Saturday, 31 March 2007

Pizza tonno (tuna)

Akhirnya kesampaian juga bikin pizza tuna. Padahal sudah berjanji pada diri sendiri untuk cuma masak ikan atau vegan (produk tanpa binatang baik itu daging, mentega, keju, susu, maupun telur). Maklum sehari sebelumnya sudah kebanyakan makan martabak yang full of eggs, jadi harus makan yang lebih sehat.


Tapi mosok pizza nggak dikasih keju babar blas. Apalagi masih punya persediaan 1 biji mozzarella dan sedikit keju parut Gouda. Jadi daripada kadaluwarsa, lebih baik dimanfaatkan. Halah....alasan!


Akhirnya cari resep pizza yang nggak pake telur. Kebetulan ingat dulu Lia yang sekarang sedang mudik ke Indonesia pernah posting resep pizza. Akhirnya, nyonteklah aku. Thanks ya Lia.


Yang sedikit berbeda adalah toppingnya. Kalau Lia kan pake sosis, aku pake tuna karena di sini sosis kebanyakan dari pork. Memang niatnya bikin pizza tonno (tuna). Jadi yang aku pake untuk topping adalah tuna (2 kaleng), mozzarela (1 biji. Menurutku kalau mau mantap sih 2 biji), paprika merah, jamur merang segar, terong (karena aku pernah makan vegetarian pizza di Italia dan mereka menggunakan terong, jadi pengin juga nih pake terong daripada terong di kulkas busuk nggak kemakan), saos tomat dan taburan keju Gouda parut. Sebetulnya mau dikasih red onion di atasnya, tapi kok sudah tinggi toppingnya. Jadi ya sudahlah nggak jadi.


Saos tomatnya sih bikin sendiri. Sederhana saja: tumis bawang putih dan bawang bombay, terus masukin tomat yang sudah dipotong kecil-kecil. Selanjutnya kasih pasta tomat, gula, garam, oregano, basil, dan lada. Wis itu thok.


Penampilan sih mungkin nggak terlalu bagus ya (maklum motretnya sudah malem. Halah...alasan lagi!). Tapi kata Leo sih enak. Rasanya lebih fresh daripada kalau beli di supermarket (tentu saja dong!). Apalagi waktu itu dimakan pake salad sayur dan buah. Jadi segar rasanya. Kalau buatku sendiri sih masih aku makannya pake sambel botol. Kalau nggak pake sambel, rasanya kok nggak mantep.


Seperti biasa Leo komentar kalau aku makan makanan Eropa pake sambel:


"Orang Indonesia itu kalau makan apa-apa kok selalu pake sambel atau cabe. Dari makan soto, martabak, risoles sampai pizza en pasta selalu ada sambelnya. Kalian kalau minum kopi apa ya pake sambel juga?????"


Halah....usil banget sih, wong ya dia makannya banyak gitu lho (walaupun tentu saja dia nggak pake sambel makannya). Pizza ini memang jadinya gede (aku pake loyang ukuran 31 cm) dan juga lumayan tebel (kayaknya sih toppingnya kebanyakan). Buat berdua nggak habis sekali makan. Akhirnya Leo bawa sisanya utuk lunch di kantor. Rekan-rekan sekerjanya ngiri melihat dia makan siang pake pizza yang harum baunya.  


Lain kali pengin bikin pizza tuna pake nenas. Pasti enak. Mau bikin pizza dengan topping rujak cingur belum tega. Takut nggak klopt rasanya.     

Thursday, 29 March 2007

Born as a millionaire's wife....

Waktu itu Leo sedang di depan komputer. Nggak tahu sibuk ngerjain apa. Aku bilang sama dia:


"Leo, I think......" Aku berhenti sejenak


"Ya??????......." dia ngomong tanpa memalingkan muka


"I think...... I was born as a millionaire's wife....."


"Sorry........what did you say?" Dia memandangku antara heran dan geli. Harusnya dia tidak perlu heran karena aku sering mengungkapkan pernyataan yang aneh-aneh.


"I think I was born as a millionaire's wife"


"How do you get that idea? How do you draw that conclusion? Yang aku tahu ada anak yang lahir dalam keluarga kaya, tapi aku belum pernah dengar ada orang yang lahir sebagai istri milioner"


Terus aku menjelaskan: "Soalnya gini. Aku ini kan nggak kerja, wong cari kerja di sini susah banget. Cari kerja sebagai clerk nggak bisa diterima karena aku sudah terlalu tua. Cari kerja sesuai dengan bidangku juga nggak bisa karena sektor tersebut sudah over supply"


Aku memang sempat frustrasi karena nggak bisa cari kerja di sini. Mau kerja yang simpel untuk memperlancar bahasa Belandaku, juga sulit nyarinya. Di sini orang digaji tidak hanya berdasarkan pendidikan dan pengalaman kerja tetapi juga umur. Jadi nggak heran kalau banyak ditemui kasir di toko atau supermarket (terutama kalau hari Sabtu) yang sebetulnya masih pelajar atau mahasiswa. Karena masih muda, mereka bisa dibayar murah. Buat mereka juga merupakan pekerjaan sambilan untuk menambah uang saku.


Sedangkan aku, usia sudah kepala 4, susah banget cari kerja kayak gitu walaupun misalnya aku mau dibayar seadanya. Peraturan ketenagaan yang cukup ketat membuat pemilik usaha nggak bisa main-main juga. Lebih slamet bagi mereka untuk cari tenaga yang masih muda yang bisa digaji lebih murah, daripada merekrut nenek-nenek kayak aku.


Mau cari kerja di bidangku juga susah banget. Bahkan sudah over supply. Mungkin suatu kali nanti aku akan cerita hal ini.


Ada seorang teman menyarankan aku untuk nglamar sebagai tukang pos atau tukang koran soalnya selain menyehatkan, juga menghasilkan uang. Di sini tukang pos memang biasanya naik sepeda. Cuma aku punya masalah dengan lututku. Kalau untuk ukuran Belanda, aku bersepeda terlalu lambat karena nggak bisa mengayuh sepeda dengan kencang. 


Belum lagi kalau winter, aduh... dinginnya kalau harus bersepeda. Belum lagi biasanya mulai herfst (autumn), cuaca sudah mulai nggak bersahabat: windy, cloudy, rainy, masih kadang ditambah foggy. Belum lagi kalau di tengah jalan turun salju basah, sampai di tempat tujuan aku biasanya basah kuyub. Kalau salju kering lumayan, bisa langsung dikibaskan, tapi kalau salju basah, rasanya dingin banget karena basah kuyub kalau naik sepeda. Walaupun pake jas hujan, tapi tetap saja to rasanya nggak nyaman.  


Kata Leo aku nggak bakalan cocok jadi tukang koran atau tukang pos. Bisa dipecat karena koran pagi yang harusnya nyampe pagi baru sampe di rumah pelanggan waktu malam hari karena aku nggak bisa nggenjot sepeda dengan kencang. Jadi ini bukan pilihan pekerjaan yang tepat untukku.


Karena aku nggak kerja, maka tentu saja aku harus mencari kesibukan. Akhirnya aku mendaftarkan diri sebagai member sebuah sport centre di desaku. Harganya nggak terlalu mahal (terutama untuk ukuran Belanda), 39 yuro per bulan dari Senin sampai Jumat dari jam 07.00 sampai dengan jam 17.00. Fasilitas cukup lengkap, ada alat-alat cardio dan power, ada indoor swimming pool yang suhunya tropis, ada lapangan tennis (out door dan indoor), ada lapangan squash, ada les (yoga, fifty fit dsb). Bahkan ada sauna dan steam bath. Semuanya inclusief. Perasaan yang nggak ada cuma lapangan golf dan pacuan kuda. Pokoknya jadi member di situ, serasa jadi orang kaya.


Aku teruskan ya pembicaraanku dengan Leo. Dia bilang:


"So.... karena kamu nggak kerja, apa relevansinya kamu born as a millionaire's wife?"


"Lha ya jelas gitu lho. Karena nggak kerja, aku kan punya waktu untuk fitness, untuk berenang, untuk manicure pedicure, untuk luluran, untuk leasure, untuk golf (padahal aku megang stick-nya golf saja belum pernah), untuk berpesiar dengan cruise ship, nonton concert di Vienna, belanja di Paris dsb dsb. Itu lho kayak yang dilakukan oleh istri-istrinya orang kaya. Yang jelas aku punya waktu untuk itu" Aku berusaha ngomong dengan muka serius.


"O....jadi kamu karena nggak kerja, kemudian merasa punya waktu untuk melakukan itu semua? Lha terus yang bayari siapa?" Dia juga berusaha ngomong serius walaupun aku tahu dia pengin tertawa.


"Lha ya itu. Karena aku terlahir sebagai istri milioner...... Now it depends on you...... tergantung sama kamu. Kalau aku sendiri sih sudah siap"  


"Excuseeeeee meeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.........?!?!?! Lha kok kemudian bebannya ke aku????????"


"Elho..... gimana kalau enggak. A millionaire's wife kan tentu saja harus punya suami kaya to? Kalau suaminya nggak kaya, terus kan nggak bisa disebut sebagai millionaire's wife"


"My God................Sri, you really make me very tired............" 


PS. Gambar yang aku pasang aku ambil di sebuah desa, cuma aku lupa nama desanya. Itu salah satu gambaran tentang langit di Belanda. Biasanya sih lebih gelap dari itu kalau sedang cloudy.     

Wednesday, 28 March 2007

Martabak

Kemarin aku bikin martabak kulit lumpia. Awalnya sih karena hari Sabtu Leo dan aku pasar dan lihat prei dan daun bawang yang seger. Daun bawangnya yang ujungnya bulet gede, jadi memang mantep kalau dibikin martabak (walaupun kalau menurutku, prei jauh lebih mantep kalau dibikin martabak). Leo bilang:


"Itu ada lente ui (daun bawang) yang bagus en seger. Kalau dibuat martabak pasti enak"


"Kamu pengin martabak?"


"No. If you want to make martabak, itu lente ui yang bagus untuk bikin martabak karena cukup kuat rasanya"


Biasanya kalau dia ngomong "if you want....." sebenarnya dia sendiri juga pengin tuh. Aku sih lama-lama tahu kok trik dia. he...he...he... Akhirnya kami belilah daun bawang dan prei tersebut.


Berhubung sebetulnya dia nggak boleh makan banyak telur (karena kolesterolnya tinggi), maka martabak yang aku bikin aku banyakin prei dan daun bawangnya. Apalagi aku kasih bawang putih banyak sekali untuk menurunkan tekanan darahnya. Jadi deh martabak (berbau) telur. he...he...he.... Rasanya sih enak kok menurutku (muji sendiri). Dimakan pake sambal botol dan mentimun (males bikin acar).  


Bahannya:


250 gram daging cincang


8 siung bawang putih cincang (atau malah lebih kayaknya, soalnya ini juga untuk obat)


1 sdt bubuk kare


1 sdt lada


garam dan gula pasir


prei, bawang bombay, daun bawang (buanyak jumlahnya) dirajang


10 telor


20 lembar kulit lumpia yang gede (soalnya di sini kulit lumpia ada yang gede, medium dan kecil)


Minyak goreng untuk menumis dan menggoreng


Caranya: biasalah tumis bawang putih, masukkan daging cincang, terus bubuk kare, lada, garam, gula. Terus sisihkan.


Kemudian di wadah lain, kocok telur 2 butir, masukkin 1-2 sendok tumisan daging cincang tadi, tambah prei, daun bawang dan bawang bombay, kemudian diaduk. Taruh di atas kulit lumpia bagian tengah, terus dilipat kayak amplop. Langsung digoreng. Terus kocok telur lagi dan ulangi lagi seterusnya.


Kalau nggak salah sih 1 telur untuk 2 martabak. Pokoknya isinya dibanyakin preinya bukan telurnya. Jadilah kemarin kami dinner pake martabak dan mentimun (mau bikin salad lagi kumat malesnya). Tadi pagi masih 6 biji bisa untuk breakfast dan lunch ku.


Karena kemarin sudah makan daging dan telor banyak, maka for the rest of the week, aku harus masak ikan atau vegan (tanpa produk binatang baik itu susu, mentega ataupun telur).    


 


 

Sunday, 25 March 2007

Foto bolu gulung coklat


Nggak jelek kan? Kelihatan nyoklat.

Cerita lihat di http://cutyfruty.multiply.com/journal/item/33.

Tips mengatasi amblegnya pembuatan chocolate roll....


Pengin makan bolu gulung coklat yang bagus, tanpa ambleg or bantat? Cara: naik sepeda pergi ke snoepwinkel (candy shop), kemudian pilih bolu gulung yang diinginkan. Ada yang rasa strawberry, raspberry, chocolate dsb. Ambil satu, pergi ke kassa. Bayar 1 Euro. Pulang, masukkin sepeda ke gudang. Buka pintu rumah, kemudian bikin foto chocolate roll. Ini hasil fotonya. Foto-foto lainnya akan aku pasang di bagian foto ya. he...he...he....

 

Berawal dari gemeznya ngelihat bolu gulung buatan mommy Nisa (keluarga Rahmani). Ibu satu ini memang top banget. Punya baby yang masih imut, tapi masih bisa bikin macem-macem cake sambil merawat Nisa. Kata mommy Nisa, si mungil suka ngelihatin mommy kalau sedang baking. Bisa dibayangin nih, gedenya pasti pinter baking kayak mommy.

Mommy Nisa waktu itu nawarin aku gimana kalau dikirim dari sana. Lha aku mikir, mommy Nisa harus kerja berjam-jam untuk baking, terus ngepak, terus harus ke kantor pos, terus nunggu 2 mingguan baru nyampe. Setelah nyampe di Belanda, baru 5 menit sudah abis kami makan. Tenaga, waktu yang dikeluarkan oleh mommy Nisa nggak cucuk (nggak imbang) dengan waktu makan kami. Jadi ya dengan berat hati, tawaran tersebut aku tolak. Terimakasih ya  mommy Nisa sudah nawarin. Huggggggg....


Aku ini kalau disuruh bangsanya baking nggak pinter, sering amblesnya daripada jadinya. Mbuh itu kenapa, padahal semua petunjuk sudah diikuti, nggak boleh ini, nggak boleh itu, harus begini, harus begitu. Yo wis pancen nggak bakat, diapa-apain juga tetep saja ambleg.


Karena gemez pengin ngicipin bolu gulung inilah, aku akhirnya beli di candy shop. Leo sih sebetulnya tadinya nggak setuju kalau aku beli. Dia bilang biasanya rasanya terlalu manis kalau beli di toko, padahal aku nggak suka makanan yang terlalu manis (wong sudah manis.he...he...he...). Dia sudah khawatir saja, kalau aku nggak habis, dia yang harus jadi korban menghabiskan.


Cuma karena CV ku dalam hal per-baking-an menunjukkan kalau aku nggak bakalan diterima kerja di toko cake, akhirnya aku maksain beli. Wong namanya kepingin. Harga cuma 1 Euro bisa milih berbagai rasa. Gile murah amat. Padahal kalau bikin sendiri, biaya bahan dan energie jauh lebih mahal. Mengenai rasa? Aku kasih satu potong buat Leo. Kata dia:


"Voor een euro is het niet te slecht....." (untuk satu euro nggak terlalu jeleklah) 


 

Friday, 23 March 2007

Kopdaran sama mbak keluarga mbak Mutty di Zeewolde....


Aku sebetulnya bisa naik yang jam 8.56 dari stasiun Rotterdam Alexander, tapi berhubung aku pake kartu korting yang hanya bisa dipake setelah jam 9, maka aku cuekin saja kereta ini. Jadilah dia jalan tanpa membawaku. Aku tunggu kereta selanjutnya.

Berhubung dulu pernah jadi seleb, tentu saja nggak mengherankan kalau ada yang ngontak. Terus kami pengin kopdaran. Jadilah aku ke Zeewolde untuk jumpa fans (hi....hi....hi.... norak ya). Yang jelas kemarin aku ke Zeewolde untuk bertemu dengan mbak Mutty dan keluarga. Baru pertama kali ke Zeewolde dan baru pertama kali ketemu dengan mbak Mutty.

Dari rumahku ke Zeewolde harus gonta-ganti kendaraan sampai 4 kali (jadi total aku pake 5 kendaraan yang berbeda). Dari rumah naik bis, terus ganti metro, terus naik kereta dari Rotterdam Alexander, terus ganti kereta di Amersfoort ke Harderwijk, dari Harderwijk dijemput mobil oleh mbak Mutty, kalau enggak aku harus naik bis lagi dan jalan. Kalau nggak biasa gonta-ganti kendaraan bisa teler. Sampai aku bilang: "Mbak rumahnya kok jauh banget to" Lha embuh itu, rumah mbak Mutty yang jauh atau rumahku yang jauh. he...he...he...

Kebetulan mbak Mutty pinter masak, jadi aku kopen alias terurus. Begitu datang sudah digorengin lumpia. Makan siang pake ikan (dua macem lagi ikannya, cuma lupa namanya. Sing penting enak), sambel sereh yang uenak, lalap dan sayur blendrang (blendrang kan makin enak to kalau sudah 2 hari).

Terus aku ngajari mbak Mutty bikin account di MP. Padahal yang ngajari dan yang diajari juga sama-sama begonya. he...he...he...

Pulangnya malah sempat dibikinin martabak dan disuruh mbontot bawa pulang. Wis jan ngisin-isini alias memalukan. Datang nggak bawa apa-apa, perginya malah mbontot. he...he...he....Tapi kata Leo, martabaknya enak.

Terimakasih ya mbak Mutty atas penerimaannya yang hangat. Oh ya, nggak ada fotoku karena waktu aku yang di-foto, malah nggak terekam (dan aku juga lupa nge-cek waktu itu). Lha embuh itu, mungkin aku kurang fotogenik, jadi kamera saja takut moto aku.

Saturday, 17 March 2007

Kebablasan....

Aku heran betul, kenapa banyak orang Belanda yang muales banget mengucapkan huruf "n" pada akhir sebuah kata. Jadi misalnya kata "lopen" (berjalan), mereka mengucapkan "lope", atau "krimpen" (mengkerut), mereka ucapkan "krimpe" dan masih banyak lagi kata-kata yang berakhiran dengan "n" karena kata kerja mereka memang aku lihat menggunakan "en" pada akhir kata seperti zwemmen/berenang, geven/memberi, zingen/menyanyi, lezen/membaca,  dsb.


Ketika aku tanya Leo tentang hal ini, dia bilang "ya... itu kan sekedar dialek". Tapi buat aku yang orang asing, awalnya ya rada bingung juga walaupun lama-lama terbiasa. Cuma kok yo puelit (atau males?) banget to, wong ya cuma kurang 1 huruf saja kok nggak mau ngucapin. Lha mbuh itu, pelit sama males kok nggak ada bedanya.


Kosok balen atau kebalikan dengan orang Jawa yang sangat loma (generous?). Saking nggak pelitnya, wong Jowo suka banget ngimbuhi (menambahi) huruf terutama untuk menyebut kota. Misalnya menambahi huruf "m" pada kota yang berawalan huruf "B" sehingga tidak jarang orang Jawa mengucapkan mBlitar, mBandung, mBogor, mBekasi, mBanjar, mBojonegoro, mBanyuwangi dsb. Atau menambah huruf "n" untuk nJember dan nJombang. Bahkan Parti mengucapkan Jakarta menjadi nJakarta.  Wis....jan ngrusak kosa kata tenan. Tapi rumangsaku (perasaanku), penambahan huruf "m" tersebut membuat suatu kata menjadi luwes untuk diucapkan dan didengar.


Ketika kami pergi ke Blitar tahun 2004, aku bilang sama Leo kalau orang Jawa sering mengucapkan mBlitar instead of Blitar. Dia berkomentar:


"So........ we, Javanese, pronunce it as mBlitar instead of Blitar?"


Leo memang suka pakai istilah "we, Javanese" setiap kali ada hal yang menurut dia aneh atau lucu yang berkaitan dengan Jawa baik itu guyonannya atau hal-hal lainnya. Dari situ, Leo kemudian belajar mengucapkan kata-kata mBogor, mBandungan, mBekasi dsb.


Cuma kok begitu kami balik lagi ke Belanda, dia belajarnya te ver (too far) alias kebablasan. Tiba-tiba dia mengucapkan kota-kota di Belanda yang berawalan huruf B dengan menambahi huruf "m". Tiba-tiba dia bilang: mBreda, mBrabant, mBarendrecht dsb.


E...lha bahaya ini......aku harus nyetop ngajari yang salah kaprah. Rak yo pusing aku nanti kalau tiba-tiba dia mengucapkan ngAmsterdam untuk Amsterdam atau nDen Haag untuk Den Haag. Kalau kedengaran pihak IND atau Immigratie- en Naturalisatiedienst (Immigration and Naturalisation Service), jangan-jangan verblijfsvergunning (stay permit) ku dicabut gara-gara aku dituduh merusak kosa kata Londo. Rak yo cotho tenan aku.  
 

Tuesday, 13 March 2007

Kesimpulan yang logis....

Ibuku dulu pernah punya seorang pembantu rumah tangga. Panggil saja namanya Parti. Dia berasal dari sebuah desa, namanya Ngrampal. Cuma herannya, setiap memperkenalkan diri, dia selalu menyebut asalnya dari Sragen Solo. Aku tidak tahu apakah dengan menyebutkan kata "Solo", dia ingin mendongkrak asal muasalnya, atau memang dia sudah memperkirakan sedikit sekali orang yang tahu dimana letak Ngrampal. Jadi dengan menyebut Sragen Solo, orang tidak perlu bertanya lagi lebih lanjut. Walaupun sebetulnya Ngrampal masih jauh juga dari Sragen.


Karena tidak pernah makan bangku sekolah, dan tidak pernah belajar baca tulis, maka tentu saja dia buta huruf. Adik bungsuku waktu itu masih sekolah di SD. Dia berusaha mengajari Parti untuk membaca dan menulis. Dalam proses belajar mengajar tersebut, sering juga terjadi keributan. Ibu guru kecil yang berusia 10 tahun kesal karena muridnya yang 20 tahun lebih tua, nggak ngerti-ngerti kalau diajari. Di lain pihak, muridnya juga kesal karena yang diajarkan kok susah banget dimengerti. Tapi dengan berjalannya waktu, Parti akhirnya bisa juga menuliskan namanya. Cuma tetap saja, dia harus belajar lebih banyak lagi supaya bisa membaca yang lainnya.


Suatu kali ibuku sedang bingung mencari sesuatu. Parti bertanya:


"Ibu sedang cari apa to?"


"Kamu tahu kacamataku dimana ya? Seingatku aku taruh di atas meja mesin jahit. Tapi kok nggak ada ya"


"Mungkin di kamar barangkali bu. Atau di meja tamu" Parti berusaha membantu untuk mencari.


"Aku mau baca koran. Tanpa kacamata aku nggak bisa baca"


"O...ibu kalau tidak pake kacamata tidak bisa baca?"


"Iya, aku tidak bisa baca kalau nggak pake kacamata. Aku butuh sekali sekarang soalnya pengin baca berita penting di koran"


"Tapi kalau pake kacamata ibu bisa baca?"


"Ya, bisa.... dimana ya. Lupa aku naruhnya..." kata ibuku kesal.


"Kalau begitu, besok saya mau ke pasar bu, mau beli kacamata"


"Lho buat apa kamu beli kacamata? Kamu kan nggak ada masalah dengan mata to?"


"Lho kata ibu tadi kalau pake kacamata bisa baca. Saya kan tidak bisa baca, jadi kalau pake kacamata nanti kan bisa baca"


Ibuku nggak bisa nahan tertawa. Kesimpulannya cukup logis: tanpa kacamata tidak bisa baca, dengan kacamata bisa baca. Jadi artinya untuk bisa baca perlu pake kacamata!


 

Sunday, 11 March 2007

Aku kesal....

Aku kesal, akhir-akhir ini aku sulit membaca tulisan yang kecil-kecil, terutama kalau pagi hari. Ini winter kedua aku mengalami masalah ini. Winter tahun lalu juga seperti ini, tapi begitu summer mataku normal lagi. Aku sekarang harus lebih banyak menggunakan cahaya untuk bisa membaca tulisan yang kecil-kecil. Mataku kurang bisa fokus.


Aku sebetulnya tidak terlalu masalah untuk membaca tulisan di koran atau di komputer. Tapi aku sekarang tidak bisa dengan gampang membaca tulisan yang besarnya 1 mm. Apalagi kalau tulisan itu berlatar belakang gelap. Aku kesal sekali karena aku dulu tidak pernah punya masalah seperti ini. Aku selalu rajin makan wortel, bahkan kadang aku bikin jus wortel walaupun langunya minta ampun. Aku hampir tidak pernah membaca dengan tiduran karena aku sayang pada mataku.  


Leo bilang mungkin aku harus pake kacamata. Aku sebetulnya tidak suka ide itu. Aku pengin seperti Leo yang walaupun usianya sudah 50 tahun, dia tidak pernah pake kacamata ataupun lensa kontak. Penglihatannya masih cukup tajam. Aku masih 42 tahun, kenapa aku yang harus pake kacamata. Apakah ini tanda-tanda ketuaan? Apakah aku takut tua? Kenapa harus takut kalau memang sudah tua.  


Kalau dipikir-pikir, aku harus bersyukur. Sampai usia kepala 4 aku masih bisa bertahan tanpa kacamata. Adik bungsuku pake kacamata ketika berusia 11 tahun. Ibu mertuaku bahkan pada usia 6 tahun harus sudah memakai kacamata. Aku harus bersyukur dengan karunia Illahi ini. Aku harus bersyukur diberi mata yang bisa digunakan untuk melihat keindahan alam, kekayaan alam ciptaan Yang Maha Kuasa. Karunia yang harus aku syukuri, karunia yang tidak bisa dinikmati oleh orang buta. Aku harus bersyukur dengan nikmat ini.     

Wednesday, 7 March 2007

Naik pesawat telpon saja....

Rasanya prihatin dan sedih mendengar kecelakaan pesawat Garuda yang kemarin terjadi. Perasaan belum hilang dari ingatan kita tentang kecelakaan pesawat yang dialami oleh Adam Air. Belum lagi kalau nggak salah Lion Air juga pernah kepleset. Aku rasanya mengurut dada, apakah kita ini kurang mematuhi standar keselamatan internasional.


Setahuku di negara-negara Eropa Barat, standard keselamatan internasional dijalankan secara ketat. Misalnya Transavia dan Air Berlin, walaupun mereka murah, tapi tetap saja harus mematuhi standard keselamatan internasional. Pesawat dari luarpun harus mau menerapkan standard internasional ini kalau mau masuk negara-negara EU. Aku masih ingat, ada maskapai penerbangan Turki yang dilarang untuk beroperasi di Belanda (mendarat dan tinggal landas dari Schiphol) karena dianggap tidak layak keselamatannya. Banyak juga pesawat-pesawat dari Eropa Timur dan Afrika yang juga tidak boleh beroperasi di negara-negara EU karena dianggap mereka sangat buruk dalam hal maintanance.  Daftar pesawat yang tidak boleh beroperasi di EU airports dapat dilihat disini.   


Kembali ke tanah air, banyak orang percaya bahwa Garuda dianggap yang paling reliable selama ini. Dengan rate yang cukup mahal dibandingkan dengan rate pesawat-pesawat domestik lainnya, orang percaya bahwa Garudalah yang terbaik. Perusahaan tempat adikku bekerja bahkan punya kebijakan melarang staff nya terbang dengan pesawat di luar Garuda kalau mereka sedang bertugas. Perusahaan tidak mau ambil resiko kalau terjadi sesuatu. Jadi mereka betul-betul tergantung pada Garuda. Aku tidak tahu apakah setelah kejadian kemarin, perusahaan tempat adikku bekerja masih menerapkan kebijakan tersebut.


Aku bilang sama temanku, sekarang bingung mau milih pesawat apa. Memang hidup dan mati di tangan Tuhan, tapi kita kan harus berusaha, tidak boleh sembrono bermain dengan nyawa. Kalau tahu sebuah pesawat maintanance nya jelek, ya harus dihidari. Temanku bilang:


"Naik pesawat telpon saja mbak. Aman"


"Aku ini nanya serius sama kamu, kok malah disuruh naik pesawat telpon"


"Lha sampeyan juga gitu. Mau terbang takut, tapi penginnya ke mana-mana. Ya sudah, naik pesawat telpon saja. Aman. Lebih murah lagi. Toh sampeyan bisa dengar suaraku to?"      

Naik pesawat telpon saja....

Rasanya prihatin dan sedih mendengar kecelakaan pesawat Garuda yang kemarin terjadi. Perasaan belum hilang dari ingatan kita tentang kecelakaan pesawat yang dialami oleh Adam Air. Belum lagi kalau nggak salah Lion Air juga pernah kepleset. Aku rasanya mengurut dada, apakah kita ini kurang mematuhi standar keselamatan internasional.


Setahuku di negara-negara Eropa Barat, standard keselamatan internasional dijalankan secara ketat. Misalnya Transavia dan Air Berlin, walaupun mereka murah, tapi tetap saja harus mematuhi standard keselamatan internasional. Pesawat dari luarpun harus mau menerapkan standard internasional ini kalau mau masuk negara-negara EU. Aku masih ingat, ada maskapai penerbangan Turki yang dilarang untuk beroperasi di Belanda (mendarat dan tinggal landas dari Schiphol) karena dianggap tidak layak keselamatannya. Banyak juga pesawat-pesawat dari Eropa Timur dan Afrika yang juga tidak boleh beroperasi di negara-negara EU karena dianggap mereka sangat buruk dalam hal maintanance.  Daftar pesawat yang tidak boleh beroperasi di EU airports dapat dilihat disini.   


Kembali ke tanah air, banyak orang percaya bahwa Garuda dianggap yang paling reliable selama ini. Dengan rate yang cukup mahal dibandingkan dengan rate pesawat-pesawat domestik lainnya, orang percaya bahwa Garudalah yang terbaik. Perusahaan tempat adikku bekerja bahkan punya kebijakan melarang staff nya terbang dengan pesawat di luar Garuda kalau mereka sedang bertugas. Perusahaan tidak mau ambil resiko kalau terjadi sesuatu. Jadi mereka betul-betul tergantung pada Garuda. Aku tidak tahu apakah setelah kejadian kemarin, perusahaan tempat adikku bekerja masih menerapkan kebijakan tersebut.


Aku bilang sama temanku, sekarang bingung mau milih pesawat apa. Memang hidup dan mati di tangan Tuhan, tapi kita kan harus berusaha, tidak boleh sembrono bermain dengan nyawa. Kalau tahu sebuah pesawat maintanance nya jelek, ya harus dihidari. Temanku bilang:


"Naik pesawat telpon saja mbak. Aman"


"Aku ini nanya serius sama kamu, kok malah disuruh naik pesawat telpon"


"Lha sampeyan juga gitu. Mau terbang takut, tapi penginnya ke mana-mana. Ya sudah, naik pesawat telpon saja. Aman. Lebih murah lagi. Toh sampeyan bisa dengar suaraku to?"      

Thursday, 1 March 2007

Maraknya kawin siri.....

Akhir-akhir ini kok kawin siri dan poligami marak banget to, nge-trend gitu lho kayaknya. Nggak politisi, nggak artis, nggak pengusaha, nggak ulama, nggak orang biasa, kok sekarang banyak yang melakukan kawin siri. Bahkan ada yang malah mau membawa perkara ke pengadilan karena satu pihak merasa tidak melakukan kawin siri sedangkan pihak yang lain mengakui melakukan perkawinan tersebut.


Perasaan jaman aku muda dulu kok kawin siri nggak sesemarak sekarang. Pasti ada, mungkin namanya kawin kampung kalau di desa nenekku. Tapi berhubung aku masih kecil, jadi ya nggak gitu ngeh. Wong dulu itu kalau ada ngantenan (wedding party atau hajatan) yang menarik buatku adalah makanannya (itu pasti!) dan nonton pengantennya yang cantik dan bagus pake baju nganten tradisional yang kerlap-kerlip. Wuiih.... sueneng dulu kalau diajak ibuku ke tempat ngantenan.   


Dengan berubahnya jaman mungkin ya, kawin siri menjadi marak. Alasannya sih macam-macam, ada yang nggak pengin berzinah, ada yang pengin mengenal dulu pasangannya sebelum menikah resmi tercatat dalam dokumen negara dll.


Ini mengingatkanku dengan cerita seorang kyai sebelum aku menikah. Beliau bercerita gini:


Ada seorang perempuan Indonesia menikah dengan seorang asing dengan cara kawin siri. Yang menikahkan adalah ayah pihak perempuan. Seperti layaknya perkawinan siri, tentu saja ada saksi. Yang jadi saksi waktu itu ulama juga. Setelah menikah, suami meninggalkan istrinya pulang ke negaranya untuk sementara. Dia menitipkan perusahaannya untuk di-manage istrinya sementara dia pulang ke negaranya. Kebetulan memang suaminya ini punya perusahaan di Indonesia. Istrinya melakukan apa yang diminta oleh suaminya. Aku bisa membayangkan, pasti sang istri berusaha me-manage sebaik-baiknya sesuai kemampuan dia.


Setelah beberapa lama, si suami balik lagi ke Indonesia. Apa yang terjadi? Si suami mengambil alih semua tetek bengek perusahaan tapi dia tidak mau mengakui perkawinan siri dengan istrinya ini. Alasannya tidak ada satu dokumenpun yang bisa membuktikan kalau mereka menikah.


Pihak istri beserta keluarganya tentu saja nggak rela. Mereka melaporkan kepada polisi. Tapi polisi dan pengadilan nggak bisa memproses, wong nggak ada bukti atau dokumen resmi yang menyatakan kalau mereka menikah. Wis....pokoknya akhirnya jadi bermasalah.


Dalam pikiranku, lha kok enak banget si pria. Ninggalin perusahaan tapi sementara itu dapat buruh gratis untuk me-manage perusahaannya.  Belum lagi, sebelum dia pulang ke negaranya, dia bisa tidur dengan perempuan tersebut tanpa merasa punya tanggung jawab kalau perempuan tersebut sebetulnya adalah istrinya. Itulah resikonya kalau kawin siri.  


Pak kyai nanya ke aku:


"Kamu ini mau menikah siri atau menikah agama dan negara? Aku nggak mau kalau kamu mengalami kejadian kayak gitu. Ada hukum negara yang bisa digunakan untuk melindungi kamu kalau pernikahanmu tercatat dalam dokumen negara. Jadi kalau ada apa-apa, kamu bisa minta perlindungan hukum. Kalau kawin siri, memang sah menurut agama, tapi kalau terjadi apa-apa dengan perkawinanmu, kamu nggak bisa ngapa-ngapain"


"Kalau saya penginnya ya selain sah agama, juga sah negara pak. Kalau nikah di KUA itu kan sudah sah dua-duanya to pak Kyai? Apa bapak mau lihat, dokumen apa saja yang sudah saya urus?"  


"Nggak...enggak.... aku percaya sama kamu"


Akhirnya dokumen-dokumen tersebut aku masukkan kembali ke dalam tas. Dokumen-dokumen yang jumlahnya banyak dan bikin aku pengin muntah karena harus berurusan dengan birokrasi yang panjang. Harus legalisasi ini itu, pergi ke departemen ini itu, bolak-balik ke kedutaan, harus ada terjemahan bahasa Belanda dari penterjemah tersumpah dll. Belum lagi kalau ngomong biaya, untuk legalisasi satu dokumen di kedutaan kalau nggak salah waktu itu 30 Euro per dokumen. Padahal berapa dokumen saja yang harus dilegalisasi, sudah gitu yang dilegalisasi adalah dokumen sebelum menikah dan setelah menikah. Belum lagi biaya transportasi dsb. Di pihak Leo sendiri juga harus ngurus macem-macem. Tapi ya gimana lagi, daripada menyesal di kemudian hari.  Akhirnya toh semua urusan birokrasi tersebut bisa kami lalui.....   


Sekarang kalau mau berantem mikir-mikir soalnya ingat dulu ngurus dokumen nikah ngabisin energi, biaya, dan waktu. Masak sudah susah-susah, mau dihancurkan begitu saja. Mungkin ini barangkali ya hikmahnya....