Saturday, 17 February 2007

Papa kapan akan bercerai dengan mama?

Bapaknya kaget setengah mati ketika ditanya anaknya yang masih SD dengan pertanyaan seperti itu.


Perasaan pernikahannya aman-aman saja, dia dan istrinya nggak neko-neko, nggak bikin affair wong nggak ada duit buat bikin affair (karena katanya bikin affair is costly, bener nggak nih?).


Punya anak semata wayang saja, dia dan istrinya sudah suenengnya setengah mati. Lha kok tiba-tiba ditanya kapan mau cerai. Yang nanya anaknya lagi. Tapi dia memang melihat wajah anaknya betul-betul kelihatan pengin tahu. Dia terus tanya anaknya:


"Kenapa kamu tanya seperti itu?"


"Soalnya di kelas, yang punya ayah ibu yang masih belum bercerai cuma aku saja. Teman-teman lain bapak ibunya sudah bercerai" Hah? Ternyata itu to masalahnya.


Itu adalah cerita guru bahasa Belanda saya di kelas (tentu saja pake coro Londo, wong namanya kursus boso Londo kok).  Dan ini kisah nyata.


Kalau dipikir-pikir, jawaban anak tersebut membuat kita prihatin kan? Apakah begitu tingginya tingkat perceraian di Belanda? Karena penasaran, aku coba gugel (dibantu oleh Leo karena dia juga pengin tahu) tentang jumlah perkawinan dan perceraian. Akhirnya kami memperoleh data dari Biro Pusat Statistiknya Belanda. Total perkawinan pada tahun 2005 adalah 72.263 sedangkan total perceraian pada tahun yang sama adalah 31.905. Perbandingan antara perceraian dan pernikahan sepertinya hampir 1:2, tapi tentu saja tidak semua perceraian yang terjadi pada tahun 2005 merupakah hasil pernikahan pada tahun yang sama.


Tapi kalau menurut data di sini yang ditulis oleh H.M. Pragt dengan menggunakan data tahun 2001, menyebutkan bawa 1 DARI 3 PERNIKAHAN BERAKHIR DENGAN PERCERAIAN. Cukup memprihatinkan bukan? Jadi pertanyaan polos yang diajukan anak guru boso Londoku kalau dipikir-pikir yo cukup masuk akal kalau melihat tingkat perceraian di Belanda yang cukup tinggi. Ini cuma data menikah dan cerai lho ya, belum termasuk data yang samen leven atau samen wonen (living together) yang kemudian berpisah.  


Yang menarik lagi adalah tabelnya (lihat tabel yang juga saya pasang di sini). Terlihat bahwa presentasi perceraian yang tertinggi terjadi ketika usia perkawinan sekitar 5-9 tahun. Mungkin saja ketika usia pernikahan sudah mencapai kisaran tersebut (terutama 7 tahun kali ya?), pasangan mengalami kejemuan. Ketika usia perkawinan masih di bawah 5 tahun, bau-bau honeymoon masih ada, jadi tingkat perceraian masih lebih rendah (maklum sudah mulai berantem-berantem). Ini juga dugaanku kok, pake ilmu kira-kira.


Setelah usia pernikahan lebih dari 9 tahun, tingkat perceraian makin turun. Mungkin sudah tahu watak pasangan masing-masing, sudah paham tingkat kengambegan pasangannya, jadi pernikahan sudah mulai stabil.


Anehnya dari tabel tersebut, tingkat perceraian naik lagi ketika usia pernikahan antara 25 sampai dengan 30 tahun. Lha aku kan bingung. Aku tanya Leo:


"Lha wong ya sudah oma-oma en opa-opa kok malah cerai to. Lha itu kenapa?" Dia jawab:


"Pada usia pernikahan segitu, biasanya orang sudah mulai masa pensiun. Konsekuensinya mereka (pasangan) lebih sering ketemu. Ternyata mereka baru tahu bahwa selama ini pernikahan mereka sebetulnya ada yang nggak beres. Jadi bercerailah mereka"


Usia pensiun di Belanda adalah 65 tahun (baik pegawai negeri ataupun swasta). Kalau orang menikah usia 35 tahun, jadi ya paslah kalau setelah 30 tahun kemudian, seseorang berusia 65 tahun. Terus aku bilang ke Leo:


"Kalau analisismu atau mungkin dugaanmu bener, jadi mendingan untuk menghidari perceraian, orang nggak usah pensiun saja ya supaya nggak sering ketemu"


"Lha kalau memang itu alasannya, ya betul nggak usah pensiun biar pasangan nggak sering ketemu supaya nggak sering berantem. Tapi mosok orang kok nggak pensiun. Aku saja kalau punya duit banyak pengin pensiun kok sekarang, nggak perlu nunggu waktu pensiun"


Bagi yang tahu masalah ini, silakan berbagi. Mungkin malah ada yang tahu data dari Indonesia atau negara-negara lain?  


  

14 comments:

  1. hehehehheheh iya yah...di sini 5 dari 10 anak bayi lahir di luar pernikahan, banyak yang paranoid buat merit.....akhirnya milih jadi single mother aja....daripada cere berkali-kali.....yak opo yo:) beruntung deh yang jadi orang Asia

    ReplyDelete
  2. Kalau dipikir ngeri juga ya kalau kayak gitu. Prihatin betul dengan tingkat perceraian yang menurutku cukup tinggi.

    ReplyDelete
  3. emang keseringen bertemu mungkin bisa bikin "garing" juga kok ...

    buktinya, kalo habis pisah sesaat karena suami dinas ke luar, kami jadi "gimanaaaa gitu" saat ketemu lagi ... he he he ...
    walopun tiap hari tetep berkomunikasi lewat telepon ato sms, tapi tetep aja ada rasa "kangen" ...

    ReplyDelete
  4. He...he...he.... jadi bener dong kalau gitu. Biar tetep kangen, mendingan nggak terlalu sering ketemu. hi..hi...hi...

    ReplyDelete
  5. america dan europe memeng tinggi tingkat perceraiannya say

    ReplyDelete
  6. aduuuuuuuuuh...kaget baca judulnya.. well.. disini cerai udah umum kayaknya.. gak pake brantem kayak di jkt.. :(

    ReplyDelete
  7. Itu yang membuat aku prihatin ketika sesuatu yang seharusnya "tidak umum" dan "tidak normal" menjadi sesuatu yang dianggap "umum" dan "normal"

    Aku tuh inget sama teman-teman yang usianya sudah diatas 35, bahkan 40 an tapi belum menikah. Bukannya mereka nggak mau menikah bahkan sudah berusaha tetapi memang belum datang orang yang tepat. Tapi ada orang-orang yang sudah menikah malah tidak menjaga pernikahan tersebut, ada yang maunya menang sendiri, egois, nggak menghargai pasangan, melakukan kekerasan dalam rumah tangga dsb. Akhirnya bubarlah pernikahan tersebut.

    ReplyDelete
  8. ketika masih menikah lalu punya anak biasanya pasangan disibukkan dengan urusan masing2, yang ngantor dengan urusan kantor yang dirumah dengan urusan anak2 sehingga mereka lupa membina hubungan satu sama lain dengan baik...
    terasa ketika pensiun satu sama lain jadi asing dan hal ini yang memicu perceraian....

    Tapi kalau hubungan antara kedua insan ini tetap baik ketika masih bekerja, masih saling membutuhkan hingga tua nanti, rasanya perasaan asing itu masih bisa diperkecil...

    Saya lihat pada pasangan generasi orang tua kami juga ada rasa seperti itu, ketika anak2 sudah keluar rumah semua, mereka seolah gak ada peran lagi, dua2nya post power sindrome, akhirnya diantara keduanya sering berantem sendiri....
    Hanya kalau di Indonesia , cerai itu agak tabu terutama buat generasi orang tua kita, makanya mereka tetep sama2 tapi tetep aja keluhan itu tetep terdengar....

    ReplyDelete
  9. Mau diinget-inget nih nasihatnya mbak Esther supaya nanti nggak kaget. Thanks ya mbak Esther.

    ReplyDelete
  10. Laaa kalau happy ya sudah jangan pikir2 yg gini-an.Apa yg tidak ada, tak akan datang, kecuali kita selalu pikirkan dlm benak kita...
    kalau hubungan kiat dgn suami baik,tetap akan baik,kalau belakangan ternyata buruk,berarti bhw dlm masa dulu memang sudah buruk.
    Kamu tak mungkin Sri, kamu orangnya senang menulis, takkan akan ada tempat yg vakum dlm mengisi waktu dari hari kehari.

    Sorry reaksi begini laat, krn saya sedang baca2 Blogmu terus mau jawab juga yg ini,walau dah lama lalu,tapi masih aktuil.

    ReplyDelete
  11. Betul ucapan tante, kalau memang dari awal memang hubungan dengan suami baik, maka tetap baik. Kalau dari awal memang buruk, ya nggak heran akan buruk jadinya.

    Saya sih nggak pinter nulis kok tante. Sekedar iseng saja.

    ReplyDelete
  12. kutipan diatas betul dengan analisa saya,saya pernah bilang sama teman saya yg bermasalah dan cerai setelah 5th,banyak perkawinannya bubar di usia 5th karena ego masing2 sudah di tonjolkan akhirnya benci pd pasanganyah..atau merasa tidak cocok lg,pd hal kita semua pasti sama ada masalah dlm rumah tangga yg penting kita harus iklas menghadapinya...

    ReplyDelete
  13. Setuju aku, memang kalau ada masalah harus sabar menghadapinya, nggak boleh menonjolkan ego masing-masing. Akhirnya bubarlah ikatan perkawinan itu. Sayang ya kalau dipikir.

    ReplyDelete