Wednesday, 28 February 2007

Big plate but small portion

Leo menjuluki restoran-restoran mahal dengan kalimat: "Big plate but small portion. After finishing your meal, you have to go to Mc Donalds because you are still hungry"


Restaurant kayak gini biasanya harganya muahal tapi porsinya kuecil. Nggak cocok buat porsi working class atau kuli kayak kami. Sudah harganya bikin sakit jantung, porsinya nggak cukup untuk mengobati sakit kantong dan jantung. Makin mahal harga di suatu restoran, makin kecil porsinya, itu kata Leo.


Bulan lalu perusahaan tempat Leo bekerja menyelenggarakan dinner untuk staffnya. Biasalah ini dinner tahunan. Yang dipilih adalah restoran yang menurut kami cukup mahal harga menunya soalnya hidangan yang keluar sesuai dengan ungkapan Leo: "Big plate but small portion"


Sebelum makan, semua staff yang berusia 50 tahun plus diminta untuk membuka botol champagne dengan menggunakan pedang. Leo bilang:


"This makes me feel old. Kenapa sih harus ada istilah 50+. Itu namanya diskriminasi"


Walaupun sambil ngomel, dia maju juga beserta 4 orang lainnya. Leo berhasil membuka botol dengan pedang panjang dengan sekali sambit. Terus isinya muncrat keluar... cuurrrrrrrrrrrrrrrrrrr.... Akhirnya setiap orang dikasih segelas champagne walaupun kami nggak minum. Gelasku aku kasih Andre yang kebetulan duduk di sebelahku. Aku nggak tahu, champagne jatahnya Leo siapa yang minum.


Di meja tersedia roti kayak french bread. Disediakan juga dua macam saos yaitu olive dan tomat yang dirajang lembut. Yang jadi masalah adalah porsinya kecil banget. Ada dua wadah dan masing-masing wadah cuma tersedia beberapa potong roti. Meja kami berisi 13 orang, akhirnya setiap orang saling tunggu karena nggak ada yang berani memulai. Setelah ada seseorang yang berani memulai, yang lain mengikuti. Tapi kemudian tidak ada yang berani mengambil lagi karena takut yang lain nggak kebagian.


Hidangan pembuka akhirnya datang. Leo dan aku memilih salmon asap yang didalamnya diisi mbuh apa gitu. Rasanya sih ada mayonaise nya. Aku sudah kelaparan, jadi yo wis nggak mikir, itu dibumboni apa. Yang penting makan. Cuma sebetulnya waktu hidangan tersebut keluar, aku sudah was-was. Lha gimana nggak was-was, wong salmonnya ukuran kuecil tapi piringnya guedenya sak ho-hah. Pasti hidangan selanjutnya nggak akan jauh berbeda.


Hidangan selanjutnya datang setelah setengah jam. Tiap orang dikasih gelas kecil berwarna cairan coklat. Di permukaan cairan tersebut mengambang beberapa irisan jamur merang yang dirajang tipis banget. Dick yang duduk di seberang Leo bilang:


"De soep is niet slecht.... ok.... het is lekker...."(supnya nggak jelek, enak kok). Sandria, istrinya menimpali:


"Menurutku sih ini bukan sup, tapi bouillon (kaldu)" Aku bilang:


"Lho ini sup to? Volgens mij is het water...."(menurutku sih air).


Lha gimana nggak disebut banyu (air), wong sop kok isinya cuma cairan bening thok, nggak ada isinya apa-apa kecuali beberapa irisan tipis jamur yang kemambang (mengapung). E... begini to kalau orang kaya makan. Dikasih banyu thok kok sudah cukup puas. Rasanya memang enak, tapi kalau untukku yo kurang kalau cuma kayak gitu.


Hidangan utama keluar lebih lama lagi. Ada kali kalau 2 jam-an. Kami semua sudah kaliren alias kelaparan. Lha gimana nggak kaliren, wong untuk persiapan makan malam biasanya tiap orang tidak makan siang atau makan siang cukup sedikit. Sambil menunggu untuk mengisi perut, kami minum en minum en minum.... akhirnya aku bolak-balik ke wc. Wis jan nggak cocok restoran priyayi kayak gitu untukku yang tarafnya kuli...eh...kuli saja enggak, wong aku ini pengangguran.


Hidangan utama berupa steak bagi yang non vegetarian. Bagi yang vegetarian dikasih hidangan lain. Steaknya kok rada merah gitu ya, jadi mau makan rasanya kurang tego. Tapi terus terang, hidangan ini adalah porsi terbesar dibandingkan dengan hidangan lainnya. 


Selain steak, dikasih pula kentang. Cuma ya itu sekali lagi. Lha wong semeja orangnya 13 kok dikasih kentang cuma dua mangkok. Ukuran mangkoknya kayak ukuran mangkok soto, jadi bisa dibayangkan kan isi kentangnya cuma seberapa. Kentangnya berbentuk bulat-bulat kecil. Itu lho kayak bentuk fruit cocktail, diameternya sekitar 1 senti-an.


Hidangan penutup keluarnya juga lama. Semua orang sebetulnya sudah capek, perasaan semua obrolan sudah diomongin.  Pasti semua orang pengin nunggu sampe hidangan penutup untuk menghormati yang sudah susah payah mengorganisasikan semuanya.


Hidangan penutup adalah soesje (kue sus) yang di dalamnya diisi es krim rasa vanila. Menurutku rasanya tidak istimewa. Rasanya biasa-biasa saja kayak es krim beli di Lidl (supermarket murah yang tersebar di Eropa). Bahkan ada es krim di Lidl yang jauh lebih enak daripada itu. Aku nggak bisa menghabiskan es krimku karena terlalu manis (wong aku sudah manis, kok dikasih manis lagi. he...he...he...). Akhirnya jatahku aku kasihkan Leo.


Begitu selesai makan es krim, kami langsung pulang. E.. enggak ding, semua orang minum kopi dulu sebelum pulang. Takut di jalan nggak bisa buka mata karena sudah malam. Aku sendiri milih minum coklat hangat karena nggak bisa minum kopi. Yang penting matak bisa dibuka.


Di jalan aku bilang sama Leo:


"Kalau nggak kemalaman, kita bisa mampir ke Mc Donalds ya. Cuma wis ngantuk" Leo bilang:


"Kita memang terlalu tua untuk begadang kayak gini...."


Lha wong makan kok lama banget. Mulai jam 18.30 dan selesai jam 23.30. Lha makan cuma sak gitu saja kok butuh 5 jam. Kami rasanya capek banget, angop (menguap) berkali-kali.


Hari Senin atau dua hari kemudian sepulang Leo dari kantor, dia bilang:


"Tadi di kantor Dick minta maaf karena dia ngambil kentangnya 3 biji. Harusnya tiap orang jatahnya 2 biji karena saking kecil porsinya"


"Ha?!?!?!?!?!?! 2 bija ya??????? aku ngambilnya malah 5 biji jé..... aduh....sorry......"


Catatan: aku nggak sempet motret semua hidangan, wong sudah kaliren. Jadi begitu makanan datang, langsung tak emplok atau minum (untuk sopnya eh...airnya), nggak nunggu lama-lama.  

Sunday, 25 February 2007

Jadi seleb....

Kalau mbak Ine dan mbak Estherlita menjadi seleb menurutku sudah wajar dan lumrah. Wong blio-blio ini pakar kuliner top yang artinya di dunia persilatan kuliner sudah dikenal secara luas.


Lha kalau aku jadi seleb? Menurutku kok ya rasanya belum pantes gitu, soalnya kalau bikin cake hampir selalu ambleg, bikin bolu kukus yang harusnya ngakak malah mingkup alias mengkeret, en kalau nggoreng brambang kadang masih belum bisa kemripik bagus (alias mlempem).


Tapi suatu hari, aku dihubungi oleh mbak Riana, salah satu moderator NCC. Blio menanyakan apakah NCC boleh menayangkan suratku di website NCC. Dulu aku memang pernah bercerita tentang pengalamanku bikin tiramisu kepada members. 


Lha aku yo bolah-boleh saja, wong itu cuma crito kalau aku pernah bikin tiramisu pake resepnya NCC dan hasilnya uenak bianget. Sekedar crito thok, nggak ada tips and tricks dll seperti yang biasanya diutarakan oleh para member. Malah tiramisunya nggak sempet difoto karena sudah keburu habis (maklum Leo dan aku nggak bisa ngelihat tiramisu dianggurin). Kata mbak Riana, memang cerita pengalaman member yang dibutuhkan. Akhirnya ditayangkanlah suratku ini oleh moderator NCC di website barunya (catatan: NCC punya 3 website). Malah pake foto segala, padahal seumur-umur belum pernah aku masang fotoku di MP, eh...lha kok ini dipasang di website NCC. 


Setelah ditayangkan, ada yang bercanda:


"Waduh....sekarang jadi seleb...."


Lho aku sekarang masuk golongan seleb to? Lha baru tahu. he...he...he... Ketika melihat gambarku di website tersebut, Leo bahkan berkomentar:


"You are becoming famous now....." 


Lho aku terkenal to sekarang? Kalau gitu aku mau cari bolpen dulu ah, siapa tahu ada yang minta tanda tangan. Kalau mau minta tanda-tangan antre dulu ya.....Wis jan norak tenan......jadi seleb sekali saja, noraknya nggak ketulungan. Lha wong ya belum pernah terkenal, ya gini-ini, norsek banget pokoknya. ha...ha...ha.... 


Bagi siapa yang pengin membaca critaku silahkan klik disini. Terimakasih ya NCC yang sudah membagi ilmu yang sangat bermanfaat untukku.


         

Friday, 23 February 2007

Anda masuk kategori mana?

Sekitar 23 tahun yang lalu ketika aku masih duduk di bangku kuliah tingkat 2, seorang dosen mengajukan 4 pertanyaan sebagai pengantar kuliahnya. Para mahasiswa diminta untuk menjawab dalam hati. Sang dosen memberi pertanyaan dan konteksnya. Terus terang aku masih ingat pertanyaan dia daripada inti kuliah tersebut (isi kuliahnya wis lali kabeh dari A sampai Z).


Di sini aku akan berusaha menjawab semua pertanyaan sang dosen. Bagi siapa saja yang tertarik, silahkan ikutan menjawab setiap pertanyaan tersebut berdasarkan konteksnya. Atau bisa saja menjawab langsung pertanyaan yang menyangkuti diri kita.


Intinya tentang kategori manusia (mungkin kelas sosial lebih tepat istilahnya) dalam hal makan. Marilah kita mulai:


1. Hari ini kita makan atau tidak ya?


Konteks: untuk mereka yang penghasilannya tidak menentu setiap harinya, seperti pemulung, tukang becak, pedagang informal dsb.


Jawab: Tergantung. Kalau hari ini dapat rejeki ya makan, kalau tidak ya harus puasa. Kalau hari ini hasil memperoleh kardus di tempat sampah cukup banyak, berarti bisa dijual  dan bisa beli nasi bungkus. Jadi bisa makan. Kalau hari ini dapat makan sisa yang dibuang di sampah oleh orang-orang kaya yang tidak menghargai makanan (tidak tahu bagaimana bersyukur), ya dimakanlah makanan yang sudah masuk sampah itu (bisa diteruskan sendiri, karena aku nggak tega untuk meneruskan saking menyedihkannya).


2. Hari ini masak apa ya? Hari ini makan apa ya?


Konteks: pertanyaan ini ditujukan bagi mereka yang biasanya punya penghasilan tetap (lebih pasti tiap minggu atau bulannya dibandingkan dengan kategori 1), ada uang untuk berbelanja untuk beli bahan makanan.


Jawab: Tahu goreng, ikan bakar, sate, rawon, nasi goreng, urap, gado-gado, rendang, gulai, lasagna, bakmi goreng dll (silahkan mengabsen sendiri sesukanya).


Catatan dari Sri: aku termasuk kategori ini. 


3. Hari ini makan dimana ya?


Konteks: Pertanyaan ini ditujukan bagi mereka yang sudah punya uang berlebih. Jadi kalau males masak, mbok ya tiap hari ke restaurant juga bisa wong namanya duit ada.  


Jawab: Ayam goreng Mbok Berek, Gudeg Bu Citro, Bakmi GM, Pizza Hut, Restoran-restoran di hotel-hotel berbintang, Arirang, Il Punto, dll (silahkan diabsen sendiri sepuasnya).


Catatan Sri: aku tidak bisa masuk golongan ini. Harga makanan yang dijual di restaurant  Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya sangat muahal, jauh lebih mahal dibandingkan dengan di Amerika. Apalagi setelah guilders berubah menjadi euro, rasanya harga-harga mencekik. Jadi nggak mungkin kami pergi ke restaurant setiap saat. Capek nggak capek, aku atau Leo harus masak kalau pengin makan. Kami ke restaurant hanya pada saat-saat yang penting seperti hari ulang tahun perkawinan. Kondisi ini tidak saja terjadi pada kami tetapi juga dialami oleh keluarga-keluarga lain di Belanda (paling tidak teman-teman kami mengalami hal yang sama).


Kelupaan: aku dulu lupa tanya dosenku. Waktu kuliah dulu, aku hampir tiap hari beli makan di warteg (maklum anak kos). Jadi artinya aku dulu selalu makan di luar. Apakah waktu itu aku bisa dikategorikan pada level ini?


4. Hari ini makan siapa ya?


Konteks: sudah jelas


Jawab: Rakyat!!!


Catatan Sri: Ngggak perlu catatan, wong sudah jelas.  


 

Thursday, 22 February 2007

Gaya pamernya anak-anak....

Aku punya pakde dan bude yang tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Mereka punya 8 anak dan anak-anak mereka sebagian besar sudah menikah dan sudah memiliki anak-anak pula. Artinya pakde-budeku ini sudah punya cucu-cucu.


 


Sebagian besar anak-anak dan cucu tersebut tinggal dan bekerja di Jakarta. Hanya putri tertuanya yang tinggal di sebuah desa tidak jauh dari rumah pakde-budeku ini. Dia menikah dengan seorang petani yang sangat baik dan santun. Pasangan ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang cakep dan cerdas sekali. Panggil saja namanya Alif.


 


Setiap Idul Fitri, semua anggota keluarga berkumpul di rumah kakek nenek mereka. Rumah pakde budeku betul-betul penuh setiap lebaran tapi rasa gembira dan suka cita selalu menyertai mereka pada hari yang fitri ini. Maklum kumpul-kumpul begitu biasanya cuma terjadi setahun sekali.


 


Anak-anak juga sangat menikmati masa-masa berkumpul dengan saudara-saudara sepupu mereka. Bermain, bercanda, bersuka ria bersama-sama. Kalau ada yang berantem juga wajar, tapi biasanya sih anak-anak cepat berdamai. Selain itu mereka juga saling suka pamer dengan gaya kanak-kanak. Kebetulan usia mereka juga hampir sama, kalau nggak salah antara 6 sampai dengan 8 tahunan (memang ada juga yang masih bayi atau balita, tentu saja mereka nggak ikut bermain dengan anak-anak kisaran usia tersebut). Alif waktu itu yang terkecil, bahkan belum 6 tahun tapi sudah bisa menangkap pembicaraan saudara-saudara sepupunya yang lebih besar. Begini nih pembicaraan mereka, seperti dituturkan budeku. Satu anak berkata:


 


“Papaku punya mobil baru. Warnanya putih, bagus lagi….” Yang lain menimpali:


 


“Tapi papaku punya mobil Kijang. Gede mobilnya, jadi bisa muat banyak….” Dijawab yang lain:


 


“Tapi papaku mobilnya lebih mahal…..”


 


“Emang berapa harganya?.......”


 


“Ya nggak tahu, tapi mobil kayak gitu kata papa mahal harganya….”


 


“Tapi tetap saja mobil papaku yang paling baru…..”


 


“Tapi kan mobil papaku bisa muat banyak orang…..”


 


Akhirnya terjadilah debat tentang betapa hebatnya mobil-mobil papa mereka. Yang masih diam saja adalah Alif melihat perdebatan tersebut. Maklum, ayahnya tidak punya mobil walaupun punya sawah luas. Tapi memang dia nggak kekurangan akal, dia langsung nyeletuk:


 


“Tapi bapakku punya SEPUR!!!”


 


“Ha???? Punya sepur???? Yang bener? Sepur kereta api?” Semua saudara-saudara sepupunya kaget memandang dia.


 


“Iya, sepur, kereta api. Guede dan puanjang banget……bisa muat banyak orang….Bunyinya tut-tut-tut dan larinya kuenceng banget. Mobil-mobil berhenti kalau sepur bapakku lewat….”


 


Akhirnya semua saudara-saudara sepupunya memandang dia dengan takjub dan terkagum-kagum. Lha ya coba to, punya kok sepur, apa nggak hebat banget itu. Semua mobil yang tadinya dibangga-banggain, kalah semua sama sepur. Mereka pasti mikirnya terus butuh garasi seberapa, wong mobil saja garasinya gede kok, apalagi kok sepur. Tentu butuhnya nggak hanya sekedar garasi, tapi stasiun. Akhirnya mereka semua mendengar cerita Alif tentang sepur bapaknya dengan seksama dan mata berbinar-binar saking kagumnya.


 


Budeku yang mendengar dari belakang tertawa terbahak-bahak. Ketika aku dicritain, aku juga nggak bisa nahan tawa. Lha wong punya kok sepur, apa nggak hebat tenan. Wong Bill Gates saja yang orang terkaya di dunia nggak punya sepur kok, lha kok bapaknya Alif bisa punya sepur. Sepur itu kan gede, panjang, kokoh dan kalau lewat lha mbok ya mobil limousine yang mewah dan harganya muahal sekalipun harus berhenti, nunggu sepur lewat.


 


Sebagai catatan, di desa tempat Alif tinggal memang ada stasiun kereta api, walaupun kecil. Hampir setiap hari, dia diajak bapaknya untuk berjalan-jalan ke stasiun sehingga dia bisa melihat sepur. Jadi Alif bisa bercerita dengan lancar tentang sepur bapaknya ini, bagaimana bentuknya, bagaimana bunyi klakson sepur yang tut...tut...tut.....


 


Gambar yang aku pasang adalah sepur yang ada di museum kereta api Ambarawa. Museum tersebut juga merangkap sebagai stasiun.   

Wednesday, 21 February 2007

Merasa kaya dengan 1,59 yuro....

"Being rich" dan "feeling rich" adalah dua hal yang berbeda. Ada orang kaya tapi tetap saja merasa kekurangan, sampai bingung aku. Punya rumah mewah (nggak hanya satu), mobil mewah (ini juga nggak hanya satu), simpanan di bank sak ho-hah (saking banyaknya) dan sebagainya tapi tetep saja merasa dirinya belum kaya, merasa dirinya kekurangan, merasa resah gelisah kenapa hartanya masih di bawah orang lain. Jadi kaya itu relatif, menurutku dia sudah kaya, tapi menurut dia masih kurang kaya.


 


Tapi di lain pihak, ada orang biasa yang hartanya hanya sekedarnya tetapi merasa dirinya kaya, berkecukupan karena selalu bersyukur. Rasa syukur inilah menurutku kuncinya. Orang seperti ini lebih tenang hidupnya, tetap bekerja keras, jujur, terus meningkatkan taraf hidup dan tidak pernah lupa bersyukur.


 


Aku sendiri sebetulnya gampang kok kalau pengin merasa kaya. Modalnya cuma 1,59 yuro (maksudnya Euro) dan sudah merasa kaya. Nggak percaya? Silahkan baca pengalamanku berikut ini.


 


Sekitar 26 tahun yang lalu (tahun 1981) ketika aku masih duduk di bangku SMA kelas 2, aku diundang teman sekolahku di pesta ulang tahunnya. Nggak hanya aku saja sih yang diundang, tapi semua teman sekelas. Dia itu orang tuanya kaya (menurut ukuranku lho ya, mungkin menurut orang lain beda). Gimana nggak disebut kaya, wong dia itu orang tuanya punya perusahaan, punya pabrik,  punya rumah gede mewah magrong-magrong, punya mobil mewah nggak hanya satu, halaman rumahnya luas (saking luasnya bisa bikin untuk main sepak bola), belum lagi tamannya ditata bagus, mestinya ya punya pembantu banyak, tukang kebon, sopir dsb. Belum lagi kalau liburan ya ke luar negeri segala. Lha aku sendiri piknik ke Ancol saja sudah suenengnya setengah mati.    


 


Aku memutuskan datang pada pesta ultahnya karena aku lihat orangnya baik, nggak sombong. Kalau sombong, males aku datang walaupun misalnya diiming-imingi door prize.


 


Jaman dulu, walaupun orang kaya, pestanya ya biasa-biasa saja nggak kayak sekarang. Ada taart terus yang ulang tahun nyebul lilin, ada makan minum, snack, klethikan dsb seperti layaknya pesta ulang tahun. Acaranya ya biasalah selain makan minum, juga nyanyi, njoget (bagi yang mau) dengan diiringi musik dari tape recorder, dan ada permainan. Orang tuanya ngawasi dari kejauhan. Jadi ya persis acara ultahnya anak-anak SD jaman sekarang.


    


Ya namanya orang kaya ya, tentu saja hidangannya melimpah dan uenak-uenak tentu saja. Jadi yo pas lah dengan seleraku (wong aku ini dalam hal rasa cuma punya dua kategori kok: enak dan uenak bianget). Dari sekian banyak hidangan, yang paling menarik buatku adalah kripik kentang yang ada taburan kejunya. Wadahnya merah panjang, ada gambar kepala orang yang berkumis, judulnya atau merk kripik kentang tersebut adalah Pringles.


 


Waktu itu aku baru pertama kali makan kripik kentang yang judulnya Pringles. Menurutku sih enak. Dalam benakku, aku waktu itu berpikir: “Pasti harganya mahal, wong kentang kok dikasih keju. Kejunya saja rak yo sudah mahal mestinya. Mungkin belinya di luar negeri wong aku belum pernah melihat kripik kentang kayak gini dijual di warung”


 


Lha iyo to, kentang kok diiris-iris tipis dibuat kripik dan diulet sama keju. Lha di rumahku itu, paling pol kentang ya dibikin sop pake sayur buanyak banget supaya semua anggota keluarga kebagian, kalau ada tetelan ya dimasuki tetelan, kalau nggak ada ya cuma sop sayuran. Atau paling banter dibuat bergedel, pake telur satu biji biar waktu digoreng nggak ambyar. Lha ini kentang kok dimakan begitu saja. 


 


Aku waktu itu bersyukur, alhamdulillah, aku kok bisa ngicipi kripik kentang mahal, pake keju lagi. Kalau disuruh beli pasti nggak mampu. Wong aku dulu bisa jajan di kantin sekolah saja sudah bersyukur kok. Aku berpikir: “Kapan ya aku bisa beli kripik kentang kayak gini?”


 


Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah. Tapi impian untuk beli Pringles masih ada dalam pikiran. Tapi tetap saja nggak pernah kebeli, lha wong uang saku bulanan cuma cukup untuk jajan di warteg. Maklum anak kos, jadi harus super ngirit, kalau perlu puasa. Kalau mau kripik ya tentu saja kripik singkong bukan kripik kentang luar negeri, wong kripik singkong saja menurutku uenak banget kok. 


 


Lulus kuliah aku bekerja, punya penghasilan sendiri, tapi tetap saja masih belum mampu beli Pringles. Maklum gaji LSM, jadi pas-pasan. Kalau dipaksain waktu itu memang bisa, tapi masih terlalu mewah buatku. Selain itu aku kan bergaulnya sama petani, buruh pabrik, pedagang informal, mosok aku beli Pringles, rak yo njegleg nanti.


 


Impian untuk beli Pringles itu masih terus berlangsung selama bertahun-tahun. Alhamdulillah, tahun 1998 aku waktu itu diparingi berkah, dapat beasiswa untuk sekolah di New Zealand, dibiayai oleh pemerintah NZ. Di sinilah aku akhirnya beli Pringles. Lha wong seingatku dulu, harga daging (terutama daging domba), susu, mertego, keju dan Pringles lebih murah daripada harga tahu, brambang, tempé dan sejenisnya.


 


Aku masih ingat, aku beli Pringles di New World, sebuah supermarket gede di NZ. Waktu aku lihat si Pringles nongkrong di sana, aku rasanya ingin berteriak: “Akhirnya!!!!” Aku ambil satu dan aku timang-timang. Terus ke kasa langsung aku beli (wong punya duit kok waktu itu walaupun nggak banyak).


 


Sampai di asrama, langsung aku buka, aku gigit dan kunyah satu persatu. Aku nikmati betul-betul kripik kentang satu ini, sambil bergumam:


 


“O……Begini to rasanya jadi orang kaya…..”


 


Jaman SMA dulu, hanya orang kaya yang bisa beli Pringles. Jadi kalau aku sekarang bisa beli Pringles, aku sudah termasuk orang kaya juga to? Bener to? Walaupun butuh waktu selama 17 tahun sebelum akhirnya aku merasakan menjadi orang kaya. Tapi nggak pa-pa lebih baik terlambat, daripada nggak pernah ngrasain “kaya” sama sekali.


 


Akhirnya sampai sekarang kalau aku pengin merasa kaya, aku beli saja Pringles. Cuma berhubung aku sudah makin sepuh, akhirnya nggak bisa makan kentang luar negeri ini sesukaku. Aku harus ingat kolesterol, belum lagi badan makin melar. Lagian kalau makan Pringles terusan juga mblenger kok. Dengan keterbatasan ini, aku paling makan Pringles 2 sampai 3 kali setahun. Paling tidak dalam setahun, aku 2 atau 3 kali merasa kaya. Cukup to?. 


 


Dua hari yang lalu aku lirik si Pringles ini di supermarket. Harganya 1,59 euro (sekitar Rp.18 ribuan), tapi aku saat itu sedang tidak kepingin merasa kaya, jadi ya nggak beli. Tapi ternyata sampai di rumah, aku bongkar stok makanan, aku nemuin Pringles masih dalam keadaan tertutup. Aku potretlah dia.    


 


Catatan: Aku bukan pegawai pemasaran Pringles. Suwer!

Monday, 19 February 2007

You make me very tired.....

Karena punya istri orang Indonesia, Leo juga belajar makan makanan Indonesia. Yang diadaptasi bukan saja rasa tetapi juga bagaimana cara orang Indonesia meracik makanan. Kata dia:


"Kalau masih salah-salah, nggak pa-pa kan? Aku kan masih orang Jawa amatiiiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr"


Salah satu yang dipelajari adalah bagaimana cara meracik gado-gado, salah satu makanan kegemaran dia. Kalau sedang nggak males, setelah sayuran direbus, aku taruh tiap jenis sayuran secara berkelompok, nggak aku campur jadi satu. Maksudnya sih supaya enak dipandang dan mengundang selera. Aku nggak pernah masak gado-gado dengan bayam karena Leo nggak suka bayam sama sekali. Jadi aku masak sayuran yang ada saja. Ok, kita mulai meracik sekarang. Dia mengikuti apa yang aku lakukan. Aku bilang:


"First.... boontjes" aku mengambil buncis di piringku


"Ok.... boontjes...." dia menirukan apa yang aku lakukan, mengambil buncis dan ditaruh di piringnya.


"Then, wortel...."


"OK, second is wortel......."


"Now is bloemkol (kembang kol)...."


"OK, bloemkol...."  


"Brokoli....."


"OK, brokoli......"


"Then, tahoe......" Maksudnya tahu yang sudah dipotong kecil-kecil dan digoreng.


"Ok, tahoe....."


"Egg...."


"OK, eeg...."


"Then.... tauge...."


"OK, tauge....."


"Now is boemboe gado-gado....."


"OK, boemboe gado-gado....."dia ikutan menyiramkan bumbu gado-gado


"Then, brambang goreng..... This is the last step"


"OK, brambang goreng......" Lucu juga mendengar dia mengucapkan brambang goreng (bawang merah goreng).


"Now..... we mix.....!!!" Aku dengan tenang mencampur gado-gadoku tanpa rasa bersalah, tanpa merasa ada sesuatu yang kurang. Kalau kurang-kurang paling juga krupuk, bisa digigitlah secara terpisah. Tapi dia kelihatan sangat kesal melihatku.


"Uhhhhh....... you make me very tired....."


"Lho emang kenapa? Sudah dimakan, nanti nggak enak kalau kelamaan" Kataku kalem karena aku merasa tidak ada yang salah sama sekali dalam memberikan instruksi.


"What is the point?????? First is this, second is that, then this, then that, now is this, then that, finally is this and then suddenly you said: now we mix! So.... what is the point that you should be in the right order but finally you have to mix it??????? I have followed all the steps properly and then I have to mix it ?!?!?!?!"


Dalam hati aku juga pengin ketawa (terus terang baru sadar kalau selama ini aku nggak pernah berpikir sampai ke sana), tapi tetap saja aku nggak mau kalah. Aku bilang:


"Lho katanya kamu pengin belajar gimana orang Jawa meracik gado-gado....ya begini ini.  Ya nggak mungkin kok brambang goreng dan boemboe letaknya di bawah tapi buncis paling atas. Dimana-mana ya gitu stepnya. Nggak ada kok kroepoeknya di bawah wortel. Tauge itu selalu di atas, selalu letaknya terakhir sebelum disiram bumbu dan dikepyuri brambang goreng"


Padahal sih ada juga ya gado-gado yang paling atasnya justru telur, tapi waktu itu aku nggak mau ngaku.


"My God..... it's so complecated. Javanese tradition is so complecated....."


Dia kelihatan capek dan geleng-geleng kepala karena nggak mudeng. Ngapain susah-susah pake prosedur penataan kalau akhirnya dicampur juga. Sejak saat itu, dia nggak mau mengikuti prosedur, instruksi dan petunjuk (yang sangat bijaksana) dalam meracik gado-gado yang sudah aku ajarkan. Dia ambil suka-suka.  Satu hal yang dia masih ikuti adalah bahwa boemboe dan brambang goreng letaknya paling atas. Mungkin itu yang paling masuk akal dia. Aku amati, dia juga nggak selalu mencampur gado-gadonya, yang penting menyiram boemboenya rata di atas sayuran.


Ketika aku cerita ke temanku tentang hal ini, temanku bilang:


"Kamu yang gila... mbok biarin saja dia ambil suka-suka..."


"Lho ya nggak bisa, tauge itu selalu yang paling atas, nggak ada kok nyiram boemboe dulu baru ditaruh sayurannya, nggak ada kok......"


Biasa.... nggak mau ngalah.... he...he...he....


 

Telur pindang

Pengin rasanya makan telur pindang, tapi nyari daun jambu di sini nggak nemu. Untung waktu itu mbak Esther pernah posting resep telur pindang menggunakan teh. Akhirnya nyontek deh. Terimakasih ya mbak Esther. Cuma aku nggak pake teh tubruk tapi teh celup (yang penting teh to?).


Bahannya: telur rebus 6 biji, kulit bawang merah, 1/4 sdm kunyit bubuk, 2 lembar daun salam, 1 batang sereh, 1 teh celup dan 1/2 sdm garam.  


Telur dipukul-pukul sampai retak tapi nggak sampai mengelupas. Terus masukkin ke panci, kasih air, dan masukkin semua bahan lainnya. Rebus dah. Sekali-kali aku aduk biar merata warna dan rasanya. Angkat kalau kulit telur sudah berubah warna.


Waktu itu aku tanya mbak Esther, berapa lama ngrebusnya supaya gempi (keras) kayak telur semur Betawi atau telur gudeg Yogya. Kata mbak Esther kalau mau keras kayak gitu, telurnya harus direbus 3-4 jam. Lha aku kan nggak sesabar mbak Esther, jadi 1 jam sudah aku angkat. Malah tadinya seperempat jam mau aku angkat karena sudah laper. he...he...he.....


Rasa: Enak. Penampilan: nggak jelek kan? Ada bekas-bekas garis-garis retak. Orang-orang Belanda yang melihat telur pindangku ini terkagum-kagum. Mereka bilang: "Mooi....." (cantik).  Kata Leo kayak marbel (marmer). Siapa dulu dong gurunya.....Terimakasih ya mbak Esther.......  

Sunday, 18 February 2007

It's so you....

Leo mengatakan kalau aku dalam hal "maintenance" termasuk murah. Lha nggak murah gimana, wong perhiasan yang melekat di tubuhku cuma cincin kawin (kalau bukan cincin kawin, aku juga mungkin nggak bakalan pake cincin).


Aku nggak bisa pake anting atau giwang baik emas apalagi imitasi. Kupingku alergi sama logam. Pernah pake giwang berat cuma 1 gram tapi terus infeksi berat. Akhirnya harus dioperasi. Biaya operasinya malah lebih mahal daripada harga giwangnya. Jadi kapok juga akhirnya. Dokter juga menyarankan aku untuk tidak pake perhiasan di kupingku, daripada infeksi malah repot. Selain itu aku juga kurang demen pake gelang dan kalung. Nggak tahu kenapa, kok rasanya risi gitu ya.


Kalau di Indonesia memang kadang pake sedikit perhiasan seperti kalung ketika harus ke kondangan. Itupun pake acara dipaksa dulu oleh ibu atau teman-teman. Katanya biar rada memper, wong namanya mau njagong. Di sini nggak pernah pake begituan karena memang selama ini nggak pernah terima undangan-undangan kayak gitu. Lha wong kalau ada acara dinner diundang company tempat Leo bekerja, semua orang pake baju santai kok. Kalau perlu mereka malah cuma pake T-shirt dan jeans dan tidak ada orang yang peduli. Jadi aku tidak merasa ada kebutuhan untuk memakai perhiasan, dus.... yang berarti nggak ada kebutuhan beli barang begituan. Jadi yo memang betul, kata Leo aku ini dalam hal "maintenance" termasuk murah.


Saking jarangnya beli perhiasan (di sini malah nggak pernah sama sekali), aku pernah terkaget-kaget ketika suatu kali mengetahui mahalnya harga-harga perhiasan tersebut. Lha wong cuma sebuah cincin saja kok harganya bisa ratusan bahkan ribuan Euro. Belum lagi harga kalung dan tiara. Lha itu yang beli juga siapa gitu, kok mau-maunya beli barang yang mahalnya kayak gitu. Terus penghasilannya berapa gitu. Apa nggak takut dirampok kalau pake perhiasan kayak gitu. Masih banyak lagi keheranan yang meliputi otakku. 


Keherananku ini aku ungkapkan ke Leo:


"It's so expensive........ and you cannot even eat it"


Leo tertawa mendengar komentarku tentang mahalnya harga cincin yang aku lihat. Dia bilang:


"It's so you!!!!!!!"


"Elho..... kok it's so me. Why is it so me??????????"


"It's so obvious, your priority is not far from food and eating"


"Lho, kalau bukan itu, terus apa dong??????"


Ketika dulu aku mengucapkan: "Sudah muahalnya setengah mati, nggak bisa dimakan lagi", terus terang aku juga lupa, apakah aku mengucapkannya dengan sadar, atau keluar secara otomatis dari mulutku. Jangan....jangan memang aku ngucapkannya di bawah sadar, jangan....jangan Leo memang betul kalau my priority nggak jauh dari hal makan-memakan. Jangan....jangan....


Note: gambar yang aku pasang di sini aku ambil waktu kami berada di Portofino, Italia. Bingung aku kok banyak amat boat dan yacht di sana. Orang kaya itu ternyata suka tempat beginian to. Toko-tokonya jual barang-barang yang harganya mahal. Ada satu toko di sebelah kiri (nggak kelihatan di gambar), yang menjual perhiasan. Harganya gila-gilaan. Aku nggak berani ambil gambar di toko tersebut, takut ditangkep. Yang mahal bukan saja toko perhiasan saja, tapi juga toko-toko lain seperti toko tas, baju dsb. Maklum yang dijual barang-barang ber-merk kayak Louis Vuitton dan sejenisnya. Bahkan cafe saja kok jualannya muahal banget. Kehadiran yachts itu menurutku yang bikin daerah tersebut jadi mahal. Kami sampai nggak berani masuk cafe karena tahu harganya muahal. Untung kami bawa sandwich, kalau enggak bisa kelaparan.   


 


 


 

Saturday, 17 February 2007

Papa kapan akan bercerai dengan mama?

Bapaknya kaget setengah mati ketika ditanya anaknya yang masih SD dengan pertanyaan seperti itu.


Perasaan pernikahannya aman-aman saja, dia dan istrinya nggak neko-neko, nggak bikin affair wong nggak ada duit buat bikin affair (karena katanya bikin affair is costly, bener nggak nih?).


Punya anak semata wayang saja, dia dan istrinya sudah suenengnya setengah mati. Lha kok tiba-tiba ditanya kapan mau cerai. Yang nanya anaknya lagi. Tapi dia memang melihat wajah anaknya betul-betul kelihatan pengin tahu. Dia terus tanya anaknya:


"Kenapa kamu tanya seperti itu?"


"Soalnya di kelas, yang punya ayah ibu yang masih belum bercerai cuma aku saja. Teman-teman lain bapak ibunya sudah bercerai" Hah? Ternyata itu to masalahnya.


Itu adalah cerita guru bahasa Belanda saya di kelas (tentu saja pake coro Londo, wong namanya kursus boso Londo kok).  Dan ini kisah nyata.


Kalau dipikir-pikir, jawaban anak tersebut membuat kita prihatin kan? Apakah begitu tingginya tingkat perceraian di Belanda? Karena penasaran, aku coba gugel (dibantu oleh Leo karena dia juga pengin tahu) tentang jumlah perkawinan dan perceraian. Akhirnya kami memperoleh data dari Biro Pusat Statistiknya Belanda. Total perkawinan pada tahun 2005 adalah 72.263 sedangkan total perceraian pada tahun yang sama adalah 31.905. Perbandingan antara perceraian dan pernikahan sepertinya hampir 1:2, tapi tentu saja tidak semua perceraian yang terjadi pada tahun 2005 merupakah hasil pernikahan pada tahun yang sama.


Tapi kalau menurut data di sini yang ditulis oleh H.M. Pragt dengan menggunakan data tahun 2001, menyebutkan bawa 1 DARI 3 PERNIKAHAN BERAKHIR DENGAN PERCERAIAN. Cukup memprihatinkan bukan? Jadi pertanyaan polos yang diajukan anak guru boso Londoku kalau dipikir-pikir yo cukup masuk akal kalau melihat tingkat perceraian di Belanda yang cukup tinggi. Ini cuma data menikah dan cerai lho ya, belum termasuk data yang samen leven atau samen wonen (living together) yang kemudian berpisah.  


Yang menarik lagi adalah tabelnya (lihat tabel yang juga saya pasang di sini). Terlihat bahwa presentasi perceraian yang tertinggi terjadi ketika usia perkawinan sekitar 5-9 tahun. Mungkin saja ketika usia pernikahan sudah mencapai kisaran tersebut (terutama 7 tahun kali ya?), pasangan mengalami kejemuan. Ketika usia perkawinan masih di bawah 5 tahun, bau-bau honeymoon masih ada, jadi tingkat perceraian masih lebih rendah (maklum sudah mulai berantem-berantem). Ini juga dugaanku kok, pake ilmu kira-kira.


Setelah usia pernikahan lebih dari 9 tahun, tingkat perceraian makin turun. Mungkin sudah tahu watak pasangan masing-masing, sudah paham tingkat kengambegan pasangannya, jadi pernikahan sudah mulai stabil.


Anehnya dari tabel tersebut, tingkat perceraian naik lagi ketika usia pernikahan antara 25 sampai dengan 30 tahun. Lha aku kan bingung. Aku tanya Leo:


"Lha wong ya sudah oma-oma en opa-opa kok malah cerai to. Lha itu kenapa?" Dia jawab:


"Pada usia pernikahan segitu, biasanya orang sudah mulai masa pensiun. Konsekuensinya mereka (pasangan) lebih sering ketemu. Ternyata mereka baru tahu bahwa selama ini pernikahan mereka sebetulnya ada yang nggak beres. Jadi bercerailah mereka"


Usia pensiun di Belanda adalah 65 tahun (baik pegawai negeri ataupun swasta). Kalau orang menikah usia 35 tahun, jadi ya paslah kalau setelah 30 tahun kemudian, seseorang berusia 65 tahun. Terus aku bilang ke Leo:


"Kalau analisismu atau mungkin dugaanmu bener, jadi mendingan untuk menghidari perceraian, orang nggak usah pensiun saja ya supaya nggak sering ketemu"


"Lha kalau memang itu alasannya, ya betul nggak usah pensiun biar pasangan nggak sering ketemu supaya nggak sering berantem. Tapi mosok orang kok nggak pensiun. Aku saja kalau punya duit banyak pengin pensiun kok sekarang, nggak perlu nunggu waktu pensiun"


Bagi yang tahu masalah ini, silakan berbagi. Mungkin malah ada yang tahu data dari Indonesia atau negara-negara lain?  


  

Sunday, 11 February 2007

I thought, there would be half of ayam....

Sudah kondang kawentar-wentar diantara keluarga, kerabat dan teman-teman kalau Leo nggak suka makan daging ayam. Alasannya sederhana, katanya rasanya sepo alias hambar.  Malah lebih ekstrim lagi dia bilang rasa ayam Londo kayak rubber (kayak pernah makan karet saja dia itu).


Belum lagi menurut dia kalau pembiakan ayam di Belanda tidak ayami alias tidak menghargai hak-hak asasi ayam. Lha wong khutuk (anak ayam) yang baru menetas cuma nunggu waktu 6 minggu kok sudah dipotong. Belum lagi kabarnya karena ternyata antibiotik disinyalir bisa menggemukkan ayam dengan waktu cepat, para peternak menyuntikkan antibiotik supaya ayamnya cepet gede. 


Pembiakan ayam Londo sudah kayak ayam industri, diternakkan besar-besaran. Satu peternak bisa punya ribuan yam. Lha gimana Belanda dengan penduduk 16 juta jiwa, jumlah ayam bisa mencapai 60 juta. Padahal nggak semua orang jadi peternak to.


Aku pernah lihat di tivi tentang industri ayam. Lha kok ratusan ayam digantung gitu di sebuah alat kayak ban berjalan. Kayaknya menunggu untuk proses selanjutnya. Langsung channelnya aku pindah, wong ora tego. Padahal kalau dipikir aku ini yo phobi sama ayam, tapi tetep saja nggak tego kalau ngelihat ayam dibegitukan. Jadi memang bener Leo, industri ayam di Belanda tidak menghargai hak-hak asasi ayam. 


Berhubung Leo nggak suka makan daging ayam, aku ya akhirnya bisa dikatakan hampir tidak pernah masak pakai daging ayam. Wong aku sendiri juga kurang suka kok ayam Londo, memang bener dia, rasa ayam Londo menurutku sepo (hambar), nggak seperti ayam kampung. Cuma ini menurutku lho ya, mungkin bagi orang lain akan berpendapat berbeda.


Walaupun Leo nggak suka daging ayam, tapi dia gemar banget makan soto. Cuma ya bukan soto ayam tapi soto daging cincang. Menurutku soto daging lebih gurih daripada soto ayam.


Karena Leo suka makan soto, maka ketika kami pulang kampung, aku ajak dia untuk makan soto. Kebetulan waktu itu kami berada di Semarang. Aku ngajak juga keponakanku (cucu budeku) untuk makan soto di soto Bangkong. Komentar keponakanku:


"Lho bukannya om Leo nggak suka ayam? Kok diajak makan soto Bangkong?" Aku bilang, ya gampanglah nanti. Kebetulan saudara sepupuku nelpon sebelum kami berangkat. Aku ngajak dia untuk gabung makan siang di soto Bangkong. Komentarnya sama:


"Lho bukannya Leo nggak suka ayam, kok kamu ajak makan soto ayam sih" E... lha dalah, ternyata kabar kalau Leo nggak suka ayam sudah menyebar sak antero Semarang to. Aku jawab:


"Nanti aku yang makan ayamnya. Yang penting dia bisa ngrasain rasa asli soto ayam"


Akhirnya kami rame-rame berangkat ke Bangkong. Tapi sebelumnya, aku sudah kasih tahu Leo kalau soto ayam yang akan dimakan menggunakan ayam kampung, jadi rasanya lebih enak daripada ayam industri.


Setelah sampai sana, kemudian kami pesan soto, es jeruk, dan sebagainya.  Bahkan Leo pengin nyoba makan soto dengan cara "tradisional" (maksudnya nasi dan sotonya dicampur dalam satu mangkok, atau nasi tidak ditaruh di piring secara terpisah). Nggak berapa lama, pesanan datang, termasuk soto  pesanannya Leo.


Ketika Leo memperoleh sotonya, dia malah bingung dan tanya:


"Lho ini soto ayam?"


"Lha iya. Lha ya ini soto ayam. Emang kamu maunya kayak apa?" Jawabku sambil ngambilin suwir-suwiran daging ayam dari mangkoknya Leo yang aku pindah ke mangkokku.


"I thought, there would be half of ayam in my bowl...."


Ha...ha...ha.... kami semua tertawa. Jadi selama ini, dia membayangkan kalau yang namanya soto ayam itu, ya ayamnya gede (Emangnya Londo kalau makan ayam harus gede porsinya). Lha kok tahunya yang namanya soto ayam, ayamnya cuma berupa suwir-suwiran ayam yang sporadis.  


Sambil makan sotonya, dia berkomentar:


"So, tukang-tukang soto in Indonesia only use one ayam for hundreds of bowl ya?" Ha...ha...ha... kalau dipikir memang betul. Karena yang penting kan duduh (kuah) nya soto sudah bau ayam, sedangkan satu ayam kalau disuwir-suwiri rak yo jadinya banyak. Tapi dia meneruskan:


"No wonder Javanese has less problem of heart attack compared to European and American. Lha wong satu ayam disuwir-suwir buat orang sekampung" Ha...ha...ha...


Foto yang aku pasang di sini adalah foto buatanku. Memang ada ayamnya, tapi cuma sedikit, hanyak untuk kepentingan foto. Isinya sih soto daging cincang.  

Thursday, 8 February 2007

Lha kok yo pada pinter-pinter cari suami to.....

Siang itu aku sedang di depan komputer. Ada telepon. Ternyata dari seorang teman yang tinggal di Perancis. Panggil saja namanya Esti. Aduh senang sekali rasanya ditelpon dari Prancis.


Sebagai informasi, blio ini orangnya cerdas, ramah, grapyak dan berpengetahuan luas. Bagi seorang kuper kayak aku, tentu saja seneng ditelpon blio karena bisa tanya-tanya macem-macem termasuk apa saja issue yang sedang ngetrend garis miring berkembang belakangan ini. Blio bisa bercerita dengan segala analisis yang masuk akal tentang berbagai hal, dari mulai poligami, politik internasional, masalah lingkungan, agama, harga tomat, kondisi buruh pabrik, domestic workers sampai dengan masak-memasak beserta resepnya. Wis komplit pokoknya.  


Kali ini Esti bilang kalau sedang kesal. Lha aku nanya: "ono opo? emang knape kesel?" Akhirnya mengalirlah cerita blio. Jadi ternyata, dia akhir-akhir ini mengikuti diskusi blog atau malah milis (lha malah aku wis lali, milis yang dia ikuti apa ya namanya?) tentang perkawinan campuran. Maklum blio menikah dengan orang Prancis, jadi yo harus tahu berbagai hal tentang perkawinan campuran.


Intinya dalam diskusi itu, sekarang ini ternyata sedang ada semacam trend bahwa banyak perempuan |ndonesia yang menikah siri dengan orang asing. Sebelum menikah mereka melakukan perjanjian pra nikah tentang pemisahan harta. Jadi kalau akhirnya mereka bercerai, masing-masing pihak tidak bisa meng-claim harta pasangannya. Dia bilang:


"Sekarang ini kok kayak artis saja, pake perjanjian pra nikah segala. Lha kalau misalnya mereka kaya nggak pa-pa, wong ya enggak. Kalau untuk urusan bisnis aku malah bisa ngerti. Lha wong tujuan perjanjian pra nikah itu sekarang sudah beda. Kok kayaknya pernikahan sekedar ngomongin harta thok"


"Lho kalau mereka memang maunya ada perjanjian pra nikah, mbok ya biarin. Lha wong di Belanda juga banyak kok yang pake perjanjian pra nikah dan mereka biasa-biasa saja tuh. Setahuku di Belanda perjanjian pra nikah bisa dipakai untuk perlindungan bisnis" kataku. Setelah minum air putih beberapa teguk, aku melanjutkan:


"Jadi misalnya nih, aku punya bisnis dan pinjam bank. Terus perusahaanku bangkrut, maka yang disita cuma hartaku saja. Nggak bisa pengadilan menyita hartanya Leo. Dengan begitu, kami masih bisa bertahan hidup karena Leo nggak punya tanggung jawab untuk melunasi utangku. Setahuku kayak gitu hukum di Belanda. Mungkin di Indonesia juga sama"


"Lho kalau itu aku yo mudeng, paham betul. Itu kan untuk kepentingan bisnis. Yang aku permasalahkan bukan itu"


"Lha terus apa?"


"Sekarang ini, perjanjian pra nikah banyak yang digunakan untuk mengeruk harta pasangan. Jadi ada semacam trend atau apalah namanya dimana ada perempuan-perempuan Indonesia menikah dengan orang asing dengan perjanjian pra nikah. Selama menikah, si perempuan berusaha untuk membeli rumah dan sebagainya atas nama dia tapi dengan duit suaminya. Kan tahu sendiri, orang asing nggak boleh beli tanah atau rumah di Indonesia, yang boleh cuma hak pakai, bukan hak milik. Jadi tentu saja pembelian itu pasti atas nama sang istri. Jadi kalau mereka bercerai, pihak perempuan akan tetap memiliki rumah tersebut. Yang mengherankanku adalah pemilikan harta itu yang jadi tujuan, bukan pernikahan itu sendiri"


Aku berusaha mencerna apa yang dia katakan. Dia meneruskan:


"Kalau tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh harta pasangan, itu kan ya memalukan. Lha wong sebelum nikah nggak bawa apa-apa, tapi setelah cerai bisa punya macem-macem harta. Kita kan harus tahu diri dong, wong dulu sebelum nikah nggak bawa harta, selama nikah kita menuntut dibelikan macem-macem kayak rumah perhiasan dll dari pasangan kita dan setelah cerai malah kaya. Apa itu tujuan pernikahan? Cuma sekedar mengumpulkan harta, mengeruk harta dari pasangan? Gimana coba kalau kayak gitu? Memalukan kan? Padahal esensi pernikahan itu kan cinta, kasih sayang, saling menghargai, saling menghormati, tepo sliro, care dsb. Lha ini kok malah gimana caranya ngeruk harta. Memalukan kan? Gimana kalau kayak gitu?"


Sebetulnya otakku sedang tidak koncreng saat itu. Antara sadar dan tidak aku berkomentar (wong dituntut berkomentar kok waktu itu):


"E...lha kok yo podo pinter-pinter to mereka itu nggolek bojo (cari suami).  Apalagi bojo yang sugih (kaya) bisa beliin rumah dsb..... Lha kuwi terus piye carane gitu...."


Mau tidak mau Esti jadi tertawa dan bilang: "Lha iyo.... kok yo podo pinter-pinter nggolek bojo sugih...ha...ha...ha..." 


Aku senang karena dia bisa rileks. Lha wong dia waktu cerita spanning betul. Mungkin dia mengharapkan komentarku dengan menggunakan analisis kritis (maklum aku dulu orang LSM, jadi yo harus kritis biar disebut LSM). Ternyata komentarku kok cuma sak gitu saja. Sorry ya Es.....