"Being rich" dan "feeling rich" adalah dua hal yang berbeda. Ada orang kaya tapi tetap saja merasa kekurangan, sampai bingung aku. Punya rumah mewah (nggak hanya satu), mobil mewah (ini juga nggak hanya satu), simpanan di bank sak ho-hah (saking banyaknya) dan sebagainya tapi tetep saja merasa dirinya belum kaya, merasa dirinya kekurangan, merasa resah gelisah kenapa hartanya masih di bawah orang lain. Jadi kaya itu relatif, menurutku dia sudah kaya, tapi menurut dia masih kurang kaya.
Tapi di lain pihak, ada orang biasa yang hartanya hanya sekedarnya tetapi merasa dirinya kaya, berkecukupan karena selalu bersyukur. Rasa syukur inilah menurutku kuncinya. Orang seperti ini lebih tenang hidupnya, tetap bekerja keras, jujur, terus meningkatkan taraf hidup dan tidak pernah lupa bersyukur.
Aku sendiri sebetulnya gampang kok kalau pengin merasa kaya. Modalnya cuma 1,59 yuro (maksudnya Euro) dan sudah merasa kaya. Nggak percaya? Silahkan baca pengalamanku berikut ini.
Sekitar 26 tahun yang lalu (tahun 1981) ketika aku masih duduk di bangku SMA kelas 2, aku diundang teman sekolahku di pesta ulang tahunnya. Nggak hanya aku saja sih yang diundang, tapi semua teman sekelas. Dia itu orang tuanya kaya (menurut ukuranku lho ya, mungkin menurut orang lain beda). Gimana nggak disebut kaya, wong dia itu orang tuanya punya perusahaan, punya pabrik, punya rumah gede mewah magrong-magrong, punya mobil mewah nggak hanya satu, halaman rumahnya luas (saking luasnya bisa bikin untuk main sepak bola), belum lagi tamannya ditata bagus, mestinya ya punya pembantu banyak, tukang kebon, sopir dsb. Belum lagi kalau liburan ya ke luar negeri segala. Lha aku sendiri piknik ke Ancol saja sudah suenengnya setengah mati.
Aku memutuskan datang pada pesta ultahnya karena aku lihat orangnya baik, nggak sombong. Kalau sombong, males aku datang walaupun misalnya diiming-imingi door prize.
Jaman dulu, walaupun orang kaya, pestanya ya biasa-biasa saja nggak kayak sekarang. Ada taart terus yang ulang tahun nyebul lilin, ada makan minum, snack, klethikan dsb seperti layaknya pesta ulang tahun. Acaranya ya biasalah selain makan minum, juga nyanyi, njoget (bagi yang mau) dengan diiringi musik dari tape recorder, dan ada permainan. Orang tuanya ngawasi dari kejauhan. Jadi ya persis acara ultahnya anak-anak SD jaman sekarang.
Ya namanya orang kaya ya, tentu saja hidangannya melimpah dan uenak-uenak tentu saja. Jadi yo pas lah dengan seleraku (wong aku ini dalam hal rasa cuma punya dua kategori kok: enak dan uenak bianget). Dari sekian banyak hidangan, yang paling menarik buatku adalah kripik kentang yang ada taburan kejunya. Wadahnya merah panjang, ada gambar kepala orang yang berkumis, judulnya atau merk kripik kentang tersebut adalah Pringles.
Waktu itu aku baru pertama kali makan kripik kentang yang judulnya Pringles. Menurutku sih enak. Dalam benakku, aku waktu itu berpikir: “Pasti harganya mahal, wong kentang kok dikasih keju. Kejunya saja rak yo sudah mahal mestinya. Mungkin belinya di luar negeri wong aku belum pernah melihat kripik kentang kayak gini dijual di warung”
Lha iyo to, kentang kok diiris-iris tipis dibuat kripik dan diulet sama keju. Lha di rumahku itu, paling pol kentang ya dibikin sop pake sayur buanyak banget supaya semua anggota keluarga kebagian, kalau ada tetelan ya dimasuki tetelan, kalau nggak ada ya cuma sop sayuran. Atau paling banter dibuat bergedel, pake telur satu biji biar waktu digoreng nggak ambyar. Lha ini kentang kok dimakan begitu saja.
Aku waktu itu bersyukur, alhamdulillah, aku kok bisa ngicipi kripik kentang mahal, pake keju lagi. Kalau disuruh beli pasti nggak mampu. Wong aku dulu bisa jajan di kantin sekolah saja sudah bersyukur kok. Aku berpikir: “Kapan ya aku bisa beli kripik kentang kayak gini?”
Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah. Tapi impian untuk beli Pringles masih ada dalam pikiran. Tapi tetap saja nggak pernah kebeli, lha wong uang saku bulanan cuma cukup untuk jajan di warteg. Maklum anak kos, jadi harus super ngirit, kalau perlu puasa. Kalau mau kripik ya tentu saja kripik singkong bukan kripik kentang luar negeri, wong kripik singkong saja menurutku uenak banget kok.
Lulus kuliah aku bekerja, punya penghasilan sendiri, tapi tetap saja masih belum mampu beli Pringles. Maklum gaji LSM, jadi pas-pasan. Kalau dipaksain waktu itu memang bisa, tapi masih terlalu mewah buatku. Selain itu aku kan bergaulnya sama petani, buruh pabrik, pedagang informal, mosok aku beli Pringles, rak yo njegleg nanti.
Impian untuk beli Pringles itu masih terus berlangsung selama bertahun-tahun. Alhamdulillah, tahun 1998 aku waktu itu diparingi berkah, dapat beasiswa untuk sekolah di New Zealand, dibiayai oleh pemerintah NZ. Di sinilah aku akhirnya beli Pringles. Lha wong seingatku dulu, harga daging (terutama daging domba), susu, mertego, keju dan Pringles lebih murah daripada harga tahu, brambang, tempé dan sejenisnya.
Aku masih ingat, aku beli Pringles di New World, sebuah supermarket gede di NZ. Waktu aku lihat si Pringles nongkrong di sana, aku rasanya ingin berteriak: “Akhirnya!!!!” Aku ambil satu dan aku timang-timang. Terus ke kasa langsung aku beli (wong punya duit kok waktu itu walaupun nggak banyak).
Sampai di asrama, langsung aku buka, aku gigit dan kunyah satu persatu. Aku nikmati betul-betul kripik kentang satu ini, sambil bergumam:
“O……Begini to rasanya jadi orang kaya…..”
Jaman SMA dulu, hanya orang kaya yang bisa beli Pringles. Jadi kalau aku sekarang bisa beli Pringles, aku sudah termasuk orang kaya juga to? Bener to? Walaupun butuh waktu selama 17 tahun sebelum akhirnya aku merasakan menjadi orang kaya. Tapi nggak pa-pa lebih baik terlambat, daripada nggak pernah ngrasain “kaya” sama sekali.
Akhirnya sampai sekarang kalau aku pengin merasa kaya, aku beli saja Pringles. Cuma berhubung aku sudah makin sepuh, akhirnya nggak bisa makan kentang luar negeri ini sesukaku. Aku harus ingat kolesterol, belum lagi badan makin melar. Lagian kalau makan Pringles terusan juga mblenger kok. Dengan keterbatasan ini, aku paling makan Pringles 2 sampai 3 kali setahun. Paling tidak dalam setahun, aku 2 atau 3 kali merasa kaya. Cukup to?.
Dua hari yang lalu aku lirik si Pringles ini di supermarket. Harganya 1,59 euro (sekitar Rp.18 ribuan), tapi aku saat itu sedang tidak kepingin merasa kaya, jadi ya nggak beli. Tapi ternyata sampai di rumah, aku bongkar stok makanan, aku nemuin Pringles masih dalam keadaan tertutup. Aku potretlah dia.
hahahaha..geli aku bacanya ampean...ada-ada aja kamu sri.....berbahagialah suamimu..
ReplyDeletega usah ngasih kamu rumah,mobil dan perhiasan mahal...wong bininya cukup merasa kaya dgn pringles.......
jadi untuk merasa kaya berarti suamimu mesti beli pabrik pringles dunk..hahahaha..TFS ah
saya malah dah 2 tahun ini gak pernah lagi makan tuh pringles, asin banget seh...
ReplyDeletedulu kalau jalan2 keluar negeri mesti beli karena lebih murah daripada di balikpapan.... he he he
bagus, bagus saya sampe senyum-senyum bacanya!!! Eh udah pernah coba Pringles rasa BBQ gak?
ReplyDeleteLha bojoku malah sudah terbiasa. Kalau aku beli Pringles, dia bilang:
ReplyDelete"Pengin merasa kaya?"
Nggak berani ah punya pabrik Pringles, nanti makan melulu. Maklum usia sudah kepala 4. Jadi harus super ati-ati.....
Kalau aku sih tekanan darah rendah mbak, jadi nggak terlalu masalah. Tapi tetap saja kolesterol tinggi ya?
ReplyDeletePringles di sini kayaknya memang lebih murah daripada di Indonesia.
Kalau rasa BBQ belum pernah deh. Enak ya? Kalau rasa paprika pernah, dan menurutku kok nggak seenak yang original ya, apa ya aku saja yang sudah kadung kesengsem sama yang original. Maklum dulu pertama kali ngicipin (jaman masih mlarat dulu), yang diicipi warna merah, jadi kayaknya melekat banget di otak dan di lidah.
ReplyDelete:)) lucu ceritanya..
ReplyDeletebener emang beda : "being rich" dan "feeling rich"
Itulah dunia, ada orang kaya yang merasa kekurangan, tapi ada orang yang biasa-biasa saja tapi merasa kaya berkecukupan.
ReplyDeleteTerimakasih ya sudah mampir.....
loh,kukira iya: " Aku bukan pegawai pemasaran Pringles. Suwer! ".
ReplyDeleteIni di-NL namanya sluik-reclame,Sri.
Berapa % kamu dapat,ayo ngaku dah,
nanti jadi kaya beneran....(aku sudah lari nih)
Lha kalau beneran kaya, saya juga nggak nolak kok tante. Pengin tahu juga tante, rasanya kaya beneran kayak apa, bukan hanya sekedar merasa kaya karena makan Pringles. he...he...he...
ReplyDeleteaku koq ga suka keripik yah mba, aneh emang, kalo nyemil sukanya makan kacang :D
ReplyDeleteAku kacang juga seneng kok. Lha mbuh ini, kok aku apa-apa suka. he...he...he...
ReplyDelete