Akhir-akhir ini kok kawin siri dan poligami marak banget to, nge-trend gitu lho kayaknya. Nggak politisi, nggak artis, nggak pengusaha, nggak ulama, nggak orang biasa, kok sekarang banyak yang melakukan kawin siri. Bahkan ada yang malah mau membawa perkara ke pengadilan karena satu pihak merasa tidak melakukan kawin siri sedangkan pihak yang lain mengakui melakukan perkawinan tersebut.
Perasaan jaman aku muda dulu kok kawin siri nggak sesemarak sekarang. Pasti ada, mungkin namanya kawin kampung kalau di desa nenekku. Tapi berhubung aku masih kecil, jadi ya nggak gitu ngeh. Wong dulu itu kalau ada ngantenan (wedding party atau hajatan) yang menarik buatku adalah makanannya (itu pasti!) dan nonton pengantennya yang cantik dan bagus pake baju nganten tradisional yang kerlap-kerlip. Wuiih.... sueneng dulu kalau diajak ibuku ke tempat ngantenan.
Dengan berubahnya jaman mungkin ya, kawin siri menjadi marak. Alasannya sih macam-macam, ada yang nggak pengin berzinah, ada yang pengin mengenal dulu pasangannya sebelum menikah resmi tercatat dalam dokumen negara dll.
Ini mengingatkanku dengan cerita seorang kyai sebelum aku menikah. Beliau bercerita gini:
Ada seorang perempuan Indonesia menikah dengan seorang asing dengan cara kawin siri. Yang menikahkan adalah ayah pihak perempuan. Seperti layaknya perkawinan siri, tentu saja ada saksi. Yang jadi saksi waktu itu ulama juga. Setelah menikah, suami meninggalkan istrinya pulang ke negaranya untuk sementara. Dia menitipkan perusahaannya untuk di-manage istrinya sementara dia pulang ke negaranya. Kebetulan memang suaminya ini punya perusahaan di Indonesia. Istrinya melakukan apa yang diminta oleh suaminya. Aku bisa membayangkan, pasti sang istri berusaha me-manage sebaik-baiknya sesuai kemampuan dia.
Setelah beberapa lama, si suami balik lagi ke Indonesia. Apa yang terjadi? Si suami mengambil alih semua tetek bengek perusahaan tapi dia tidak mau mengakui perkawinan siri dengan istrinya ini. Alasannya tidak ada satu dokumenpun yang bisa membuktikan kalau mereka menikah.
Pihak istri beserta keluarganya tentu saja nggak rela. Mereka melaporkan kepada polisi. Tapi polisi dan pengadilan nggak bisa memproses, wong nggak ada bukti atau dokumen resmi yang menyatakan kalau mereka menikah. Wis....pokoknya akhirnya jadi bermasalah.
Dalam pikiranku, lha kok enak banget si pria. Ninggalin perusahaan tapi sementara itu dapat buruh gratis untuk me-manage perusahaannya. Belum lagi, sebelum dia pulang ke negaranya, dia bisa tidur dengan perempuan tersebut tanpa merasa punya tanggung jawab kalau perempuan tersebut sebetulnya adalah istrinya. Itulah resikonya kalau kawin siri.
Pak kyai nanya ke aku:
"Kamu ini mau menikah siri atau menikah agama dan negara? Aku nggak mau kalau kamu mengalami kejadian kayak gitu. Ada hukum negara yang bisa digunakan untuk melindungi kamu kalau pernikahanmu tercatat dalam dokumen negara. Jadi kalau ada apa-apa, kamu bisa minta perlindungan hukum. Kalau kawin siri, memang sah menurut agama, tapi kalau terjadi apa-apa dengan perkawinanmu, kamu nggak bisa ngapa-ngapain"
"Kalau saya penginnya ya selain sah agama, juga sah negara pak. Kalau nikah di KUA itu kan sudah sah dua-duanya to pak Kyai? Apa bapak mau lihat, dokumen apa saja yang sudah saya urus?"
"Nggak...enggak.... aku percaya sama kamu"
Akhirnya dokumen-dokumen tersebut aku masukkan kembali ke dalam tas. Dokumen-dokumen yang jumlahnya banyak dan bikin aku pengin muntah karena harus berurusan dengan birokrasi yang panjang. Harus legalisasi ini itu, pergi ke departemen ini itu, bolak-balik ke kedutaan, harus ada terjemahan bahasa Belanda dari penterjemah tersumpah dll. Belum lagi kalau ngomong biaya, untuk legalisasi satu dokumen di kedutaan kalau nggak salah waktu itu 30 Euro per dokumen. Padahal berapa dokumen saja yang harus dilegalisasi, sudah gitu yang dilegalisasi adalah dokumen sebelum menikah dan setelah menikah. Belum lagi biaya transportasi dsb. Di pihak Leo sendiri juga harus ngurus macem-macem. Tapi ya gimana lagi, daripada menyesal di kemudian hari. Akhirnya toh semua urusan birokrasi tersebut bisa kami lalui.....
Sekarang kalau mau berantem mikir-mikir soalnya ingat dulu ngurus dokumen nikah ngabisin energi, biaya, dan waktu. Masak sudah susah-susah, mau dihancurkan begitu saja. Mungkin ini barangkali ya hikmahnya....
kawin siri = kawin pahe (paket hemat)... ngga pake resepsi. yang penting fungsi rekreasi tercapai toh?
ReplyDeletekayaknya kalo sampai kawin siri tu yang rugi pihak perempuannya dech ...
ReplyDeletesetuju banget mba'...meskipun sah, tapi tetep saja resikonya buat pihak perempuan terlalu riskan...dan tetep kembalikan kepada niatnya menikah dari pasangan itu sendiri...nuhun,,,,
ReplyDeletehwekekekk ... Sriii, kalo aku jadi lelaki ... hi-hi-hi, rasanya maudeh ngawin nyirih getuuu ... kqkkqkq ... seperti mas sossi bilang gitu bisa dapet pahe dan hemaaaat .... hwekekekkk ... tapi karena dikodratkan jadi cewek, eitssss ntar dulu, enak di elu ga enak diu guwah ... gya hahaha. Jadi inget waktu lempar-lemparan sirih di waktu acara ngantenan dulu, katanya biarr afdwol kalo lemparan sirihnya nyampe ke pasangan kita .... pikir-punya pikir semaleman, akhirnya aku sumpelin pake permen kecwil biar manteeep waktu nglempar .... he-he-he hiiii ya bener, nyampe tepat di hidungnya dan aku ngelessss ... biar ga kena lemparan daun sirihnya. Heeee jadi OOT dweh ... sooori ya,Sri, mmmmuach aku juga suka tema ini. Makasih ya Sri
ReplyDeleteYang aku lihat selama ini juga kayak gitu, yang rugi biasanya memang pihak perempuan.
ReplyDeleteIya nih, aku mikir kawin siri resikonya tinggi juga ya, terutama buat perempuan. Samen leven (living together) di Belanda saja masih ada perlindungan hukum karena mereka mencatatkan diri di gemeente (Pemda). Perlindungan hukumnya kayak apa, aku kurang tahu sampai detil, tapi kata Leo nggak jauh beda dengan yang menikah.
ReplyDeleteSetahuku akte kelahiran anak hasil samen leven masih tetap tercatat nama bapaknya karena bapaknya bikin pernyataan bahwa itu memang anaknya. Tapi katanya kalau kawin siri, akte kelahiran anaknya cuma tercatat nama ibu saja ya?
Kalau aku punya anak, aku tentu saja pengin akte kelahiran anakku ada nama bapaknya, bukan ibunya saja. Dan aku yakin, anakku juga pengin nama ayahnya tercatat di akte kelahirannya.
Kalau nggak punya duit, kawin di kantor KUA saja juga bisa kok, hemat juga. Setelah itu kalau punya duit pake resepsi, kalau nggak punya duit nggak pake resepsi juga nggak apa-apa. Yang penting kan sudah sah menurut agama dan negara. Tapi itu pendapatku.
ReplyDeleteIya memang....
ReplyDeleteRasanya udah banyak informasi , crita duka atow yang di rugikan (khususnya kaum perempuan) tapi koq tetep banyak ajah korban nya.. duuh..beneran heran deeeh.. kan prempuan indonesia tuh gak bodoh ya mba ..
ReplyDeleteAnyway, kalow liat perjuangan panjang nya mbak sri..Insya Allah semua ada hikmahnya yaa.. jadi kalow lagi ngambek2 sama suami..bisa cepet baikan..he..he..he
Aku yo heran itu, kok masih saja ada yang melakukan. Pelakunya sendiri kadang juga bukan orang yang tidak berpendidikan. Bingung juga aku.
ReplyDeleteKalau tentang ngambek, he...he...he.... memang harus cepet baikan, kalau enggak nanti rugi. Soalnya selalu inget gimana susahnya dapetin surat nikah.....
kan cinta........biasakan orang kalo jatuh cintrong percaya aja di wadulin juga..hehe
ReplyDeleteCinta buta ya jadinya....
ReplyDelete