Wednesday, 17 May 2006

Oh... groen afval...., haruskah aku bikin petisi untukmu?

Rating:★★
Category:Other
Dalam hal masak-memasak, pasti ada yang namanya sampah misalnya kulit bawang, kulit pisang, dsb. Seperti kebiasaan penduduk desa kami (bahkan di seluruh Belanda), kami membuangnya di bak sampah yang sudah disediakan oleh pihak gemeente (local authority atau Pemda).

Setiap hari Rabu, setiap anggota keluarga bisa mendorong bak sampah tersebut (karena ada rodanya) ke tepi jalan. Yang biasanya melakukan pendorongan bak sampah ini adalah laki-laki, nggak tahu kenapa kok biasanya laki-laki sampai-sampai Leo protes sama aku yang selalu sesumbar masalah emansipasi tapi giliran ndorong bak sampah kok dia melulu. Lha tapi aku bilang, itu rak gender role nya laki-laki yang salah satunya adalah mendorong bak sampah. He...he...he...

Sebuah truk sampah akan mengambil sampah tersebut dan bahkan mencuci bak di dalamnya. Ya walaupun nggak bersih-bersih amat, lumayanlah daripada nggak sama sekali.

Di desa kami bak sampah tersebut berwarna hijau dan di dalamnya dibagi dua bagian yaitu untuk sampah organik atau groen afval (misalnya kulit wortel, kulit alpukat dsb) dan sampah non organik seperti plastik dsb. Aku menyukai sistem ini karena sampah hijau atau groen afval tersebut kemudian bisa diproses menjadi pupuk hijau. Kan bagus to, daripada dibuang percuma. Selain itu menurutku, dibandingkan dengan pupuk kimia, pupuk hijau jauh lebih bersahabat dengan alam.

Tapi mulai tahun ini aku kecewa sekali. Leo membaca surat dari Gemeente yang menyebutkan bahwa sejak tahun ini, Gemeente tidak akan memisahkan antara limbah organik dan limbah lainnya. Alasannya adalah bahwa setelah diteliti, ternyata penduduk desa tidak membuang limbah hijau terlalu banyak sehingga secara finansial hal ini tidak menguntungkan. Jadi dianggap tidak efisien. Sebagai gantinya mereka akan memberikan satu buah bak sampah lagi warna biru yang dapat digunakan untuk membuang kertas yang tidak terpakai untuk di daur ulang.

Tambahan bak sampah kedua berwarna biru memang menggembirakan karena itu berarti kami, sorry...maksudku Leo, tidak perlu capek-capek lagi pergi ke tempat pembuangan kertas (untuk di-recycle) bila koran ataupun kertas-kertas bekas di rumah sudah menumpuk. Selama ini setiap bulan atau bahkan 2 minggu sekali dia harus ke tempat pembuangan kertas tersebut. Kami percaya bahwa mendaur ulang kertas adalah salah satu cara untuk menyelamatkan hutan, menjaga kelestarian hutan.

Tapi tetap saja aku kecewa karena aku termasuk orang yang paling banyak membuang sampah hijau. Kami suka sekali makan sayur dan buah, jadi limbah hijau kami pasti banyak. Aku tanya Leo, kenapa kok penduduk desa mbuang sampah hijaunya cuma sedikit, apa mereka nggak makan sayur?

Leo bilang, kemungkinan besar, orang makan sayur yang sudah setengah diproses, maksudnya frozen vegetable. Biasanya sayur kayak gini (misalnya buncis) kan tentu saja sudah dikupas, sudah direbus kemudian dikemas dan kemasan-kemasan tersebut dimasukkan ke dalam freezer supaya awet. Selain itu, ada juga sayur-sayur yang sudah dikupas dimasukkan ke plastik kemudian dipajang di cooling part di supermarket.

Lha aku ini kan penggemar sayuran segar, jadi menurutku kalau makan sayuran yang begituan kok nggak afdol. Penginnya ya sayur itu ya yang masih segar, masih ada kulitnya, masih bisa dikupas. Betul to?

Kebetulan memang tidak semua supermarket bisa menyediakan sayuran segar yang masih segar beneran (memang sih tergantung supermarketnya). Kadang sayuran "segar" nya sudah layu penampilannya. Selain itu harganya juga mahal. Sehingga orang lebih memilih sayur kemasan kayak yang aku ceritakan di atas yang harganya relatif tidak terlalu mahal. Belum lagi bila suami-istri bekerja, relatif nggak punya waktu banyak buat ngupas-ngupas sayur. Selain itu seperti kebiasaan di Belanda, orang nggak punya pembantu (karena labour mahal sekali di sini), jadi ya mendingan mereka beli yang sudah dikupas. Itu dugaannya Leo.

Aku bilang sama Leo, kalau alasannya karena harga sayuran segar di supermarket mahal, beli saja di pasar tradisional. Murah dan bisa milih kualitas yang diinginkan.

Leo terus bilang, pasar tradisional di desa kan cuma buka hari Selasa pagi sampai siang, sore sudah bubar. Kalau orang kantoran kan nggak bisa mbolos kantor seenaknya hanya karena mau ke pasar.

Aku bilang lagi, ya ke pasar tradisional Rotterdam to yang bukanya setiap hari Sabtu. Kalau kita bisa, kenapa mereka nggak bisa.

Leo langsung jawab, katanya kalau aku bisa ngajak orang sak desa yang jumlahnya 30 ribuan untuk ke pasar tradisional tiap hari Sabtu untuk beli sayuran segar, ya bolah-boleh saja bikin petisi ke gemeente, minta supaya keputusan tersebut dicabut.

Aku kemudian bergumam: Oh....groen afval.... haruskah aku ngajak orang sak desa bikin petisi untukmu???????

Catatan: Gambar yang aku ambil ini adalah deretan bak sampah yang ditaruh di pinggir jalan pada waktu pagi hari sebelum orang pergi ke kantor dan biasanya diambil lagi oleh para pemilik pada sore hari waktu habis pulang kantor.


3 comments:

  1. Kalau saya, semua sisa makanan, kulit dari kentang dan lain saya buat di depan, ada taman kecil didepan rumah yg khusus dielihara binatang,mereka senang banget kalau suami ku bawa makanan sisa.
    Jadi tempat sampah hijau hanya utk, kalau kami potor tanaman utk pagar aja.

    ReplyDelete
  2. Wah enak ya kalau ada tempat seperti itu. Aku bingung kalau ada makanan yang nggak bisa dimakan lagi. Misalnya kadaluwarsa karena kelupaan. Akhirnya ya harus dibuang walaupun dengan rasa bersalah...
    Jadi kalau beli makanan dan masak makanan harus ati-ati, gimana caranya nggak bakalan dibuang.....

    ReplyDelete