Rating: | ★★★★★ |
Category: | Other |
Setelah lama hilang dari peredaran persilatan per-LSM-an, aku di-forward seorang teman tentang sikap politik sebuah serikat tani dalam konferensi FAO (lihat bawah):
Sikap Politik dan Tuntutan FEDERASI SERIKAT PETANI INDONESIA
terhadap Konferensi Regional Asia dan Pacific FAO Ke- 28
Jakarta, Indonesia, 15 -19 Mei 2006
Berkaitan dengan FAO Regional Conference for Asia Pacific yang ke 28 yang dilaksanakan pada tanggal 15 – 19 Mei 2006, kami petani dari berbagai wilayah Indonesia anggota dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), menyatakan pandangan dan sikap politik serta tuntutan sebagai berikut:
Mengingat, World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) pada bulan November 1996 di Roma. Dimana para pemimpin negara telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmentnya mengurangi separuhnya jumlah penderita kelaparan di dunia pada tahun 2015, yang tahun 1996 telah mencapai 800 juta jiwa dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein.
Kami memandang, hampir 10 tahun setelah WFS dilaksanakan, produksi jumlah makanan di tingkat dunia (Stock pangan) sangat berkecukupan. Namun ditengah jumlah produksi makanan yang berkecukupan itu, angka kelaparan di dunia justru meningkat menjadi 840 juta. Adapun kegagalan tersebut akibat dari prinsip FAO tak mampu menjawab akar persoalan kelaparan yaitu,
Pertama, keyakinan dari FAO bahwa benih rekayasa genetika dapat memenuhi kebutuhan pangan dunia menjadi isapan jempol semata. Dengan sistem pertanian rekayasa genetika hanyalah petani pemilik modal yang kuat atau perusahaan pertanian yang diuntungkan. Saat ini ada 5 perusahaan yang mengontrol 100 persen perdagangan teknologi pertanian. Lebih dari 99 persen tanaman transgenik yang diproduksi di seluruh dunia merupakan milik perusahaan besar.
Kedua, liberalisasi perekonomian dunia yang dipimpin oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) melalui kebijakan Agrement Of Agriculture (AoA) dan kebijakan liberalisasi lainnya oleh IMF dan Bank Dunia.
WTO keluar dari urusan pertanian
Kami memandang, jika masih percaya pada pasar yang liberal itu, maka “helping to build a world without hunger” seperti yang di idamkan FAO tak akan pernah tercapai. Karena yang disebut “pasar dunia” dalam produk pertanian sebenarnya tidak ada. Apa yang terjadi adalah surplus produk susu, beras, serealia dan daging yang didumping oleh negara-negara di Uni Eropa, Amerika dan negara maju lainnya. WTO telah menyebabkan monopoli korporat dibidang pertanian. Perusahaan multi nasional dibidang produksi maupun agrokimia meraup keuntungan mencapai 283, 86 triliun rupiah. Di sisi lain makin naiknya angka kelaparan, peminggiran jutaan rakyat dunia dari penguasaan atas tanah, benih dan pengetahuan lokal. Maka tak ada jalan lain, keluarkan WTO dari dari pertanian dan tegakkan kedaulatan pangan. Karena pertanian dan pangan terutama beras khususnya bagi petani diwilayah asia-pasifik adalah kehidupan, sekaligus sebuah kebudayaan dan kedaulatan.
Segera laksanakan pembaruan agraria dan tegakkan kedaulatan pangan
Kami memandang bahwa tidak dijalankannya Pembaruan agraria oleh pemerintah telah menyebabkan beberapa hal yang pokok yaitu; Pertama, kemiskinan yang mendalam dan meluas pada sektor penghidupan rakyat yang berhubungan dengan lapangan agraria. Kedua, ketimpangan kepemilikan dan pengelolaan atas sumber-sumber agraria adalah akibat langsung dari tidak dijalankannya Pembaruan agraria. Ketidakadilan penguasaan dan kepemilikan sumber agraria tersebut menyebabkan makin tingginya jumlah buruh migrant, pengangguran, urbanisasi, dan meningkatnya keluarga petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Ketiga, akibat langsung tidak dijalankannya Pembaruan agraria adalah semakin meningkatnya Konflik agraria. Sepanjang tahun 1970-2001, di Indonesia tercatat telah terjadi 1.753 kasus-kasus agraria yang bersifat struktural. Konflik tersebut juga menyebabkan terjadinya penangkapan, penembakan, penculikan, kriminalisasi, pembunuhan dan tindakan represif lainnya terhadap para petani dan masyarakat yang memperjuangkan pelaksanaan pembaruan agraria.
Kami memandang bahwa pembaruan agraria sejati, merupakan jalan bagi terciptanya tatanan struktur agraria yang berkeadilan. Pembaruan agraria sejati tersebut akan menghilangkan ketimpangan antara desa dan kota, dan ketimpangan industri dengan pertanian, melahirkan industri nasional yang kuat dan masyarakat yang lebih demokratis. Pembaruan agraria yang dimaksud harus mengenali fungsi tanah, laut, ruang angkasa dan sumber alam lainnya dalam konteks kedaulatan pangan. Melaksanakan kedaulatan pangan berarti menegakkan prinsip penting bahwa hak setiap bangsa memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi, makanan lokal ditingkat lokal dan perdagangan ditingkat wilayah.
Dalam upaya menciptakan kedaulatan pangan, pemerintah haruslah melaksanakan kebijakan–kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan, berlandaskan pada produksi pertanian keluarga dibandingkan dengan kebijakan yang mengedepankan industri dan tingginya asupan dan produksi yang berorientasi eksport. Dengan demikian jika pendekatan melalui hak, maka kedaulatan pangan berarti menyangkut faktor-faktor mulai dari penguasaan, kepemilikan dan pengelolaan alat produksi, proses produksi hingga distribusi dengan hal-hal yang menentukan kebijakan pasar, jaminan pangan berkualitas dan pertanian berkelanjutan.
Untuk itu kami menyatakan sikap dan tuntutan kepada FAO sebagai berikut:
Mendesak FAO pada Regional Conference for Asia Pacific (APRC) yang ke 28 mendengar suara rakyat miskin dan tidak dijadikan legitimasi sebagai upaya pelaksanaan agenda-agenda perusahaan besar, WTO dan Bank Dunia.
FAO segera menjalankan kedaulatan pangan dan mendorong pelaksanaan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan dinegara-negara anggotanya seperti yang diamanatkan hasil Konferensi Internasional mengenai pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan (ICARRD) 2006
WTO keluar dari pertanian dan hentikan liberalisasi perdagangan pertanian
Kepada pemerintah Indonesia, kami Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menuntut:
1. Segera menjalankan pembaruan agraria sejati demi terwujudnya kedaulatan pangan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.Laksanakan Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA 1960 secara konsekwen dan hentikan proses amandemen UUPA 1960.
3.Hentikan kriminalisasi terhadap petani dan segera selesaikan konflik agraria dengan mengutamakan keberpihakan dan keadilan kepada petani, nelayan dan masyarakat adat.
4.Permanenkan kebijakan larangan impor beras
5.Perkuat posisi Indonesia dalam WTO, agar WTO keluar dari pertanian.
Demikian pandangan dan sikap politik serta tuntutan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Pada kesempatan ini juga, kami menyerukan kepada seluruh elemen organisasi petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, pemuda, mahasiswa dan kaum miskin kota untuk menggalang kekuatan untuk menjalankan pembaruan agraria sejati.
Jakarta-Indonesia, 15 Mei 2006
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5 Jakarta – Indonesia 12790
Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426
Email. fspi@fspi.or.id Website. www.fspi.or.id
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih (Sekretaris Jenderal FSPI); 08163144441,
Achmad Ya’kub (Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye-FSPI); 0817712347
Achmad Ya'kub
Deputy of Policy Studies and Campaign
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
www.fspi.or.id
tlp. +62 21 799 1890 Fax. +62 21 799 3426
thanks for sharing mbak
ReplyDeleteSama-sama bu. Ini sudah lama kok infonya. Aku sendiri malah sudah lupa....he...he...he...
ReplyDeleteMakasih buat infonya say.
ReplyDeleteSama-sama, say....aku sendiri sekarang kalau disuruh baca yang sulit-sulit kok susah ya nangkepnya....mungkin makin tua itu kali ya....he...he...he...
ReplyDelete