Sudah kondang kawentar-wentar diantara keluarga, kerabat dan teman-teman kalau Leo nggak suka makan daging ayam. Alasannya sederhana, katanya rasanya sepo alias hambar. Malah lebih ekstrim lagi dia bilang rasa ayam Londo kayak rubber (kayak pernah makan karet saja dia itu).
Belum lagi menurut dia kalau pembiakan ayam di Belanda tidak ayami alias tidak menghargai hak-hak asasi ayam. Lha wong khutuk (anak ayam) yang baru menetas cuma nunggu waktu 6 minggu kok sudah dipotong. Belum lagi kabarnya karena ternyata antibiotik disinyalir bisa menggemukkan ayam dengan waktu cepat, para peternak menyuntikkan antibiotik supaya ayamnya cepet gede.
Pembiakan ayam Londo sudah kayak ayam industri, diternakkan besar-besaran. Satu peternak bisa punya ribuan yam. Lha gimana Belanda dengan penduduk 16 juta jiwa, jumlah ayam bisa mencapai 60 juta. Padahal nggak semua orang jadi peternak to.
Aku pernah lihat di tivi tentang industri ayam. Lha kok ratusan ayam digantung gitu di sebuah alat kayak ban berjalan. Kayaknya menunggu untuk proses selanjutnya. Langsung channelnya aku pindah, wong ora tego. Padahal kalau dipikir aku ini yo phobi sama ayam, tapi tetep saja nggak tego kalau ngelihat ayam dibegitukan. Jadi memang bener Leo, industri ayam di Belanda tidak menghargai hak-hak asasi ayam.
Berhubung Leo nggak suka makan daging ayam, aku ya akhirnya bisa dikatakan hampir tidak pernah masak pakai daging ayam. Wong aku sendiri juga kurang suka kok ayam Londo, memang bener dia, rasa ayam Londo menurutku sepo (hambar), nggak seperti ayam kampung. Cuma ini menurutku lho ya, mungkin bagi orang lain akan berpendapat berbeda.
Walaupun Leo nggak suka daging ayam, tapi dia gemar banget makan soto. Cuma ya bukan soto ayam tapi soto daging cincang.
Karena Leo suka makan soto, maka ketika kami pulang kampung, aku ajak dia untuk makan soto. Kebetulan waktu itu kami berada di Semarang. Aku ngajak juga keponakanku (cucu budeku) untuk makan soto di soto Bangkong. Komentar keponakanku:
"Lho bukannya om Leo nggak suka ayam? Kok diajak makan soto Bangkong?" Aku bilang, ya gampanglah nanti. Kebetulan saudara sepupuku nelpon sebelum kami berangkat. Aku ngajak dia untuk gabung makan siang di soto Bangkong. Komentarnya sama:
"Lho bukannya Leo nggak suka ayam, kok kamu ajak makan soto ayam sih" E... lha dalah, ternyata kabar kalau Leo nggak suka ayam sudah menyebar sak antero Semarang to. Aku jawab:
"Nanti aku yang makan ayamnya. Yang penting dia bisa ngrasain rasa asli soto ayam"
Akhirnya kami rame-rame berangkat ke Bangkong. Tapi sebelumnya, aku sudah kasih tahu Leo kalau soto ayam yang akan dimakan menggunakan ayam kampung, jadi rasanya lebih enak daripada ayam industri.
Setelah sampai sana, kemudian kami pesan soto, es jeruk, dan sebagainya. Bahkan Leo pengin nyoba makan soto dengan cara "tradisional" (maksudnya nasi dan sotonya dicampur dalam satu mangkok, atau nasi tidak ditaruh di piring secara terpisah). Nggak berapa lama, pesanan datang, termasuk soto pesanannya Leo.
Ketika Leo memperoleh sotonya, dia malah bingung dan tanya:
"Lho ini soto ayam?"
"Lha iya. Lha ya ini soto ayam. Emang kamu maunya kayak apa?" Jawabku sambil ngambilin suwir-suwiran daging ayam dari mangkoknya Leo yang aku pindah ke mangkokku.
"I thought, there would be half of ayam in my bowl...."
Ha...ha...ha.... kami semua tertawa. Jadi selama ini, dia membayangkan kalau yang namanya soto ayam itu, ya ayamnya gede (Emangnya Londo kalau makan ayam harus gede porsinya). Lha kok tahunya yang namanya soto ayam, ayamnya cuma berupa suwir-suwiran ayam yang sporadis.
Sambil makan sotonya, dia berkomentar:
"So, tukang-tukang soto in Indonesia only use one ayam for hundreds of bowl ya?" Ha...ha...ha... kalau dipikir memang betul. Karena yang penting kan duduh (kuah) nya soto sudah bau ayam, sedangkan satu ayam kalau disuwir-suwiri rak yo jadinya banyak. Tapi dia meneruskan:
"No wonder Javanese has less problem of heart attack compared to European and American. Lha wong satu ayam disuwir-suwir buat orang sekampung" Ha...ha...ha...
Foto yang aku pasang di sini adalah foto buatanku. Memang ada ayamnya, tapi cuma sedikit, hanyak untuk kepentingan foto. Isinya sih soto daging cincang.
duh jadi pengen soto "nyodorin mangkok" :D
ReplyDeleteBoleh, kalau mau ambil saja. Kebetulan aku hari ini juga bikin soto. Kalau foto yang aku pasang, foto jaman baheula.
ReplyDeletedulu masku ya ga doyan soto, sate, tempe, dan semua makanan indonesia, setelah hampir 2 th beradaptasi akhirnya bisa, bahkan skg makanan fav dia peyek, hihihihi..cuman aku males bikin peyek soalnya minyak nya itu ga nahan dan dia kalo dah makan peyek setopples lupa diri :D
ReplyDeleteLha beda sama Leo. Dia bener-bener kalau yang namanya ayam emoh betul. Tapi yang lain sih oke-oke saja. Dia nggak masalah makan makanan Indonesia, malah suka banget dari mulai oseng-oseng sampai sate (tapi sate daging). Aku hampir tiap hari kok masak masakan Indonesia.
ReplyDeleteWah, kalau mau makan daging memang sebaiknya ngga usah liat proses pembunuhannya. Semua memang serba sadis kok. Membunuh kepiting konon pake ditusuk matanya dulu. Tapi aku naksir tiga mangkok yang di tengahnya ada tempat kecil buat kecap. Masih ada yang jual ngga ya?
ReplyDeleteSoto ayam....bahannya daging ayam
ReplyDeletesoto sapi....bahannya daging sapi
anakku bertanya.
lha kalau soto pak Sadi....bahannya opo coba? huahahaha.....
Masih ada sih pak yang jual. Tapi itu kecil lho. Aku pake zoom, jadi kelihatan besar. Padahal yang isinya kecap mungkin cuma cukup 1 atau 2 sendok teh kecep.
ReplyDeleteha..ha...ha... lucu deh putrinya mbak Ine. Terus aku jadi malah mikir, terus ayam goreng Ny. Suharti, ayam mbok Berek, gudeg bu Citro.....
ReplyDeleteEmang itu kesukaan keluarga ku juga...
ReplyDeleteSama dong....
ReplyDeletehalo mbak Sri, met kenal, saya numpang baca tapi tidak aktif nulis..tertarik sama soto bangkong ..enaknya dingin2 gini makan soto Mbangkong(orang semarang sihh)
ReplyDeleteSalam kenal juga ya. Memang enak makan soto kalau dingin-dingin gini. Aku juga orang Semarang juga lho. Disana selama 15 tahun. Kangen bener makanan Semarangan.
ReplyDeletesatu idea dariku nih Sri,kalau beli ayam bld,setelah potongan ayam itu diberi marinade dulu,biar utk bikin soto atau apapun, jadi daging ayamnya ada rasanya.Marinadenya:cuka atau asam jawa,garam,bawang putih yg telah dihaluskan/diblender.Aduk2 dgn daging ayamnya,trus 1 malam taruh dikulkas. Kamu mau bikin soto atau cuma goreng, beri Leo sedikit utk coba kalau dia baru pulang dari kerjanya, kalau ayam baru matang digoreng dsb.
ReplyDeleteSaya kurang senang daging dada ayam krn "kering" begitu". Pakai marinade ada mirip ayam kampung krn punya rasa sekarang.Soalnya ayam bld kurang dewasa,sebetulnya masih kuikens/anak ayam, tapi yg laki2 (yg perempuan utk bertelur lagi/berproduksi).Begitu banyak produksi ayam,sampai nggak sempat jalan2,jadi tidak dlm pekarangan,tapi dlm kurungan yg kecil2 gitu.
ReplyDeletesambungan terachir:
ReplyDeleteBld kenal hak azasi manusia, tapi memang tak kenal hak azasi ayam.
Soalnya saya pernah lihat dlm pabrik ayam, saya lihat dari luar (dari luar saja baunya sudah begitu,spt dekat kandang ayam) ayam2 sambil digantung, ada ratusan,terus diseduh begitu saja dan ronde ke-2 dipotong lehernya alles tegelijk begitu,leher2 ditangkapin otomatis, semua otomaat, tak ada tangan manusia,mereka cuma layani mesin2, terus bulu2 ayam juga dicabut otomatis, Loh tidak ada orang luar yg boleh lihat kalau mereka sedang kerja,saya "nyelip" saking mau tahu.
Sedangkan dirumah temanku diJakarta, ayam2 negeri dipelihara spt emas dan harganya mahal kalau orang mau beli.Dinegaranya sendiri ayam2 itu tak ada harga(diri)lagi. Disini (Nederland) harga upah orang sangat tinggi,jadi semua otomatis,walau mesin lebih mahal,tapi krn hasilnya jauh lebih banyak drpd tangan orang,jatuhnya murah lagi utk pemilik pabrik ayamnya.
Epilog:
ReplyDeleteSoto ayam kalau pakai daging, rasanya kurang tradisionil ya? Tapi yg kamu bikin disini,enak sekali tuh,sudah kelihatan dari fotomu.Pengen rasain soto si Sri nih.Nanti jadi mau bikin ah,suka ketularan MP ya?
THANKS for sharing your soto-story with me, you are a good story teller.
Terimakasih ya tante atas tipsnya. Sekali-kali mau nyoba.
ReplyDeleteKalau Leo sih sudah anti pati banget, nggak mau makan ayam. Bahkan waktu di Indonesia, saya ajak makan gudeg, nggak mau dia makan ayam walaupun itu ayam kampung. Jadi kalau ngajak dia ke ayam goreng mbok Berek atau Ny. Suharti, dia pilih pesen gado-gado atau menu lainnya. Nggak bakalan dia mau milih ayam walaupun itu ayam kampung. Waktu di soto Bangkong saja dia mau makan soto, tapi ayamnya tetap saja saya yang makan.
Saya pernah goreng ayam tapi bumbunya diungkep dulu supaya meresap. Saya kasih tahu kalau rasanya niet slecht, dia malah bilang: itu kan karena boemboe nya, bukan ayamnya.
Kalau dipikir, kasihan ya tante.
ReplyDeleteAduh tante, cerita tante jadi bikin aku makin nggak tega saja. Ih gitu ya....
ReplyDeleteTerimakasih ya tante. Silahkan coba deh. Menurut saya sih enak. Resep yang saya posting sebetulnya cuma kira-kira ukurannya. Bahkan kalau saya akhir-akhir ini bikin, saya kurangi pemakaian rundergehakt nya. Maklum tante, kami sudah tua. Leo sudah half eeuw (dia paling sebel kalau dibilang half eeuw..he....he...he...), sedangkan saya 8 tahun lebih muda dari dia. Jadi memang harus hati-hati dengan kolesterol. Malah akhir-akhir ini kami sering makan vegan, nggak makan daging binatang sekalipun, masak nggak pakai telur, nggak pake melk. Untung Leo demen sekali gado-gado, jadi ya sudah gado-gado yang banyak sayuran ditambah tahoe.
ReplyDeleteKami sendiri sih sebetulnya lebih ke fish eaters. Oh ya, bahasa Belandanya bandeng apa sih tante? Zeebaars ya (bener nggak nulisnya)? Pengin sekali-kali bikin bandeng presto (walaupun belum punya alatnya. Nunggu kalau Kruidvat atau Lidl atau Marskramer korting. he...he...he...).