Saturday, 16 December 2006

Pengin masak pake buah, ada ide?

Pengin rasanya masak pake buah. Apa ya? Ada ide? Yang jelas setelah search internet, sudah punya 3 resep yaitu: ikan nanas (aslinya sih ayam kuluyuk tapi berhubung Leo nggak makan ayam dan aku nggak suka ayam Londo, akhirnya diganti ikan), daging sapi saus plum dan ikan mangga. Yang dua sudah dicoba dan menurut kami enak, yang satu belum nyoba karena kebetulan nggak punya ikan walaupun punya mangga satu biji. Pengin satu lagi masak pake apel atau semangka atau melon atau apalah gitu, yang penting ada buahnya. Biar rada aneh gitu lho


Pengin nih bikin makanan yang bertema. Misalnya koken met fruit (cooking with fruit), oost ontmoet west (east meets west), dan koken met kokos melk (serba bersanten maksudnya) dsb.


Siapa saja yang punya ide, tolong kasih tahu ya. Thanks sebelumnya.

Pengin masak pake buah, ada ide?

Pengin rasanya masak pake buah. Apa ya? Ada ide? Yang jelas setelah search internet, sudah punya 3 resep yaitu: ikan nanas (aslinya sih ayam kuluyuk tapi berhubung Leo nggak makan ayam dan aku nggak suka ayam Londo, akhirnya diganti ikan), daging sapi saus plum dan ikan mangga. Yang dua sudah dicoba dan menurut kami enak, yang satu belum nyoba karena kebetulan nggak punya ikan walaupun punya mangga satu biji. Pengin satu lagi masak pake apel atau semangka atau melon atau apalah gitu, yang penting ada buahnya. Biar rada aneh gitu lho


Pengin nih bikin makanan yang bertema. Misalnya koken met fruit (cooking with fruit), oost ontmoet west (east meets west), dan koken met kokos melk (serba bersanten maksudnya) dsb. Kalau yang serba bersantan kayaknya banyak pilihan ya.


Siapa saja yang punya ide, tolong kasih tahu ya. Thanks sebelumnya.

Friday, 20 October 2006

Cap jae kampung Londo




Berhubung tidak bisa upload foto di blog, akhirnya aku tempel di sini. Cap jae kampung yang menurutku enak dan bergizi. Terimakasih ya mbak Ine atas resepnya.

Cap jae kampung Londo


Setelah membaca resepnya Mbak Ine tentang cap cay kampung, membuat aku pengin mencoba bikin. Maklum, ini masalah memory di Semarang yang nggak pernah terlupakan. Dulu orang-orang menyebutnya cap jae, bukan can cay. Tapi terus terang walaupun keekian nya cuma trigu dan telur kok ya rasanya miroso tenan.

Terlampir gambar masakan cap jae ku. Menurutku sih enak ya. Karena saking kepinginnya bikin keekian kampung, aku yo bener-bener nyonto resep keekian nya mbak Ine, nggak ditambah, nggak dikurangi. Misalnya, tepung 150 gram, yo tak grami tenan kae. Airnya 30 cc, yo bener-bener aku ukur 30 cc pake gelas ukuran. Padahal biasanya kalau nyonto resep, yo aku ubah-ubah sak sukaku sesuai seleraku.

Tapi kalau sayuran dan masak cap jae nya, aku yo sesuaikan dengan seleraku dan tentu saja persediaan bahan di kulkas ku. Yang jelas, aku tambahi udang sedikit, tapi sedikit lho ya soalnya takut rasa kampungnya ilang. Selain itu, udang di sini rasanya rada hambar, nggak kayak udang di Indonesia. Lha yo gimana nggak hambar, wong aku pake udang beku. Udang kayak gini setahuku udang import. Sebelum diimport, pasti udangnya dikupas dulu, dimasak dulu, terus kuahnya dibuang, baru dikemas. Jadi ya bisa dibayangkan kalau sari udangnya sudah banyak yang ilang. Ngomong muter-muter kayak gini sebetulnya cuma mau ngasih tahu kalau cap jae ini masih cap jae kampung, wong walaupun pake udang, tapi kan udangnya cuma dikit tapi paling enggak masih berasa udang lamat-lamat walaupun cuma dikit karena sarinya banyak yang hilang.

Kalau sayurannya seperti biasa, aku sukanya warna-warni. Yang ada di kulkas, aku masukin yang penting kayak warna pelangi: wortel, kapri, kembang kol, kacang polong, tomat. Sampai-sampai paprika saja dimasukkan, wong namanya cap jae kampung Londo. Nggak punya kobis, jadi nggak pake kobis. Kebetulan Leo juga nggak suka kobis, jadi ya tidak masalah walaupun kadar kekampungannya menjadi turun walaupun sedikit. Karena nggak punya daun bawang, aku masukkan prei (kebetulan prei sedang murah di sini)

Di resep di tulisnya pake kaldu atau air. Berhuhung nggak punya kaldu ayam, aku cuma pake kaldu bubuk. Kebetulan punya brambang goreng dan seledri mentah. Jadi yo lumayan buat taburan di atasnya, biar kelihatan meriah dan cukup miroso.

Kalau ditanya apakah bergizi atau tidak, menurutku sih bergizi karena banyak sayurannya. Selain itu, tidak terlalu banyak kolesterol karena nggak pake daging, udangnya sak upit sporadis sekali (bahkan hampir nggak kelihatan kalau tidak dipetani satu-satu). Telur cuma satu (untuk bikin kekian) untuk makan berdua. Jadi yo kesimpulanku, cap jae kampung ini justru menu sehat. Terimkasih ya mbak Ine atas resepnya. 

Ketika ditanya Leo, ini masakan apa, aku bilang cap jae kampung. Kata dia, not bad.....
Jadi.... cap jae kampung sudah masuk Londo! Opo ora hebat?

Attachment: cjk.JPG

Monday, 2 October 2006

Komnas Hak Asasi Bumbu

Rating:★★★
Category:Other
Gado-gado dan pecel adalah salah satu makanan favoritnya Leo. Karena dia suka banget pecel, maka aku selalu punya stock kacang sehingga kalau kapan-kapan pengin buat sudah tinggal goreng saja. Bahkan kadang aku buat bumbu pecel kering, sehingga kapan saja kami ingin makan gado-gado, tinggal ngasih air saja. Kalau perlu sedikit di-blender lagi waktu sebelum disajikan agar lebih halus.

Selain nye-tok kacang, tentu saja nyetok kencur, daun jeruk dsb. Sampai-sampai Leo bilang: "aku dulu waktu masih single, koelkast ini isinya nggak ada yang namanya barang-barang kayak gitu. Sekarang freezer jadi full of boemboe"

Aku bilang: "Ah...kamu juga suka kok kalau aku masak macem-macem"

Lha gimana nggak nyetok, kalau di Indonesia sih gampang. Pengin menggunakan daun jeruk, kencur dsb tinggal nyegat tukang sayur atau ke pasar atau ke supermarket. Dapatnya fresh lagi. Lha di sini, boemboe kayak gitu kan eksotik, harus ke Asian supermarket atau toko-toko Indonesia yang menjual kayak gituan. Itu artinya harus ke Rotterdam atau ke Rijswijk. Perjalanan sih nggak ada sejam, tapi kalau naik openbaar vervoer alias public transportation kan mahal sekali. Belum lagi berat, jadi harus bawa mobil. Jadi kalau mau beli boemboe ya harus nunggu longgarnya Leo untuk nganterin ke sana.

Kembali ke bumbu pecel lagi. Aku jarang sekali beli bumbu pecel karena pernah beli merk Karang Sari tapi kok rasanya sudah apek. Mungkin sudah lama kali ya di toko. Terus pernah lagi beli bumbu gado-gado yang merk lokal, rasanya menurutku lebih parah. Atau mungkin lidahku saja yang nggak pas dengan pecel nya Londo.

Aku bilang sama teman, gado-gado di sini rasanya sudah menyalahi hak-hak asasi bumbu gado-gado. Begitu juga nasi goreng, rasanya aneh, bakmi goreng berasa nggak ngalor nggak ngidul. Betul-betul menyalahi pakem (lha tapi kalau para Londo suka, yo nggak po-po yo?). Temanku kemudian bilang: "wah kalau gitu, harus didirikan KOMNAS HAB (Hak Asasi Bumbu) nih"

Kabar bahwa Leo suka gado-gado sudah tersebar luas diantara keluarga, kerabat dan teman-teman semua. Saking santernya kabar tersebut, waktu kami pulang kampung, setiap orang yang kami datangi baik itu bude, saudara sepupu, keponakan, teman-teman semua pasti nyuguhinya gado-gado atau pecel. Dari mulai pecel Madiun, Kediri, gado-gado Jakarta dll. Bahkan waktu di Kediri, bude selalu membelikan pecel dari pasar untuk sarapan pagi. Leo sebetulnya nggak pernah sarapan, tapi nggak enak juga untuk menolak. Selain itu melihat pecel Kediri yang dibungkus pake daun dan ditambah dengan rempeyek dan kerupuk, ya siapa bisa nolak. Apalagi nasinya anget dan minumnya teh anget, pasti enak to.

Waktu di Semarang juga gitu. Seorang saudara bahkan import khusus bumbu pecel dari Ngawen untuk disajikan sebagai salah satu menu suguhan untuk kami. Kalau nggak salah yang membuat namanya ibu Kusrin. Bumbu pecelnya enak, dan wangi daun jeruknya terasa harum sekali. Belum lagi kencurnya juga terasa, tapi nggak getir, wong sudah dicampur dengan macem-macem bumbu lainnya tentunya. Wis pokoknya top rasanya. Kalau dibandingkan dengan pecel made in Londo, ya jauhlah. Pecel made in Ngawen ini jauh lebih uenak. Kebetulan Leo suka pedes, jadi nggak masalah dia makan pecel yang pedas harum ini.

Nggak tanggung-tanggung, saudaraku ini malah sudah membelikan bumbu pecel berplastik-plastik untuk kami bawa pulang ke Belanda. Jadi jangan kaget kalau waktu itu mungkin seperempat isi koper kami adalah bumbu pecel made in Ngawen. Lumayan juga buat persediaan berbulan-bulan. Kalau males masak, tinggal ngencerin bumbu dan ngrebus sayuran.

Di Jakarta juga sama. Waktu itu kami ketemu mbak Suci, istri almarhum Munir, dia juga ngajak ke warung dekat rumahnya untuk makan pecel. Kata mbak Suci, wis mumpung di sini, ayo kita makan rujak cingur atau pecel Madiun. Lumayan juga sih rujak cingurnya walaupun made in Bekasi, bukan made in Suroboyo. Leo milih pecel Madiun. Katanya sih enak (wong aku nggak ikut ngicipin). Kalau nggak enak, yo nanti tak laporkan ke Komnas Hak Asasi Bumbu to!

Have a nice day.
Sri
PS. Gambar bintang (rating) nggak ada hubungannya dengan review. Aku langganan Multiply yang gratis, jadi yo ora lengkap, kebetulan bagian blog sudah kepake untuk yang lain. Mau langganan yang mbayar, percuma, karena blog cuma diisi setahun sekali. Hi...hi...hi... dasar males!

Komnas Hak Asasi Bumbu

Rating:★★★
Category:Other
Gado-gado dan pecel adalah salah satu makanan favoritnya Leo. Karena dia suka banget pecel, maka aku selalu punya stock kacang sehingga kalau kapan-kapan pengin buat sudah tinggal goreng saja. Bahkan kadang aku buat bumbu pecel kering, sehingga kapan saja kami ingin makan gado-gado, tinggal ngasih air saja. Kalau perlu sedikit di-blender lagi waktu sebelum disajikan agar lebih halus.

Selain nye-tok kacang, tentu saja nyetok kencur, daun jeruk dsb. Sampai-sampai Leo bilang: "aku dulu waktu masih single, koelkast ini isinya nggak ada yang namanya barang-barang kayak gitu. Sekarang freezer jadi full of boemboe"

Aku bilang: "Ah...kamu juga suka kok kalau aku masak macem-macem"

Lha gimana nggak nyetok, kalau di Indonesia sih gampang. Pengin menggunakan daun jeruk, kencur dsb tinggal nyegat tukang sayur atau ke pasar atau ke supermarket. Dapatnya fresh lagi. Lha di sini, boemboe kayak gitu kan eksotik, harus ke Asian supermarket atau toko-toko Indonesia yang menjual kayak gituan. Itu artinya harus ke Rotterdam atau ke Rijswijk. Perjalanan sih nggak ada sejam, tapi kalau naik openbaar vervoer alias public transportation kan mahal sekali. Belum lagi berat, jadi harus bawa mobil. Jadi kalau mau beli boemboe ya harus nunggu longgarnya Leo untuk nganterin ke sana.

Kembali ke bumbu pecel lagi. Aku jarang sekali beli bumbu pecel karena pernah beli merk Karang Sari tapi kok rasanya sudah apek. Mungkin sudah lama kali ya di toko. Terus pernah lagi beli bumbu gado-gado yang merk lokal, rasanya menurutku lebih parah. Atau mungkin lidahku saja yang nggak pas dengan pecel nya Londo.

Aku bilang sama teman, gado-gado di sini rasanya sudah menyalahi hak-hak asasi bumbu gado-gado. Begitu juga nasi goreng, rasanya aneh, bakmi goreng berasa nggak ngalor nggak ngidul. Betul-betul menyalahi pakem (lha tapi kalau para Londo suka, yo nggak po-po yo?). Temanku kemudian bilang: "wah kalau gitu, harus didirikan KOMNAS HAB (Hak Asasi Bumbu) nih"

Kabar bahwa Leo suka gado-gado sudah tersebar luas diantara keluarga, kerabat dan teman-teman semua. Saking santernya kabar tersebut, waktu kami pulang kampung, setiap orang yang kami datangi baik itu bude, saudara sepupu, keponakan, teman-teman semua pasti nyuguhinya gado-gado atau pecel. Dari mulai pecel Madiun, Kediri, gado-gado Jakarta dll. Bahkan waktu di Kediri, bude selalu membelikan pecel dari pasar untuk sarapan pagi. Leo sebetulnya nggak pernah sarapan, tapi nggak enak juga untuk menolak. Selain itu melihat pecel Kediri yang dibungkus pake daun dan ditambah dengan rempeyek dan kerupuk, ya siapa bisa nolak. Apalagi nasinya anget dan minumnya teh anget, pasti enak to.

Waktu di Semarang juga gitu. Seorang saudara bahkan import khusus bumbu pecel dari Ngawen untuk disajikan sebagai salah satu menu suguhan untuk kami. Kalau nggak salah yang membuat namanya ibu Kusrin. Bumbu pecelnya enak, dan wangi daun jeruknya terasa harum sekali. Belum lagi kencurnya juga terasa, tapi nggak getir, wong sudah dicampur dengan macem-macem bumbu lainnya tentunya. Wis pokoknya top rasanya. Kalau dibandingkan dengan pecel made in Londo, ya jauhlah. Pecel made in Ngawen ini jauh lebih uenak. Kebetulan Leo suka pedes, jadi nggak masalah dia makan pecel yang pedas harum ini.

Nggak tanggung-tanggung, saudaraku ini malah sudah membelikan bumbu pecel berplastik-plastik untuk kami bawa pulang ke Belanda. Jadi jangan kaget kalau waktu itu mungkin seperempat isi koper kami adalah bumbu pecel made in Ngawen. Lumayan juga buat persediaan berbulan-bulan. Kalau males masak, tinggal ngencerin bumbu dan ngrebus sayuran.

Di Jakarta juga sama. Waktu itu kami ketemu mbak Suci, istri almarhum Munir, dia juga ngajak ke warung dekat rumahnya untuk makan pecel. Kata mbak Suci, wis mumpung di sini, ayo kita makan rujak cingur atau pecel Madiun. Lumayan juga sih rujak cingurnya walaupun made in Bekasi, bukan made in Suroboyo. Leo milih pecel Madiun. Katanya sih enak (wong aku nggak ikut ngicipin). Kalau nggak enak, yo nanti tak laporkan ke Komnas Hak Asasi Bumbu to!

Have a nice day.
Sri
PS. Gambar bintang (rating) nggak ada hubungannya dengan review. Aku langganan Multiply yang gratis, jadi yo ora lengkap, kebetulan bagian blog sudah kepake untuk yang lain. Mau langganan yang mbayar, percuma, karena blog cuma diisi setahun sekali. Hi...hi...hi... dasar males!

Sunday, 1 October 2006

Musim semi dan panas yang menyenangkan


Ini foto bunga yang aku ambil di halaman rumah mertua pada musim panas tahun lalu.



Aku selalu suka bunga walaupun selalu gagal kalau disuruh nanem sendiri. Walaupun sudah mengikuti petunjuk, selalu saja gagal alias mati. Mungkin aku nggak punya groene vingers atau green fingers. Atau mungkin males saja. Tapi aku selalu gatal untuk memotret bunga-bunga yang indah. Musim semi dan musim panas selalu menyenangkan bagiku.

Memasuki September tahun ini, bunga sudah berkurang walaupun di beberapa tempat, aku masih melihat berbagai bunga masih mekar. Mengagumkan, karena sekarang sudah September lho, biasanya September angin sudah mulai kencang dan daun-daun sudah berguguran menyambut musim gugur.

September ini suhu masih di atas 20 derajat (bahkan kadang masih 24 derajat), padahal biasanya sudah lumayan drop. Menurut berita, September tahun ini adalah September terpanas selama 300 tahun terakhir.

Genoa-Italia


Piazza de Ferari, semacam centrum atau alun-alunnya Genoa.

Ini foto-foto waktu kami di Genoa-Italia bulan lalu sampai awal bulan September. Menurut kami Genoa cukup indah dengan banyak gedung-gedung tua yang usianya sudah ratusan tahun, cuma di beberapa tempat memang kurang terawat. Di beberapa gedung tua bahkan UNESCO harus turun tangan untuk membantu melestarikannya. Seperti gedung-gedung tua di Eropa, biasanya bangunan tersebut cukup kokoh, bisa bertahan ratusan tahun.

Monday, 18 September 2006

Wangsit dari mbak Ine: Five things to eat before you R.I.P

Rating:★★★★★
Category:Other
Perasaan semalam nggak ngimpi apa-apa, tapi tiba-tiba tadi pagi waktu buka kompi kok dapat wangsit dari Mbak Ine untuk mengabsen makanan. Judul wangsitnya saja sekti banget: "Five Things to eat before you R.I.P"

Lha berhubung wangsit, assignment, opdracht, tugas dan PR ini datangnya dari pakar kuliner top, ya tentunya harus dijalankan, takut kuwalat. Lha siapa tahu, kalau tidak dijalankan, kalau sedang masak terus keasinan atau gosong, rak yo cotho to? Kalau hasil kerjaku nggak diterima oleh pemberi wangsit, idep-idep ngisi blogku yang sudah lama nggak pernah aku tengok.

Ternyata assignment ini nggak gampang soale cuma disuruh milih 5, padahal aku ini OOBB (Opo Opo Blang Bleng) alias doyanan, lha kok disuruh cuma milih 5. Jadi perlu pemikiran yang njlimet agar nanti di sananya nggak menyesal.

Tapi nek tak pikir-pikir, wangsit ini rada kurang jelas, not that clear or niet echt duidelijk. Lha wong nggak dikasih kriteria yang jelas, rinci dan rigid.
Misalnya nggak disebutkan, segede apa porsinya (sak lepek/tatakan cangkir, atau sak piring, atau sak tampah?). Terus dikasih selang waktu berapa lama untuk bisa menghabiskan 5 pilihan tersebut sebelum RIP? Sak menit atau 50 tahun?

Karena nggak ada kriteria tersebut, maka dugaanku adalah bahwa pemberi wangsit (dalam hal ini Mevrouw Ine) ingin memberi kebebasan kepada penerima wangsit (yaitu aku) untuk berpikir secara kreatif dan imajinatif.

Sekali lagi karena lack of criteria dalam wangsit tersebut, yo aku tentu saja bikin kriteria sendiri, wong saking kreatipnya. Yaitu:

1. Makanan yang kupilih harus sak ubo rampene. Misalnya kalau nasi goreng, yo nggak cuma nasi goreng thok, tapi yo mestine ada endog (telor) dadar atau ceplok di atasnya, ada kerupuk udang atau emping.

2. Makanan tersebut adalah makanan enak yang selama di dunia dilarang padahal aku suka banget. Apalagi kalau bukan jeroan! Kriteria yang satu ini aku buat gara-gara para dokter yang pada crigis-crigis en sok tahu.

Lha mosok to, mereka itu kok berani-beraninya ngomong begini: "ibu rak yo sudah mulai sepuh (tua), jadi mbok ya menghindari konsumsi jeroan"

Lha itu rak yo menyinggung perasaan to, mosok aku dikelaskan sudah sepuh. Lha walaupun uban sudah banyak dan umur sudah kepala 4 tapi aku rak yo selalu berjiwa muda. Tapi seperti biasa para dokter itu memakai istilah yang ngilmiah seperti kolesterol dan sejenisnya. Makanya untuk balas dendam, aku memasukkan jeroan sebagai salah satu kriteriaku.

Jadi inilah my five things to eat before R.I.P:

1. TUMPENG SAK UBO RAMPENE. Jadi yo perlu pake ayam, daging, ikan, sambel goreng ati, tahu, tempe, rempeyek, telor pindang, urap, bergedel, etc. dsb, dst dll others. Tumpeng kalau cuma sego kuning atau nasi gurih thok, itu namanya bukan tumpeng!!!! Lha perkara ayamnya mau di-ingkung opor, atau di-panggang Klaten, atau digoreng keremes itu urusan nanti, bisa dipikirkan kemudian. Kuluban alias urapan ya harus pepak atau lengkap, harus ada kacang panjang, toge, kemangi dll.

2. PECEL SAK UBO RAMPENE. Aku paling suka pecel Madiun soale ada kemangi dan mlandingnya. Wis wangi tenan. Tapi yo mestinya ditambah srundeng, peyek teri, krupuk kampung. Terus makannya pake daun dipincuk.

3. BACEM JEROAN. Lha yo namanya jeroan rak yo tentu saja isinya usus, babat dan sebagainya. Apalagi kalau makannya babat anduk (yang berlipat-lipat itu lho ya). Sudah bayangin manis gurih deh.

4. DIMSUM. Lha aku ini rak dari kecil sudah dididik supaya tidak nggragas alias tidak rakus. Jadi dari berbagai macam dimsum, aku cuma milih 3 favorit ku: siomay, hakau en ceker ayam angsiu. Lha kalau boleh nambah, yo lumpia Semarang yang pake rebung.

5. BUAH-BUAHAN SAK UBO RAMPENE. Artinya yo ada sambel rujak (kalau pengin makan rujak), gula (siapa tahu diperlukan kalau bikin jus mangga), madu dan lemon kalau mau bikin cocktail buah dan sebagainya.

Kayaknya itu sudah dulu deh. Lha kalau pemberi wangsit masih memperbolehkan lainnya, ya tak mikir lagi. Misalnya seafood BBQ. Jadi karena seafood, tentunya termasuk ikan baronang, bawal, kerapu, udang, lobster, cumi-cumi dsb. yang di-BBQ. Terus yo sak sambel-sambelnya juga seperti sambel kecap, sambel tomat dsb.

Apalagi kalau boleh juga nambah Nasi Gudeg Komplit. Artine nggak hanya makan nasi en gudeg thok (lha itu bukan nasi gudeg komplit namanya), tapi yo mestinya ada sambel goreng kreceknya, ada iwak pitiknya, ada ndognya, ada rempelo atinya dan tentu saja ada sambelnya.

Mau nambah lagi? Nasi Padang sak UBO RAMPENE. Wis enak itu, nasi anget pake lauk rendang, ikan bakar atau dendeng yang garing renyah di atasnya dikasih bumbu cabe merah yang diuleg kasar itu lho, sambel ijo, en krupuk kampung.

Semoga hasil pemikiran yang cukup njlimet ini diterima dengan sebaik-baiknya. Oh ya, foto yang aku tempel ini adalah sebuah restaurant di desa tempat aku tinggal. Aku nggak pernah makan di sini (wong larang/mahal). Restaurant ini letaknya kebetulan di dekat rumah mertua. Kami biasa parkir mobil di sana setiap Sabtu pagi setelah nganterin mami (mertua) belanja.

Sunday, 28 May 2006

Ungu yang indah....


Rhododendron, kado moederdag untuk ibu mertua

Tiba-tiba bulan Mei ini aku jatuh cinta pada warna ungu....

Thursday, 18 May 2006

Sayur Pelangi


Karena merah, kuning, hijau warnanya, maka aku sebut sayur ini sayur pelangi, padahal sih sebenarnya tumis sayur bumbu merica. Dapat resepnya dari mana lupa, dan resepnya juga nggak persis banget kayak yang aku bikin.

Biasanya sayur ini aku buat kalau sedang males mikir mau masak sayur apa hari ini. Karena males mikir, segala macam jenis sayur di kulkas dipake semua, biar warna-warni. Dari mulai buncis, paprika, wortel, brokoli dsb. Bahkan kalau perlu ditambah tomat. Kalau perlu lagi ditambahi bawang putih sebagai bumbu. Lha kadang malah aku tambahi udang kok. Pokoknya rame deh kayak nano-nano.

Biasanya sih sayuran yang aku pakai adalah sayuran keras kayak buncis, bukan sayuran lunak kayak kangkung. Kebetulan Leo lebih suka sayuran keras daripada sayuran lunak berdaun kayak kangkung, bayem dan sejenisnya.

Yang aku bikin kali ini buncisnya nggak aku potong-potong. Soalnya selain buncisnya masih muda, aku juga pengin buncisnya kelihatan betul di foto. Norak ya? Tapi biasanya sih buncisnya dipotong-potong, wortelnya motongnya juga lebih kecil, paprikanya dipotong nggak segede raksasa.

Begini nih bikinnya:

Bahan:

100 gram buncis (dipotong-potong) direbus
1 buah wortel besar dipotong-potong dan direbus
100 gram kembang kol dipotong-potong dan direbus
1/2 buah bawang bombay di-iris-iris
1/2 buah paprika hijau dipotong-potong
1/2 buah paprika kuning dipotong-potong
1/2 buah paprika merah dipotong-potong
3 buah jamur merang segar di-iris-iris
1/2 sdt lada hitam bubuk
1/2 sdt garam
1,5 sdt peterseli

Cara membuat:

1. Tumis bawang bombay sampai harum
2. masukkan paprika merah, kuning hijau
3. masukkan jamur merang
4. Kalau sudah agak layu, masukkan garam, merica bubuk dan peterseli
5. Masukkan buncis, wortel, kembang kol
6. Masak hingga matang (tapi biasanya kami lebih suka kalau paprikanya masih crunchy)

Tongseng daging paprika


Aku itu sebetulnya pengin makan tongseng, tapi: (a) Leo punya darah tinggi; (b) Leo nggak suka daging kambing; (c) cari daging kambing di desaku susah, harus cari di Rotterdam, itupun nggak tahu dimana tempatnya.

Akhirnya aku membuat tongseng dengan daging sapi. Tapi karena seperti biasa aku ini terlalu "kreatif", maka tongsengnya aku kasih paprika. Rasanya sih tidak seperti tongseng kambing. Tapi kalau makannya sambil mbayangin tongseng yang biasanya dijual di tenda-tenda di Indonesia rak yo nggak pa-pa to?

Begini nih kira-kira bikinnya:

Bahan:
200 gram daging sapi yang bagus, potong kecil-kecil
3 butir bawang putih digeprek dan dicincang
1/2 buah bawang bombay cincang
1 buah tomat potong kecil-kecil
1 buah daun bawang
1/2 paprika merah dipotong-potong
1/2 paprika kuning dipotong-potong
3 buah jamur merang besar dipotong-potong

Untuk marinate:
1/2 sdt garam, atau secukupnya
1/2 sdt lada hitam bubuk
1 sdm kecap manis
1 sdt kecap ikan (krn nggak punya kecap asin)
2 bawang putih digeprek dan dicincang
sedikit perasan air jeruk nipis

Cara membuat:
1. Aduk bahan marinate dan campurkan dengan daging. Marinated selama paling sedikit 1 jam (aku malah lebih, wong aku tinggal jalan-jalan ke Rotterdam segala).
2. Tumis bawang bombay, bawang putih sampai harum
2. Masukkan marinated daging dan tumis sampai matang
3. Masukkan paprika, tomat dan daun bawang
4. Masukkan jamur merang
5. Masak semuanya sampai matang (tapi aku lebih suka kalau paprikanya masih berasa agak kriuk-kriuk gitu) dan sajikan. Kami makannya pakai sayur pelangi (aku post juga resep ini).

Wednesday, 17 May 2006

Oh... groen afval...., haruskah aku bikin petisi untukmu?

Rating:★★
Category:Other
Dalam hal masak-memasak, pasti ada yang namanya sampah misalnya kulit bawang, kulit pisang, dsb. Seperti kebiasaan penduduk desa kami (bahkan di seluruh Belanda), kami membuangnya di bak sampah yang sudah disediakan oleh pihak gemeente (local authority atau Pemda).

Setiap hari Rabu, setiap anggota keluarga bisa mendorong bak sampah tersebut (karena ada rodanya) ke tepi jalan. Yang biasanya melakukan pendorongan bak sampah ini adalah laki-laki, nggak tahu kenapa kok biasanya laki-laki sampai-sampai Leo protes sama aku yang selalu sesumbar masalah emansipasi tapi giliran ndorong bak sampah kok dia melulu. Lha tapi aku bilang, itu rak gender role nya laki-laki yang salah satunya adalah mendorong bak sampah. He...he...he...

Sebuah truk sampah akan mengambil sampah tersebut dan bahkan mencuci bak di dalamnya. Ya walaupun nggak bersih-bersih amat, lumayanlah daripada nggak sama sekali.

Di desa kami bak sampah tersebut berwarna hijau dan di dalamnya dibagi dua bagian yaitu untuk sampah organik atau groen afval (misalnya kulit wortel, kulit alpukat dsb) dan sampah non organik seperti plastik dsb. Aku menyukai sistem ini karena sampah hijau atau groen afval tersebut kemudian bisa diproses menjadi pupuk hijau. Kan bagus to, daripada dibuang percuma. Selain itu menurutku, dibandingkan dengan pupuk kimia, pupuk hijau jauh lebih bersahabat dengan alam.

Tapi mulai tahun ini aku kecewa sekali. Leo membaca surat dari Gemeente yang menyebutkan bahwa sejak tahun ini, Gemeente tidak akan memisahkan antara limbah organik dan limbah lainnya. Alasannya adalah bahwa setelah diteliti, ternyata penduduk desa tidak membuang limbah hijau terlalu banyak sehingga secara finansial hal ini tidak menguntungkan. Jadi dianggap tidak efisien. Sebagai gantinya mereka akan memberikan satu buah bak sampah lagi warna biru yang dapat digunakan untuk membuang kertas yang tidak terpakai untuk di daur ulang.

Tambahan bak sampah kedua berwarna biru memang menggembirakan karena itu berarti kami, sorry...maksudku Leo, tidak perlu capek-capek lagi pergi ke tempat pembuangan kertas (untuk di-recycle) bila koran ataupun kertas-kertas bekas di rumah sudah menumpuk. Selama ini setiap bulan atau bahkan 2 minggu sekali dia harus ke tempat pembuangan kertas tersebut. Kami percaya bahwa mendaur ulang kertas adalah salah satu cara untuk menyelamatkan hutan, menjaga kelestarian hutan.

Tapi tetap saja aku kecewa karena aku termasuk orang yang paling banyak membuang sampah hijau. Kami suka sekali makan sayur dan buah, jadi limbah hijau kami pasti banyak. Aku tanya Leo, kenapa kok penduduk desa mbuang sampah hijaunya cuma sedikit, apa mereka nggak makan sayur?

Leo bilang, kemungkinan besar, orang makan sayur yang sudah setengah diproses, maksudnya frozen vegetable. Biasanya sayur kayak gini (misalnya buncis) kan tentu saja sudah dikupas, sudah direbus kemudian dikemas dan kemasan-kemasan tersebut dimasukkan ke dalam freezer supaya awet. Selain itu, ada juga sayur-sayur yang sudah dikupas dimasukkan ke plastik kemudian dipajang di cooling part di supermarket.

Lha aku ini kan penggemar sayuran segar, jadi menurutku kalau makan sayuran yang begituan kok nggak afdol. Penginnya ya sayur itu ya yang masih segar, masih ada kulitnya, masih bisa dikupas. Betul to?

Kebetulan memang tidak semua supermarket bisa menyediakan sayuran segar yang masih segar beneran (memang sih tergantung supermarketnya). Kadang sayuran "segar" nya sudah layu penampilannya. Selain itu harganya juga mahal. Sehingga orang lebih memilih sayur kemasan kayak yang aku ceritakan di atas yang harganya relatif tidak terlalu mahal. Belum lagi bila suami-istri bekerja, relatif nggak punya waktu banyak buat ngupas-ngupas sayur. Selain itu seperti kebiasaan di Belanda, orang nggak punya pembantu (karena labour mahal sekali di sini), jadi ya mendingan mereka beli yang sudah dikupas. Itu dugaannya Leo.

Aku bilang sama Leo, kalau alasannya karena harga sayuran segar di supermarket mahal, beli saja di pasar tradisional. Murah dan bisa milih kualitas yang diinginkan.

Leo terus bilang, pasar tradisional di desa kan cuma buka hari Selasa pagi sampai siang, sore sudah bubar. Kalau orang kantoran kan nggak bisa mbolos kantor seenaknya hanya karena mau ke pasar.

Aku bilang lagi, ya ke pasar tradisional Rotterdam to yang bukanya setiap hari Sabtu. Kalau kita bisa, kenapa mereka nggak bisa.

Leo langsung jawab, katanya kalau aku bisa ngajak orang sak desa yang jumlahnya 30 ribuan untuk ke pasar tradisional tiap hari Sabtu untuk beli sayuran segar, ya bolah-boleh saja bikin petisi ke gemeente, minta supaya keputusan tersebut dicabut.

Aku kemudian bergumam: Oh....groen afval.... haruskah aku ngajak orang sak desa bikin petisi untukmu???????

Catatan: Gambar yang aku ambil ini adalah deretan bak sampah yang ditaruh di pinggir jalan pada waktu pagi hari sebelum orang pergi ke kantor dan biasanya diambil lagi oleh para pemilik pada sore hari waktu habis pulang kantor.


Oseng-oseng Makreel


Hari Sabtu lalu kami beli makreel (bukan yang segar tapi yang sudah diasap) di pasar. Nggak tahu bahasa Indonesianya apa, tapi bahasa Belandanya Makreel pokoknya. Yang jelas ini makanan sehat, kabarnya menurunkan kolesterol karena mengandung lemak yang baik.

Hari ini dibuat oseng-oseng. Supaya nggak masak sayur secara terpisah, aku masukkin saja sayuran di oseng-oseng tersebut. Seperti biasa, maunya warna-warni, jadi ada buncis, wortel, kembang kol, paprika hijau, kuning, pokoknya meriah deh. Karena sudah meriah, nggak aku kasih kecap supaya nggak coklat warnanya. Tapi terus terang kelupaan ngasih daun salam dan lengkuas.

Hari ini kebetulan rajin menghaluskan bumbu karena biasanya kalau sedang males, ya bumbunya cuma diiris-iris saja. Aku beri juga jahe kalau enggak amis.

Gini nih cara bikinnya:

Bahan:

1 ekor ikan makreel
100 gram buncis potong-potong
1 buah wortel, potong spt korek api
50 gram kembang kol potong-potong
1/3 paprika hijau, diiris-iris
1/3 paprika kuning diiris-iris
1/2 sdt garam
1/2 sdt gula pasir
1/2 buah tomat potong-potong
1/2 buah bawang bombay cincang kasar
3 buah jamur merang besar, potong-potong
2 cm jahe digeprek
Olive oil untuk menumis

Bumbu yang dihaluskan:
3 butir bawang merah
3 buah bawang putih
2 cabe merah
5 cabe rawit kering (optional)


Cara membuat:

1. Ambil daging ikan (disuwiri) dan buang kulit, kepala, tulang dan ekor, kemudian sisihkan
2. Tumis bawang bombay sampai harum
3. Masukkan bumbu halus dan jahe, tumis sampai harum
4. Masukkan buncis dan masak sampai setengah matang
5. Masukkan wortel
6. Masukkan kembang kol
7. Masukkan makreel yang sudah disuwir-suwiri
8. Masukkan paprika dan tomat
9. Masukkan jamur merang
10. Tambahkan garam dan gula
11. Kalau sudah matang sajikan dengan nasi hangat


I love these purple flowers


Aku bilang sama si mevrouw kalau bunganya cantik-cantik.

Ini hasil motret bunga-bunga milik tetangga ujung jalan. Dari dulu ngincer pengin banget motret ini, tapi nggak kelakon-kelakon. Kebetulan tadi ingat dan kebetulan si Mevrouw pemilik tanaman tersebut ada di luar sedang mencuci mobilnya. Langsung saja aku tanya: "Mag ik een paar photos van deze bloemen maken, mevrouw?" (Boleh nggak saya memotret bunga-bunga ini bu). Si mevrouw mengijinkan. Nggak tunggu lama-lama, tak potretin jeprat-jepret.

Tuesday, 16 May 2006

Soto daging cincang


Punya tauge banyak sekali. Mau diapakan ya? Akhirnya aku memutuskan untuk masak soto, salah satu makanan kegemaran Leo. Karena kami tidak makan daging ayam, maka aku menggunakan daging sapi. Masalahnya Leo tidak suka daging yang berlemak, kalau makan daging sapi maunya daging steak. Lha yo selain mahal, rak yo enggak enak, mosok soto kok pake daging steak. Akhirnya seperti biasa aku menggunakan daging cincang yang tidak terlalu berlemak tapi masih terasa gurihnya.

Kali ini aku menggunakan resep soto ayam Ambengan ala Keluarga Nugraha. Terimakasih ya Mommy Atli, sudah berbagi resep. Tapi lha ya seperti biasa to, untuk menyesuaikan selera kami yang rada aneh, aku modifikasi (karena memang bahannya nggak selalu ada). Aku gunakan juga wortel rebus dan tomat segar sebagai pelengkap. Maksudnya sih selain supaya kelihatan warna-warni, juga nggak neg. Kebetulan aku juga bikin perkedel, jadi yo menurutku pas. Apalagi makannya pakai kerupuk udang.

Inilah resep soto yang aku bikin (untuk resep asli silahkan ke Keluarga Nugraha) :

Bahan:
225 gram daging cincang
1 batang serai
2 lembar daun jeruk purut
1.5 liter air
2 sdt garam
½ sdt kaldu sapi bubuk
1 sdt gula pasir
3 buah jamur merang segar (yang besar)

Bumbu yang dihaluskan:
50 gram udang kupas ditumis
1 siung bawang merah
4 siung bawang putih
1,5 sdt kunyit bubuk
1/2 sdt lengkuas bubuk
1 cm jahe
1,5 sdt merica bubuk
2 butir kemiri sangrai

Pelengkap:
100 gram soun direbus sebentar
150 gram tauge rebus sebentar atau seduh dengan air mendidih
1 wortel dipotong korek api dan direbus
1 batang daun bawang
3 batang daun seledri
2 butir telor, rebus, potong-potong
1 buah tomat dipotong-potong
1 jeruk nipis
Bawang merah goring
Kerupuk udang
Sambal cabe (cabe merah/rawit direbus kemudian dihaluskan)
Kecap manis
Poyah (kerupuk udang dihaluskan bersama bawang putih goreng dan sedikit kaldu bubuk)

Cara:

1. Daging cincang direbus
2. Tumis bumbu halus, serai dan daun jeruk sampai harum
3. Masukkan hasil tumisan ke kuah daging, tambahkan garam, kaldu bubuk dan gula

Penyajian:
Masukkan soun, wortel, taugé, telur, tomat, daun bawang, seledri, dan siram dengan kuah. Di atasnya beri perasan jeruk nipis, sambal, bawang merah goreng, kecap, dan poyah. Dimakan pakai perkedel dan kerupuk udang.

Urusan dapur adalah juga urusan politik

Rating:★★★★★
Category:Other
Ternyata urusan dapur tidak saja urusan bikin kue, mraktekkin resep, dan sejenisnya. Tapi lebih dari itu, misalnya bagaimana bahan makanan tersebut disediakan, siapa yang menanamnya, rekayasa teknologi apa yang dipakai, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam proses tersebut, tarik-menarik kekuatan politik dan sebagainya.

Setelah lama hilang dari peredaran persilatan per-LSM-an, aku di-forward seorang teman tentang sikap politik sebuah serikat tani dalam konferensi FAO (lihat bawah):

Sikap Politik dan Tuntutan FEDERASI SERIKAT PETANI INDONESIA
terhadap Konferensi Regional Asia dan Pacific FAO Ke- 28
Jakarta, Indonesia, 15 -19 Mei 2006

Berkaitan dengan FAO Regional Conference for Asia Pacific yang ke 28 yang dilaksanakan pada tanggal 15 – 19 Mei 2006, kami petani dari berbagai wilayah Indonesia anggota dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), menyatakan pandangan dan sikap politik serta tuntutan sebagai berikut:

Mengingat, World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada bulan November 1996 di Roma. Dimana para pemimpin negara telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmentnya mengurangi separuhnya jumlah penderita kelaparan di dunia pada tahun 2015, yang tahun 1996 telah mencapai 800 juta jiwa dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein.

Kami memandang, hampir 10 tahun setelah WFS dilaksanakan, produksi jumlah makanan di tingkat dunia (Stock pangan) sangat berkecukupan. Namun ditengah jumlah produksi makanan yang berkecukupan itu, angka kelaparan di dunia justru meningkat menjadi 840 juta. Adapun kegagalan tersebut akibat dari prinsip FAO tak mampu menjawab akar persoalan kelaparan yaitu,

Pertama, keyakinan dari FAO bahwa benih rekayasa genetika dapat memenuhi kebutuhan pangan dunia menjadi isapan jempol semata. Dengan sistem pertanian rekayasa genetika hanyalah petani pemilik modal yang kuat atau perusahaan pertanian yang diuntungkan. Saat ini ada 5 perusahaan yang mengontrol 100 persen perdagangan teknologi pertanian. Lebih dari 99 persen tanaman transgenik yang diproduksi di seluruh dunia merupakan milik perusahaan besar.

Kedua, liberalisasi perekonomian dunia yang dipimpin oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) melalui kebijakan Agrement Of Agriculture (AoA) dan kebijakan liberalisasi lainnya oleh IMF dan Bank Dunia.

WTO keluar dari urusan pertanian

Kami memandang, jika masih percaya pada pasar yang liberal itu, maka “helping to build a world without hunger” seperti yang di idamkan FAO tak akan pernah tercapai. Karena yang disebut “pasar dunia” dalam produk pertanian sebenarnya tidak ada. Apa yang terjadi adalah surplus produk susu, beras, serealia dan daging yang didumping oleh negara-negara di Uni Eropa, Amerika dan negara maju lainnya. WTO telah menyebabkan monopoli korporat dibidang pertanian. Perusahaan multi nasional dibidang produksi maupun agrokimia meraup keuntungan mencapai 283, 86 triliun rupiah. Di sisi lain makin naiknya angka kelaparan, peminggiran jutaan rakyat dunia dari penguasaan atas tanah, benih dan pengetahuan lokal. Maka tak ada jalan lain, keluarkan WTO dari dari pertanian dan tegakkan kedaulatan pangan. Karena pertanian dan pangan terutama beras khususnya bagi petani diwilayah asia-pasifik adalah kehidupan, sekaligus sebuah kebudayaan dan kedaulatan.

Segera laksanakan pembaruan agraria dan tegakkan kedaulatan pangan

Kami memandang bahwa tidak dijalankannya Pembaruan agraria oleh pemerintah telah menyebabkan beberapa hal yang pokok yaitu; Pertama, kemiskinan yang mendalam dan meluas pada sektor penghidupan rakyat yang berhubungan dengan lapangan agraria. Kedua, ketimpangan kepemilikan dan pengelolaan atas sumber-sumber agraria adalah akibat langsung dari tidak dijalankannya Pembaruan agraria. Ketidakadilan penguasaan dan kepemilikan sumber agraria tersebut menyebabkan makin tingginya jumlah buruh migrant, pengangguran, urbanisasi, dan meningkatnya keluarga petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Ketiga, akibat langsung tidak dijalankannya Pembaruan agraria adalah semakin meningkatnya Konflik agraria. Sepanjang tahun 1970-2001, di Indonesia tercatat telah terjadi 1.753 kasus-kasus agraria yang bersifat struktural. Konflik tersebut juga menyebabkan terjadinya penangkapan, penembakan, penculikan, kriminalisasi, pembunuhan dan tindakan represif lainnya terhadap para petani dan masyarakat yang memperjuangkan pelaksanaan pembaruan agraria.

Kami memandang bahwa pembaruan agraria sejati, merupakan jalan bagi terciptanya tatanan struktur agraria yang berkeadilan. Pembaruan agraria sejati tersebut akan menghilangkan ketimpangan antara desa dan kota, dan ketimpangan industri dengan pertanian, melahirkan industri nasional yang kuat dan masyarakat yang lebih demokratis. Pembaruan agraria yang dimaksud harus mengenali fungsi tanah, laut, ruang angkasa dan sumber alam lainnya dalam konteks kedaulatan pangan. Melaksanakan kedaulatan pangan berarti menegakkan prinsip penting bahwa hak setiap bangsa memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi, makanan lokal ditingkat lokal dan perdagangan ditingkat wilayah.

Dalam upaya menciptakan kedaulatan pangan, pemerintah haruslah melaksanakan kebijakan–kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan, berlandaskan pada produksi pertanian keluarga dibandingkan dengan kebijakan yang mengedepankan industri dan tingginya asupan dan produksi yang berorientasi eksport. Dengan demikian jika pendekatan melalui hak, maka kedaulatan pangan berarti menyangkut faktor-faktor mulai dari penguasaan, kepemilikan dan pengelolaan alat produksi, proses produksi hingga distribusi dengan hal-hal yang menentukan kebijakan pasar, jaminan pangan berkualitas dan pertanian berkelanjutan.

Untuk itu kami menyatakan sikap dan tuntutan kepada FAO sebagai berikut:

Mendesak FAO pada Regional Conference for Asia Pacific (APRC) yang ke 28 mendengar suara rakyat miskin dan tidak dijadikan legitimasi sebagai upaya pelaksanaan agenda-agenda perusahaan besar, WTO dan Bank Dunia.
FAO segera menjalankan kedaulatan pangan dan mendorong pelaksanaan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan dinegara-negara anggotanya seperti yang diamanatkan hasil Konferensi Internasional mengenai pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan (ICARRD) 2006
WTO keluar dari pertanian dan hentikan liberalisasi perdagangan pertanian


Kepada pemerintah Indonesia, kami Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menuntut:

1. Segera menjalankan pembaruan agraria sejati demi terwujudnya kedaulatan pangan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.Laksanakan Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA 1960 secara konsekwen dan hentikan proses amandemen UUPA 1960.

3.Hentikan kriminalisasi terhadap petani dan segera selesaikan konflik agraria dengan mengutamakan keberpihakan dan keadilan kepada petani, nelayan dan masyarakat adat.

4.Permanenkan kebijakan larangan impor beras

5.Perkuat posisi Indonesia dalam WTO, agar WTO keluar dari pertanian.

Demikian pandangan dan sikap politik serta tuntutan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Pada kesempatan ini juga, kami menyerukan kepada seluruh elemen organisasi petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, pemuda, mahasiswa dan kaum miskin kota untuk menggalang kekuatan untuk menjalankan pembaruan agraria sejati.

Jakarta-Indonesia, 15 Mei 2006
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5 Jakarta – Indonesia 12790
Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426
Email. fspi@fspi.or.id Website. www.fspi.or.id

Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih (Sekretaris Jenderal FSPI); 08163144441,
Achmad Ya’kub (Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye-FSPI); 0817712347


Achmad Ya'kub
Deputy of Policy Studies and Campaign
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
www.fspi.or.id
tlp. +62 21 799 1890 Fax. +62 21 799 3426


Sunday, 14 May 2006

Balado terong paprika


Balado kok pakai paprika? Lha ya biarin wong ini balado Londo kok. He...he...he... sebetulnya kemarin punya terong dan nggak tahu mau diapain. Selain itu punya juga paprika dan cabe. Ya sudah, bikin saja balado terong paprika.

Berhubung baru kali ini Leo makan balado, aku nggak berani bikin pedes. Takut kaget terus nggak mau makan.

Setelah mateng, malah nggak jelas, itu balado terong atau balado paprika. Tapi lumayanlah rasanya.

Ini kira-kira bikinnya:

Bahan:

1 terong besar
1/2 buah paprika merah potong-potong
1/2 buah paprika hijau potong-potong
4 buah bawang merah cincang kasar
1 buah tomat potong kecil-kecil
3/4 sdt garam
1/2 sdt teh gula
4 cabe merah dihaluskan
3 jamur merang besar yang segar diiris-iris
Minyak untuk menggoreng dan menumis

Cara

1. Potong terong bentuk bulat-bulat dan digoreng, angkat dan sisihkan
2. Tumis bawang merah sampai harum, kemudian masukkan cabe giling.
3. Masukkan tomat dan aduk sampai layu

4. Masukkan paprika jamur merang, garam, gula kemudian aduk sampai agak layu
5. Masukkan terong dan setelah matang tercampur, angkat dan hidangkan.

Catatan: kebetulan kami sedang menghidari pemakaian banyak minyak, jadi nggoreng terongnya nggak pakai minyak banyak. Aku pakai sedikit minyak di atas wajan teflon. Kalau sudah kelihatan matang, aku balik dan tambah sedikit lagi miyak.

Friday, 12 May 2006

Ikan goreng bawang


Kebetulan nemuin blognya Mbak Ine, terus tertarik untuk nyonto . Terimakasih ya mbak Ine sudah berbagi resep.

Judul aslinya sih udang ala Udang Bie Fong Tong. Berhubung nggak punya udang sebesar itu (wong di sini juga mahal), akhirnya diganti dengan ikan.

Di freezer cuma punya ikan Victoriabaars yang filet. Ya sudah itu saja yang digunakan.

Aku nggak berani menamai ikan ala Bie Fong Tong, takut kualat sama yang nyiptain. Sebut saja ikan goreng bawang karena bawangnya cukup banyak.

Berhubung Leo punya darah tinggi, nggoreng bawangnya nggak sesuai dengan pakem yang dianjurkan oleh mbak Ine yang seharusnya dicuci, dijemur dsb. Aku sengaja goreng biasa supaya untuk obat darah tinggi juga. Tapi porsinya aku kurangi karena takut getar.

Begini kira-kira bikinnya:

Bahan:

300 gram Victoria baars filet
60 gram bawang putih goreng
1 buah telur
1/4 sdt garam atau secukupnya
1/2 sdt merica hitam (wong merica putih nggak punya)
5 cabe rawit kering (karena yang seger nggak punya)
100 gram maizena
3 buah bawang putih geprek
Minyak untuk menggoreng dan menumis

Cara:

1. potong ikan kecil-kecil 2x2 cm
2. campur ikan dengan merica dan garam dan aduk rata
3. masukkan telur aduk rata
4. masukkan maizena 1,5 sdt dan aduk rata lagi
5. masukkan ikan satu persatu ke maizena kering dan goreng sampai kuning, sisihkan

5. Tumis bawang putih dan cabe kering
6. masukkan ikan
7. masukkan merica hitam (kalau pengin garam lagi bisa ditambah)
8. Masukkan bawang goreng

Catatan: Menurutku resep ini cocok untuk ikan juga, gurih rasanya. Penggunaan lada hitam membuat rasanya makin sedap. Coba deh kalau nggak percaya.


Tumis salmon sayur pelangi


Ceritanya punya bahan serba nanggung, salmon cuma 100 gram, tahu satu biji. courgette satu biji dan paprika warna merah, kuning dan hijau kayak pelangi. Jadi aku masak tumis dan aku namai tumis salmon pelangi. Yang makan cuma aku dan suami, ya suka-suka to aku namai apa saja. Bikinnya kira-kira kayak gini:

Bahan:
100 gram salmon diiris kotak-kotak dan digoreng, sisihkan
1 buah tahu digoreng setengah matang, sisihkan
Paprika merah, hijau dan kuning masing-masing sepertiga.
1 buah courgette
4 buah jamur merang yang besar
1 buah wortel diiris
1 daun bawang diiris-iris
3 bawang putih digeprek
1 ruas jahe digeprek
1/2 sdt Garam
1/2 sdt merica hitam (soalnya merica putih sedang habis)
1 sdt peterseli cincang
1/2 sdm Minyak ikan
1 sdt Minyak wijen
1 sdt kecap manis
1/2 sdt gula pasir
Minyak untuk menggoreng dan menumis

Cara:
1. Tumis bawang putih dengan jahe
2. Masukkan salmon
3. Masukkan wortel
4. Masukkan paprika, jamur merang dan terakhir courgette.
5. Tambahkan bumbu-bumbu sisanya.

Catatan: hati-hati menggoreng salmon karena gampang hancur. Begitu juga waktu menumis juga harus hati-hati. Bisa juga sebelum memasukkan wortel, salmonnya diangkat dulu biar nggak hancur.

Oh ya, aslinya sih warna-warni banget dan segar, bahkan paprikanya masih berasa crunchy karena kami memang suka yang begitu. Tapi nggak tahu nih setelah dipotret kok jadi gelap gitu!

Tuesday, 9 May 2006

Lumpia


Rasanya enak kali ya makan lumpia. Mau beli mahal, 80 Euro cents per piece. Itu juga besarnya cuma sak jenthik. Makan 3 biji nggak nendang. Jadi mendingan bikin saja kali ya walaupun pakai kira-kira kayak gini (ini juga lupa ukurannya kayak apa):

Bahan:

20 kulit lumpia
150 gram rebung
100 gram udang
100 gram daging cincang
1 Bawang bombay di-iris-iris
5 bawang putih dicincang
1 daun bawang
1/2 sendok makan kecap manis
1/2 sendok makan kecap ikan
1 sendok teh merica
1/2 sendok teh garam, atau secukupnya
1 putih telur untuk merekatkan
Minyak goreng (untuk menumis dan menggoreng)

Cara:

Membuat isi:

Tumis bawang bombay dan bawang putih sampai harum
Tambahkan daging cincang sampai berubah warna
Tambahkan udang
Tambahkan rebung dan daun bawang
Tambahkan garam, merica, kecap manis, kecap ikan

Setelah isi matang, tinggal letakkan 1-1,5 sendok makan di atas kulit lumpia dan gulung (lipat seperti amplop).
Beri putih telur untuk merekatkan.
Goreng dalam minyak panas dan banyak
Hidangkan dengan cabe rawit dan acar.