor penerbangane, terus jam piro mendarat nang Schiphol….(kalau gitu mbok aku di-sms, nomor penerbangannya dan jam berapa mendarat di Schiphol)”

 

“Iyo engko tak sms yo…..(Iya, nanti aku sms)”

 

“Oh yo, ojo lali ijazah ku lho yo……(Oh ya, jangan lupa lho ya ijazahku)” Aku memang titip ijazahku yang ketinggalan di Indonesia supaya dibawa Munir ke Belanda.

 

“Ora lali aku, wis tak cepakke nang tas….(Aku nggak lupa, sudah aku siapkan di tas)”

 

“Maturnuwun ya Cak. Sampai ketemu ya…..ati-ati”

 

Sekarang aku berpikir kenapa waktu itu (bahkan jauh-jauh hari sebelumnya), Poengky betul-betul pengin memastikan bahwa aku akan menjaga Munir, kenapa dia sampai titip Munir ke aku. Kalau dipikir-pikir, Munir adalah orang yang sangat independent. Blebar-bleber terbang ke luar negeri sendirian, nggak pake acara dijemput segala. Selain itu network dia di Eropa (bahkan juga di Amerika, Australia dan negara-negara lain di dunia ini) jauh lebih banyak daripada aku yang jarang kemana-mana. Lha kok sekarang aku malah dititipi seseorang yang jauh lebih mandiri daripada aku.

 

Catatan: ketika aku ketemu Poengky lagi setelah Munir meninggal, Poengky cerita kalau Munir malah ngetawain aku di depan Poengky karena aku akan menjemput dia. Munir bilang ke Poengky:

 

“Mbak Sri kuwi wis dadi wong Londo ta? Kok ndadak methuk aku barang nang Schiphol…..” (Mbak Sri itu sudah jadi orang Belanda to? Kok pake jemput aku segala di Schiphol…..)

 

“Pokoke sampeyan kudu dijemput sama mbak Sri. Sampeyan wis tak titipke mbak Sri……Ora usah kakehan omong…..”  (Pokoknya kamu harus dijemput mbak Sri. Kamu sudah aku titipkan mbak Sri……ngga usah banyak bicara….).

 

Munir menganggap itu lucu. Dia cerita kalau dia pernah cuma dikasih peta dan karcis oleh organizer dan berdasarkan peta tersebut dia bisa kemana-mana sendirian, nggak perlu diantar jemput segala waktu dia harus ke Eropa. Lha kok sekarang dia harus dijemput segala. Tapi Poengky tetap ngotot kalau Munir harus aku jemput di Schiphol. Aneh juga kalau dipikir kan? Mungkin ini semua sudah diatur Tuhan.    

 

Setelah selesai ngomong di telpon dengan Munir, aku kemudian turun ke ruang bawah karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Beberapa menit kemudian HPku yang aku letakkan di kamar atas berbunyi. Aku heran, biasanya kalau aku sedang di bawah, aku nggak dengar kalau HPku berbunyi. Maklum HPku tipe ME 45 ini kalau bunyi sangat pelan, jadi sering sekali aku nggak tahu kalau dapat sms. Tapi heran, kenapa pada saat itu aku bisa mendengar bunyi HPku? Apakah Tuhan ingin memastikan bahwa aku menerima pesan Munir? 

 

Aku kemudian naik ke atas dan membaca sms yang ditulis oleh Munir. Sayang HPku ilang, jadi pesan terakhir Munir tersebut ikut hilang. Isinya adalah bahwa dia akan naik Garuda dan mendarat di Schiphol hari Selasa tanggal 7 September 2004. Dia juga tulis arrival time nya. 

 

Senin, 6 September 2004, malam hari:

 

Leo dan aku melihat foto-foto pernikahan kami yang sudah di-upload oleh Leo di komputer. Salah satu yang kami lihat adalah foto kami bersama Munir sekeluarga beserta teman-teman Kontras yang waktu itu datang ke pernikahan kami. Kebetulan kami menikah bulan Juni tahun yang sama, jadi ingatan kami masih segar dengan kehadiran teman-teman pada waktu pernikahan kami.

 

Aku cerita sama Leo kalau Munir adalah seorang human rights activist yang hebat. Aku ceritakan perjuangannya, aku ceritakan sisi manusiawinya Munir seorang manusia dengan kelebihan dan kelemahannya, tapi yang jelas bagiku dia orang yang berani berjuang melawan tindak kekerasan, membela yang lemah, berani untuk berteriak bagi mereka yang voiceless…..

 

Leo sebetulnya belum begitu mengenal teman-temanku. Banyak yang dia temui pada saat pernikahan kami termasuk Munir. Dari foto tersebut Leo bisa mengamati Munir dengan seksama.

 

Aku usul sama Leo, bagaimana kalau nanti sudah di Utrecht (karena dia mau ngambil Masters nya di Utrecht), sekali-sekali kami tengok atau undang dia ke rumah kami mungkin untuk lunch atau dinner. Sokur-sokur kalau dia mau nginep di rumah kami. Leo bilang:

 

“That’s a good idea……”

 

Bagi kami, Munir tidak saja seorang teman tapi juga asset bangsa sehingga harus dijaga.

 

Selasa, 7 September 2004

 

Pagi-pagi kami sudah bangun. Leo berjanji mengantarkan aku ke Rotterdam Centraal station supaya aku bisa naik kereta dari sana ke Schiphol airport. Sebelum berangkat, aku memanggang baguette dulu untuk aku bawa ke Schiphol. Bagguette itu kemudian aku isi dengan tuna. Aku pikir mendingan bawa sarapan dari rumah daripada beli di Schiphol mahal, selain itu kalau terlalu pagi belum tentu ada toko yang menjual makanan di Schiphol.

 

Aku bikin 4 tuna bread. Waktu itu aku berpikir, aku akan makan 2 biji dan sisanya akan aku berikan kepada Munir. Siapa tahu Munir males sarapan di pesawat, jadi lumayanlah untuk ngganjel perut sebelum dia meneruskan perjalanan ke tempat tujuan. Kalau dia nggak mau, ya tak emploke (ya aku makan/embat saja…).

 

Belum jam 6 pagi kami sudah berangkat ke Rotterdam Centraal Station. Leo nge-drop aku di samping stasiun. Dari sana aku beli karcis. Pada waktu itu aku sempat berpikir lebih baik beli tiket pp karena lebih murah. Tapi kemudian aku membatalkan niatku (dan ternyata kalaupun aku akhirnya beli karcis pp juga percuma saja. Baca ceritaku selanjutnya). Akhirnya aku beli karcis sekali jalan. Pikiranku waktu itu adalah siapa tahu aku harus mengantar Munir ke Utrecht atau ke Almere tempat Munir menginap. Baru setelah urusan Munir beres, aku akan langsung pulang dari kota tersebut bukan dari Schiphol.

 

Setelah dapat karcis, aku naik ke atas (peron terletak di lantai atas). Waktu itu sudah September, jadi walaupun sudah lebih dari jam 6 pagi tapi masih gelap. Sudah gitu udara sudah mulai dingin. Aku makan tuna bread karena perutku sudah mulai lapar, mungkin karena udara dingin. Aku tetap saja menggigil karena udara dingin. Dalam hati aku bilang:

 

“Nanti kalau aku ketemu Munir aku akan bilang: “nek ora sampeyan, aku emoh methuk. Lha uadem bianget jé…..” (kalau nggak kamu, aku nggak mau jemput. Lha dingin sekali….”

 

Saking dinginnya, aku turun ke bawah lagi karena aku pikir nunggu di bawah lebih nyaman terhindar dari rasa dingin yang menusuk. Sambil melihat orang lalu lalang, aku menyeruput teh hangat yang aku bawa. Lumayan buat menghangatkan badan. Setelah beberapa lama aku naik ke atas lagi menuju peron. Kereta datang dan aku langsung lompat masuk kereta.

 

Sampai di Schiphol masih terlalu pagi. Pesawat Garuda yang aku tunggu masih belum mendarat. Aku selalu melihat perkembangan pendaratan pesawat di screen. Lebih baik aku ke toilet dulu. Selesai dari toilet, aku lihat di screen kalau Garuda sudah mendarat. Untunglah, artinya aku nggak menunggu terlalu lama.

 

Aku tunggu Munir di arrival gate. Waktu itu aku membayangkan dia keluar ndorong trolly sambil cengar-cengir. Kalau nanti dia keluar, aku akan tanya kabarnya, sudah sarapan belum, kalau belum akan kuberikan tuna bread yang aku bawa untuk dia.

 

Tunggu….tunggu….tunggu….belum juga keluar penumpang dari Garuda. Aku pikir, mungkin masih jalan ke imigrasi, terus antri di imigrasi, terus ambil bagasi dan sebagainya. Tapi herannya kenapa tak satupun penumpang Garuda keluar. Tapi aku sabar menunggu. Mungkin antrian di imigrasi panjang sekali…..

 

Tiba-tiba ada pengumuman dalam bahasa Belanda yang menyebutkan kata “Munir”. Aku pikir bodoh banget, wong Munir saja belum keluar kok sudah disuruh ke information centre. Waktu itu Bahasa Belandaku masih belepotan (sekarangpun masih), jadi aku nggak tahu apa yang sebetulnya diumumkan. Ternyata pengumamnya berbunyi: bagi siapa yang menjemput Munir, harap menghubungi Information desk.

 

Setelah lama sekali menunggu barulah keluar satu dua penumpang dari Garuda. Aku yakin itu dari Garuda karena mereka orang Indonesia. Tapi kemudian ada jeda lagi yang sangat lama, baru keluar lagi penumpang. Tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata Poengky menelepon HPku.

 

“Mbak Sri sampeyan nang endi?” (Mbak Sri, kamu dimana?)

 

“Lha yo nang Schiphol….” (Lho ya di Schiphol)

 

“Ngapain?”

 

“Lho piye to, jarene kon methuk Munir….” (Lho gimana to, katanya disuruh jemput Munir).

 

Mungkin Poengky waktu itu dalam keadaan bingung, jadi tanpa sadar dia tanya sesuatu yang nggak masuk akal.

 

“Nang Schiphol e nang endi?” (Di Schiphol nya di sebelah mana?)

 

“Nang ngarep arrival gate…..” (Di depan arrival gate)

 

Wis ketemu Munir?” (Sudah ketemu Munir?)

 

“Yo durung, aku isih nunggu Munir metu soko gerbang…” (ya belum, aku masih nunggu Munir keluar dari gerbang)

 

“Di sini kami dapat informasi. Mungkin rumor, jaré né (katanya) Munir meninggal di pesawat….”

 

Aku nggak percaya berita itu.

 

“Mosok ah. Mungkin ming (cuma) rumor wae (saja)”

 

“Tulung golekno informasi yo…..” (tolong carikan informasi ya…)

 

“OK, mengko tak nggolek informasi. Mau yo ono pengumuman nyebut Munir, tapi ora jelas pengumumane opo” (OK, nanti aku cari informasi. Tadi juga ada pengumuman nyebut nama Munir, tapi ngga jelas isi pengumumannya apa)

 

Aku tetap tunggu lagi Munir di depan pintu gerbang tersebut. Makin banyak orang yang keluar dari sana. Tapi tidak satupun aku melihat Munir. Ada pengumuman lagi dalam bahasa Inggris yang menyebutkan kata Munir, tapi aku nggak gitu memperhatikan pengumumannya karena aku masih berharap Munir keluar dari gerbang bersama trolly nya. Aku tidak percaya dengan rumor, aku masih yakin Munir tidak meninggal. Akhirnya ada rombongan crew pesawat Garuda yang keluar, aku samperin mereka. Aku bilang:

 

“Saya menjemput Munir. Tadi saya dapat informasi kalau Munir meninggal. Apakah informasi tersebut betul?”

 

Seorang crew (pramugari) menjawab:

 

“Betul memang Munir meninggal, tetapi untuk berita resminya silahkan hubungi Garuda….”

 

Aku mulai panik tapi masih berusaha menahan tangis. Aku lari mencari information desk. Aku bilang sama mbak di information desk kalau aku penjemput Munir dan aku mendapat informasi kalau Munir meninggal di pesawat. Dimana kantor Garuda. Dia menjawab:

 

“Please ask three gentlemen standing outside….”

 

Aku clingukan mencari 3 gentlemen yang disebut dia. Kok nggak ada. Gimana sih, wong aku cuma mau nanya dimana kantor Garuda malah disuruh nanya orang lain. 

Tapi kemudian ada 3 orang laki-laki yang menghampiriku. Satu orang berpakaian pake jas dan 2 orang lagi berpakaian baju seragam polisi warna biru. Yang pake jas hitam tanya aku. Aku kemudian tahu nama blio adalah Wim van Brookhoven dari Luchthaven pastoraat.

 

“Kamu menjemput Munir?” Aku mengiyakan.

 

“Apakah kamu keluarganya?”

 

“No….”

 

“Are you his relative?”

 

“No….”

 

“Siapa kamu? Apa hubunganmu dengan Munir?”

 

“Aku temannya. Aku berjanji untuk menjemput dia di sini. Aku dapat informasi katanya Munir meninggal. Apakah betul?”

 

Dia mengiyakan. Aku lepas kontrol, aku sudah tidak bisa menahan tangisku. Dia memelukku dan menenangkanku. Mereka kemudian mengajakku ke atas, ke kantornya. Di ruangan tersebut, aku diberi minum. Aku berusaha menenangkan diri. Aku masih tetap tidak percaya kalau Munir meninggal. Rasanya seperti disambar geledek.

 

Setelah aku tenang, mereka mewawancaraiku. Polisi meminta aku memperlihatkan kartu identitasku. Aku perlihatkan passportku. Alhamdulillah aku waktu itu membawa passport karena verblijfsvergunning (stay permit) ku masih belum jadi. Leo memang mengingatkanku untuk bawa passport siapa tahu berguna. Ternyata betul berguna.

 

Mereka tanya siapa Munir, darimana aku kenal Munir, apakah Munir memiliki masalah kesehatan, apakah Munir mempunyai musuh dsb. Nampaknya itu adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu diutarakan dalam kasus-kasus kematian di pesawat.

 

Aku ceritakan siapa Munir, bagaimana aku mengenal dia, dan sebagainya. Aku juga ceritakan bagaimana berkali-kali Munir memperoleh teror pembunuhan (karena Munir juga pernah cerita itu padaku). Aku menceritakan Munir memperoleh terror bom yang dipasang di halaman rumah orang tuanya di Malang. 

 

Polisi pada waktu itu ingin menegaskan:

 

“Jadi menurutmu, kematian Munir ada hubungannya dengan pekerjaannya?”

 

“Kemungkinan itu ada mengingat sepak terjangnya”

 

Setelah wawancara selesai. Aku dipersilahkan untuk menghubungi siapa saja yang ingin aku hubungi menggunakan telpon mereka. Aku hubungi Poengky dan mengabarkan apa yang aku ketahui. Kami kemudian saling bertelpon-telponan untuk saling mengetahui perkembangan.

 

Aku lihat polisi yang berbaju biru juga menelpon, ngga tahu nelpon siapa. Tapi yang jelas dia beberapa kali menyebut nama Munir.  

 

Tiba-tiba Leo menelepon di HPku. Dia waktu itu telpon dari kantornya.  

 

“Kamu dimana? Di Utrecht ya?” Leo membayangkan aku mengantar Munir ke Utrecht.

 

“Aku masih di Schiphol. Munir meninggal dunia……” kataku lemah. Tangisku meledak lagi.  Leo kaget luar biasa.

 

“OK, aku segera ke Schiphol. Tunggu aku disana….”

 

Selama menunggu Leo, aku masih terus menerus berhubungan dengan Jakarta.

 

Aku masih belum diijinkan untuk melihat jenazah Munir di Mortuarium. Meneer Wim van Brookhoven mengatakan lebih baik menunggu Leo supaya bisa bersama-sama ke mortuarium.

 

Setelah Leo datang, kami akhirnya bersama-sama ke mortuarium. Disana sudah menunuggu 2 orang detektif dari The Royal Netherlands Marechaussee (http://en.wikipedia.org/wiki/Royal_Marechaussee). Jadi ternyata, polisi berbaju biru yang kami temui sebelumnya menyerahkan kasus ini ke Marechussee karena dianggap kasus penting. Kematian Munir dianggap cukup mencurigakan.

 

Kedua detektif tersebut memeriksa identitas kami. Salah satu  detektif meminta kami untuk mengidentifikasi jenazah. Apa betul itu memang Munir. Tapi dia bilang sama aku:

 

“Tapi yang boleh masuk ruangan duluan adalah suamimu, bukan kamu….”

 

Aku langsung protes.

 

“Kenapa? Aku kan malah temannya Munir……”

 

“Karena kamu temannya Munir, maka kamu sebaiknya masuk setelah suamimu. Kalau kamu masuk duluan, dikhawatirkan kamu nanti akan histeris. Jadi biarkan suamimu dulu yang mengidentifikasi jenazah tersebut….”

 

Akhirnya kami setuju. Leo masuk duluan. Aku menunggu beberapa lama. Setelah itu aku baru dipersilahkan masuk ruangan.

 

Aku masih ingat sekali apa yang terjadi pada waktu itu. Aku memasuki ruangan. Jenazah ada di sebelah kiriku. Aku tidak mau menengok ke arah jenazah tersebut karena aku masih tidak mau kalau yang terbaring itu adalah Munir. Pada detik itupun hatiku masih menolak kalau Munir sudah meninggal.

 

Jenazah ada di sebelah kiriku. Aku memandang ke depan ke arah Leo. Aku menatap mata Leo dan aku masih berharap Leo menggeleng. Tapi ternyata Leo mengangguk. Aku langsung menengok ke kiri, dan betul yang terbaring kaku di tempat tidur itu adalah Munir yang sudah tak bernyawa.  Langsung meledaklah tangisku. Diantara tangisku, aku bilang:

 

“Muuuniiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr…..kamu kok ninggalin aku. Kita kan sudah janji akan ketemu ………..kok sekarang kamu malah pergi……….”

 

Leo memeluk aku dengan erat. Dia berusaha menahan air mata supaya tidak jatuh. Kami berdiri memandangi jenazahnya yang diam membisu. Untuk menenangkan diri, aku berdoa dan berdoa. Masih terbayang apa yang dia katakan, masih terbayang perjuangannya, masih terbayang dia sekeluarga menghadiri pernikahan kami.

 

Ketika aku sudah mulai tenang, kedua detektif itu mewawancarai kami berdua. Kami menceritakan apa yang kami ketahui tentang Munir. Setelah mendengar cerita kami, kedua detektif tersebut bermaksud untuk mengadakan pemeriksaan selanjutnya yaitu autopsy.

Mereka betul-betul ingin tahu apakah kematian Munir terjadi secara wajar atau tidak. Mereka akan meminta ijin kepada pihak keluarga.

 

Sebagai catatan: Menurut hukum Belanda, otopsi tetap akan dilanjutkan walaupun keluarga tidak setuju. Dasarnya sangat sederhana yaitu bagaimana kalau keluarga yang terlibat. Tapi dalam kasus Munir ini, keluarga dan organisasi justru mendukung adanya otopsi.  

Para

detektif tersebut meyakinkan kami bahwa tidak boleh seorangpun akses terhadap jenazah Munir dan barang-barang yang dibawa Munir termasuk dokumen-dokumen yang ada di kopernya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa akses ke situ.

 

Pada hari itu juga kami sudah memperoleh kepastian juga bahwa Suciwati, Poengky, Usman Hamid, dan Ucok serta saudara Munir sudah memperoleh tiket dan akan tiba di Schiphol tanggal 9 September 2004 untuk menjemput jenazah. Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven mengatur bagaimana kita semua bisa bertemu. Kami semua bersiap-siap menerima kedatangan mereka.

 

Kamis, 9 September 2004:

 

Jam 3 pagi Leo dan aku berangkat dari rumah ke Schiphol. Tiba di Schiphol jam 4 pagi, sesuai dengan waktu yang kami sepakati. Selain Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven, di sana juga ada wakil dari ICCO, lembaga yang memberi beasiswa kepada Munir.

 

Kebetulan kami masih memiliki foto pernikahan kami yang sebetulnya mau aku berikan kepada Munir. Foto tersebut cukup besar ukurannya (mungkin sebesar kertas folio). Dalam foto itu ada gambar Munir, Suci, Poengky dan Usman atau orang-orang yang akan menjemput jenazah Munir. Kami perlihatkan foto tersebut kepada Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven supaya mereka tahu siapa yang akan mereka jemput.

 

Kami kemudian diajak mereka untuk memasuki ruang tunggu di Schiphol setelah melalui berbagai macam pintu pemeriksaan. Kami tiba di ruang tunggu. Ruang dimana semua penumpang KLM akan menjejakkan kaki begitu mereka keluar dari belalai pesawat. Pihak Marechaussee meminta aku untuk menunggu di depan pintu agar ketika yang kami tunggu sudah kelihatan, mereka harus digiring untuk tidak keluar ruangan.

 

Sesuai dengan rencana, kami bisa menggiring teman-teman tersebut untuk masuk ke ruang tunggu. Dari situ kemudian kami digiring ke mortuarium untuk melihat jenazah Munir. Bisa dibayangkan bagaimana suasanya. Ledakan tangis, doa, kesedihan mewarnai suasana waktu itu.

 

Setelah selesai dari mortuarium, kami kemudian digiring ke tempat lain. Kemudian tejadilah wawancara marathon sampai berjam-jam. Beberapa dari teman-teman ini diwawancarai satu per satu oleh pihak Marechaussee untuk kepentingan penyidikan

 

Tanggal 10 September ternyata teman-teman sudah bisa membawa jenazah ke tanah air. Tapi perjalanan belum berakhir. Masih banyak sekali yang harus dilakukan baik di sini maupun di tanah air. Kami memperoleh informasi kalau hasil otopsi menunjukkan bahwa Munir teracuni arsenik. Tidak mungkin kan Munir dengan sengaja menelan arsenik. Pasti ada pihak yang mau membunuh Munir.

 

Tidak saja di Indonesia, kasus ini juga disorot oleh media Belanda beberapa kali. Koran, televisi, radio memberitakan kasus Munir. Bahkan issue ini juga diangkat oleh parlemen Belanda.

 

Sudah 5 tahun Munir tiada, tapi kasus ini belum terselesaikan. Keadilan akan terus diperjuangkan. Aku cuma berpikir kalau kasus Munir yang sudah sampai di tingkat internasional saja tidak terselesaikan, bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Kita berharap keadilan akan datang.

 

Menurut informasi yang aku terima, death on board di Schiphol sekitar 200 orang per tahun. Tidak semua ditindak lanjuti seperti kasus Munir karena tidak semua kematian dicurigai sebagai kematian yang tidak wajar. Mungkin saja memang karena sakit.

Ada

satu hal yang ada di benakku setelah mengalami kejadian ini yaitu bahwa tangan Tuhan tidak bisa dilawan.Kalau toh Munir harus meninggal dengan cara dibunuh, Allah tidak akan membiarkan dia meninggal begitu saja tanpa ada suatu tindak lanjut. Kalau seandainya waktu itu Poengky tidak memintaku untuk menjemput Munir, aku yakin jenazah akan langsung diserahkan kepada KBRI dan dipulangkan ke Indonesia tanpa adanya suatu otopsi. Tapi Tuhan berkata lain, aku harus menjemput dia di Schiphol.  Aku waktu itu berkata sama Tuhan:

 

“Ya Allah, kalau seandainya Engkau mengutusku untuk melakukan sesuatu, kenapa Engkau memberikan tugas yang begitu mengagetkan seperti ini. Tapi mungkin memang inilah jalan yang harus aku lalui……Terimakasih ya Allah, Engkau percayakan tugas penjemputan ini kepadaku, tapi berikanlah juga kekuatan untuk menerima ujian ini. Amin……”  

 

Epilog:

 

Aku dan Leo memandangi foto pernikahan kami. Munir, doa kami selalu bersamamu. Semoga engkau sudah tenang beristirahat di sana. Semoga Allah menerimamu.

 

Terimakasih Munir, engkau sudah memberikan lebih dari cukup kepada bangsa Indonesia terutama kepada mereka yang lemah dan tak berdaya melawan kekerasan. Semoga kita semua bisa meneruskan perjuanganmu melawan tirani ketidak adilan.

 

Terimakasih Munir, engkau sudah menghadiri pernikahan kami. It means a lot to us.

Salam hangat selalu dari kami,

 

Sri Rusminingtyas dan Leo Fontijne  

32 comments:

  1. Mbak Sri, terima kasih utk catatan yg sangat berharga dan sekaligus mengharukan ini. Secara pribadi sy tdk mengenal Munir, tp sy kagum dgn perjuangan beliau dlm membela HAM. Semoga pemerintah punya nyali utk membuka dan menyelesaikan kasus ini. Pelakunya harus ditindak sesuai hukum yg berlaku.

    ReplyDelete
  2. Sampeyan beretemn tok mbak sama Munir? oalah aku juga dulu kaget baca beritanya. Semoga ya mbak kasus ini terselesaikan, agar orang seperti almarhum tidak meninggal dengan sia-sia.

    ReplyDelete
  3. Sri, aku mendengar dari penuturanmu langsung, dan membaca ini, aku masih membayangkan ekspresimu dan leo saat kamu cerita, dan bisa membayangkan kejadian sebenarnya. Thks ya Sri, jadi tahu bagian penting dari kematian ini, semoga kematian Munir tidak sia2 dan perjuangannya tak berhenti.

    ReplyDelete
  4. mbak Sri, saya bacanya juga ikut sedih.. keterlaluan ya.. org yg nyuarakan hati rakyat malah dibunuh... semoga keluarganya dikuatin dan kenangan Mbak Sri + Leo sama Munir jadi kenangan paling indah...

    ReplyDelete
  5. thx sharingnya mbak..
    Dah denger secara lisan dari mb Sri..sekarang baca tulisannya.
    Jadi tau cerita di balik layar

    ReplyDelete
  6. Terharu dan sedih bacanya ,smoga Alloh melapangkan Almarhum di alamnya..

    ReplyDelete
  7. Semoga arwah Munir diberi tempat yang baik disisinya, diterima amal ibadahnya dan keluarga yg ditinggal diberi kekuatan.....

    ReplyDelete
  8. Wah saya nggak bisa bayangin bagaimana perasaan mbak Sri waktu itu...mau menjemput teman malah temannya sudah tak bernyawa lagi sampai di sana.mestine "lemes dedes "yo mbak?aku aja yg mbyangin wis nggak karuan rasane..
    herannya kok sampai sekarang belum terpecahkan ya..

    ReplyDelete
  9. Sri, akhirnya kamu tuangkan juga cerita Munir juga foto kamu ini. Betapa dekatnya kalian dan tidak terasa sdh 5 thn yg lalu. Bagaimana berita terachir ttg perjuangan istri almarhum Munir,apakah beliau sdh berhasil mendapat pencerahan?Semoga dia tegar dan tabah membimbing anak2nya ya dan semoga arwah cak Munir diterima Allah SWT.

    ReplyDelete
  10. Kita semua berdoa ya Ienas, semoga kasusnya bisa diselesaikan secara adil. Aku selalu berpikir, kalau kasus Munir sampai tidak terselesaikan, bagaimana dengan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya....

    ReplyDelete
  11. Betul Re, Munir memang temanku. Kebetulan lembagaku waktu itu bekerja sama dengan Kontras dan Imparsial. Kita semua berharap ya Re semoga kematian Munir tidak sia-sia....

    ReplyDelete
  12. Semoga ya mbak Ine. Kita semua berharap begitu. Keadilan akan berbicara.

    Setelah kejadian itu, aku berpikir, Tuhan sudah mengatur semuanya. Allah mengatur supaya aku menjemput Munir. Lha kalau dipikir, ngapain coba aku waktu itu jemput Munir, wong dia kemana-mana bisa sendiri. Kalau masalah ijazahku yang ketinggalan, kan bisa aku ambil ke Utrecht. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain. Kalau aku tahu sebelumnya Tuhan punya rencana ini, aku terus terang emoh tenan ke Schiphol waktu itu. Lha wong ketika aku berangkat isuk-isuk umun-umun waktu itu tujuanku adalah menjemput teman yang hidup, bukan teman dalam keadaan tidak bernyawa.

    Mungkin karena Tuhan tahu aku pasti ngga mau kalau tahu tentang rencanaNya, maka aku tidak diberi tahu sebelumnya. Aku menemui Munir dalam keadaan terbujur kaku. Memang shocking, tapi alhamdulillah waktu itu aku diberi kekuatan untuk melakukan yang menurutku harus dilakukan.

    ReplyDelete
  13. Amin....semoga kasus Munir bisa diselesaikan dengan adil. Kita semua berharap begitu. Terimakasih...

    ReplyDelete
  14. Sama-sama Itha....ini aku tulis daripada ingatan ini makin hilang, jadi lebih baik secepatnya dituangkan dalam tulisan....

    ReplyDelete
  15. Amin.....kita semua berharap Munir sudah tenang di sana....

    ReplyDelete
  16. Wis waktu itu yo jan lemes tenan. Bahkan rasanya kayak mimpi ngga percaya. Tapi ternyata Munir memang sudah meninggalkan kita semua. Yang bisa kita lakukan adalah berdoa dan meneruskan perjuangannya.....lha sudah 5 tahun jé kasusnya belum selesai....

    ReplyDelete
  17. Amin.....

    Aku tulis juga setelah tertunda selama 5 tahun. Tiap tahun cuma draft melulu, kemajuannya cuma sedikit. Aku pikir kalau ngga aku tulis sekarang, kapan selesainya. Selain itu, kalau terlalu lama, ingatan tersebut akan hilang tak berbekas.

    Alhamdulillah pihak keluarga dan teman-teman tegar menghadapinya. Yang jelas kita semua berusaha untuk memperjuangkan keadilan untuk Munir. Aku cuma berpikir, kalau kasus ini tidak selesai, terus bagaimana dengan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

    ReplyDelete
  18. Terima kasih untuk sharing hal penting dan nyata ini,
    saya tersentuh dan menangis membaca catatan Mbak Sri

    Saya doakan yang terbik akan terjadi untuk keluarga, sahabat, rekan kerja yang ditinggalkan, dan Negri ini menuju keadilan seperti yang telah diperjuangkan oleh Saudara Munir.

    Amin

    ReplyDelete
  19. Jadi ikutan sedih Mbak... ceritanya menyentuh sekali.
    Semoga perjuangan Munir tidak sia-sia. Dan semoga makin banyak Munir lain yang berjuang juga.

    ReplyDelete
  20. Tulisan ini sangat menarik, mbok dikirim ke Kompas atau Kartini gitu...Ikut sedih!

    ReplyDelete
  21. Sungguh menghanyutkan, semoga Munir udah tenang di sana walopun perjuangan di sini belon berakhir, semoga kebenaran & keadilan bisa ditegakkan di negeri ini. Semoga.

    ReplyDelete
  22. Amin....kita semua berdoa agar keadilan bisa terwujud. Alhamdulillah teman-teman masih bersemangat untuk mengungkapkan kasus ini.

    ReplyDelete
  23. Amin....alhamdulillah sudah mulai muncul pengganti-penggantinya. Waktu Munir meninggal dulu, satu hal yang ada dalam benakku: Yang akan meneruskan siapa. Tapi ternyata, ada generasi penerus yang melanjutkan perjuangannya. Tuhan tidak tidur ya....

    ReplyDelete
  24. Makasih mbak. Lha aku malah ngga kepikir jé mbak ngirim ke Kompas atau Kartini. Ada teman dari Imparsial yang menyebarkan tulisanku ini kepada para wartawan supaya mereka memperoleh informasi ini....

    ReplyDelete
  25. Amin....kita berharap semua itu bisa terjadi....

    ReplyDelete
  26. Perjuangan Munir nggak sia sia mbak. Tahun 2004, presiden'e sopo yo? Kalau nggak salah kan sudah reformasi. Tapi guritanya Orba masih kuat bercokol. Bahkan sampai sekarang.

    ReplyDelete
  27. Waktu meninggal dulu, presidennya Megawati. Tapi kan waktu itu menjelang pemilihan presiden. Setelah itu ganti SBY sampai sekarang.

    Memang bener, walaupun reformasi, pengaruh orba masih kuat kok. Lha wong korupsi masih banyak.....

    ReplyDelete
  28. mba Sri, terakhir kita ketemu.. aku dengar langsung cerita ini...dan melihat ekpresi mba sri waktu menuturkan ceritanya... HP yang berisi sms terakhir munir pun, aku ingat kapan hilangnya...

    Semoga perjuangan Munir tidak sia-sia..

    ReplyDelete
  29. Akhirnya aku tulis sekalian Ning daripada lupa......

    Alhamdulillah Ning, teman-teman masih bersemangat.....

    ReplyDelete
  30. Sedih ya Sri , aku baca ceritamu ini. Semoga aja perjuangan Munir tidak sia2 ya.

    ReplyDelete
  31. Amin....kita semua berdoa untuk itu ya Rita....

    ReplyDelete