Terdampar di JFK airport pada suatu Jumat malam tahun 1996. Kelelahan luar biasa setelah terbang dari Amsterdam. Yang membuat capek sebetulnya adalah harus menunggu, menunggu dan menunggu di ruang tunggu Amsterdam Schiphol Airport. Pesawat delayed karena cuaca buruk.
Begitu menginjakkan kaki di bandara internasional JFK, aku merasa sangat asing. Airport yang sangat guede dan sibuknya luar biasa membuatku makin merasa kelelahan. Orang segitu buanyak berlalu lalang tapi tak satupun yang aku kenal. Baru pertama kali itulah aku menginjakkan kaki di Amerika. Aku mengikuti arah menuju imigrasi. And....OMG....antrean puanjangnya luar biasa. Mungkin banyak pesawat yang landing pada waktu hampir bersamaan. Yang jelas aku harus sabar dan pasrah untuk mengikuti arus antrian.
Seingatku jam pada waktu itu sudah menunjukkan lebih dari pk 9 malam (atau malah sudah jam 10 malam). Sudah ngga mungkin lagi terkejar. Aku seharusnya sudah harus tiba di tempat penginapan 3 atau bahkan 4 jam jam yang lalu. Masih ingat e-mail yang aku baca dari staff penginapan beberapa hari sebelumnya.
"Please show up before 11 pm because the doorman will leave the flat at 11....."
Wis alamat telat ini sampai di sana. Harus pasrah srah, nanti aja cari penyelesaian, yang penting sekarang beres dulu urusan di airport termasuk imigrasi dan ngambil bagasi. Setelah menunggu lama, akhirnya tiba giliranku menyerahkan passport ke petugas imigrasi. Aku serahkan juga surat undangan dari sebuah human rights organization yang mengundangku datang ke Amerika.
"Bisnis or pleasure?" tanya petugas imigrasi
"Both..........." jawabku.
Begitu dia membaca surat undangan yang aku serahkan, langsung passport ku di stempel, tanpa pertanyaan macem-macem. Setelah itu aku langsung meninggalkan bagian imigrasi walaupun mungkin waktu itu aku masih mendengar si petugas ngomong: "next....." untuk orang berikutnya.
Mulailah aku berjuang mengambil bagasi. Berat sekali karena banyak dokumen dan buku-buku tentang human rights di koper tersebut. Aku memang baru saja mengikuti human rights course di Den Haag dan Geneva. Dari Belanda, aku menuju Amerika untuk sebuah urusan. Pada waktu itu jamannya Suharto, aku tidak mungkin mengirimkan buku-buku tersebut lewat pos. Bisa-bisa ngga sampai di tanganku atau malah menjadi bermasalah. Konyol kalau harus masuk penjara untuk sesuatu yang seharusnya bisa dihindari. Iya kan?
Akhirnya aku harus bawa dokumen-dokumen yang berat itu bersamaku, berharap tidak akan diperiksa di Sukarno Hatta airport. Cuma masalahnya, New York City bukan tempat tujuan akhirku. Aku masih harus mengembara ke tempat-tempat lain. Bisa bayangin kan harus tiap kali angkat bagasi dari satu airport ke airport lainnya.
Ketika akhirnya aku sudah bisa memperoleh koperku, aku berusaha untuk mencari arah untuk ke halte bus. Sebelumnya aku dikasih tahu oleh staf LSM yang mengundangku untuk naik bis nomer tertentu dari JFK airport kemudian stop di suatu tempat (kalau ngga salah di depan kantor pengadilan, mbuh wis lali wong wis suwi). Dari situ disuruh meneruskan perjalanan dengan naik taksi ke penginapan.
Pada waktu itu hape belum ngetrend. Kalaupun ada telpon, pasti telpon umum. Lha artinya harus punya coin to (atau pake kartu telpon)? Padahal duit yang aku punya adalah lembaran dollar dan guilders (sisa dari perjalanan di Belanda). Jadi aku ngga bisa menghubungi doorman yang jaga flat maupun staff organisasi yang mengundangku.
Karena sudah terlalu capek, aku langsung menuju bagian informasi untuk menanyakan dimana letak halte bis sambil aku masih mendorong trolly berisi koperku. Aku masih inget banget, petugasnya seorang black American woman. Dengan wajah dingin tanpa ekspresi, dia menunjukkan arah.
Tiba di halte, ternyata bisku baru saja lewat. Berhubung malam hari, frekuensi bis sangat jarang. Akhirnya aku harus menunggu cukup lama. Aku terus terang ngga berani naik taksi, perasaan takut gitu lho kalau naik taksi sendirian. Di tempat asing seperti itu, selagi ada bis, aku lebih memilih naik bis yang sudah pasti jalurnya dan bareng-bareng orang lain.
Akhirnya menunggu, menunggu dan menunggu lagi dalam kedinginan dan kegelapan. Aku pake jaket, tetap saja merasa kedinginan walaupun waktu itu sudah bulan Juni menjelang summer. Memang ada lampu tapi seingatku tidak terlalu terang banget. Kadang-kadang halte bener-bener sepi pi ngga ada seorangpun maupun bis di sana. Aku dulu kok yo berani ya.
Akhirnya bisku datang. Seingatku penumpangnya waktu itu tidak terlalu banyak, wong sudah malam. Ternyata perjalanan dari JFK ke kota lumayan jauh. Ngga ngira aku sejauh itu. Atau aku saja yang waktu itu kelelahan, jadi perasan kok ngga nyampe-nyampe. Aku ngga ingat berapa lama, apakah setengah jam atau malah one hour drive. Kalau naik taksi nampaknya akan lumayan mahal. Yang jelas waktu itu ngga macet sama sekali.
Tiba di halte pemberhentian, aku turun. Aku termangu lagi dengan 2 koper di kanan kiriku. Satu koper besar dan satu koper kecil yang menemaniku. Ada taksi yang menawariku. Aku langsung naik dan minta diantarkan ke tempat penginapan sambil menunjukkan alamat yang tertulis di sebuah kertas.
Waktu itu aku bener-bener gambling untuk datang ke penginapan. Siapa tahu doorman masih disana, walaupun secara logika ngga mungkin karena aku sudah diwanti-wanti untuk datang sebelum jam 11 malam. Tapi ngga tahu kenapa, waktu itu aku tetap meneruskan perjalanan sesuai rencana.
Di sepanjang jalan aku ngobrol dengan sopir taksi. Dia berkulit putih dan aksen Amerikanya sangat kental. Dia nasihati aku supaya berhati-hati. Jangan sekali-kali masuk ke daerah Bronx kalau sudah malam karena daerah tersebut cukup rawan. Dia juga cerita tentang kriminalitas di sana. Lumayan ngeri juga ceritanya walaupun terus terang aku juga sudah lupa ceritanya secara detil.
Akhirnya kami tiba di depan penginapan. Sebuah gedung flat yang menjulang tinggi. Sepanjang jalan tersebut memang gedung-gedung tinggi yang rapat berderet satu sama lain. Kalau dilihat penampakannya, flat tersebut bukan flat yang modern, flat sederhana yang menjulang ke atas. Aku waktu itu ngga peduli dengan kondisi flat, yang penting aku bisa tidur dengan aman karena sudah capek luar biasa.
Ternyata pintu flat sudah terkunci. Aku ngga bisa masuk sama sekali. Jadi doorman memang sudah meninggalkan flat tersebut. Hanya penghuni flat saja yang bisa akses ke dalam karena mereka memiliki kunci.
O MY GOD......aku berada di tengah-tengah kota New York pada jam satu pagi dan tidak bisa memasuki tempat tidur yang seharusnya sudah aku tiduri beberapa jam yang lalu.
Bisa dibayangkan jam satu pagi, di tengah kota NEW YORK, yang bagiku adalah kota raksasa yang paling guede sak dunia. Sebuah kota pertama di Amerika yang aku injak tanahnya. Apa yang harus aku lakukan?!?!?! Jam SATU PAGI DI NEW YORK diantara gedung-gedung beton tinggi besar menjulang seperti raksasa!!!
Apa yang terjadi kemudian? Jawabannya cuma satu: UNBELIEVABLE. Bagiku sangat AMAZING. Setiap orang yang aku ceritain hampir ngga ada yang percaya. Apalagi kalau aku bercerita ke American citizen, tambah ngga ada yang percaya. Ikutilah kisah selanjutnya.
Note: The photo is taken from here.
(BERSAMBUNG)
penasaran...penasaran....lanjutin dong mbak....:)
ReplyDeleteThn 1996, immigrasi Amerika masih lunak....sekarang nggak mungkin kita lolos dg cepat....krn screennya lebih ketat....
ReplyDeleteselalu ada keajaiban... menanti dengan tak sabar
ReplyDeletehehehe.... mbak kuwi depan pengadilan cedak omahku, dadine nek lungo NY numpak bis Q10 tak pethuk wis... hahaha :)) ditunggu crito selanjutnya, kuwi flatnya dimana sih? masih di Queens ato udah di Manhattan?
ReplyDeletesakjane kalo di th 96 naik taxi dr JFK ke Queens ga gitu mahal kok, kali kalo sampe tempatku paling mahal $15 waktu itu... kasihan banget kan sengsoro tho yo ngotong2 koper berat naik turun bis :(
ditunggu lanjutannya mba sri...
ReplyDeleteMasih nyari judul yang tepat untuk bagian kedua. he..he..he..
ReplyDeleteDulu kan ancaman terorisme ngga kayak sekarang. Sudah gitu Amerika juga pengin mencegah kaum imigran ilegal. Jadi ya ngga heran kalau sekarang makin ketat.
ReplyDeleteKeajaiban memang bisa terjadi dimana-mana ya.....
ReplyDeleteSabar....sabar....masih mikir judul nih....hi...hi...hi...
O dekat rumah ya? Walah kok yo ngga tahu, lha wong yo mbiyen durung kenal sih ya....mungkin yo pancen kudu ngono critané....he..he..he..nek ora malah ora dadi crito. Anané ming posting gambar-gambar narcis. he..he..he..
ReplyDeleteFlatnya aku lupa letaknya. Pokoké stasiun metro terdekat adalah Columbia University. Aku inget banget kalau itu dekat Columbia University, soalé nek kesasar numpak metro, pokoké mbalik mrono. Lha kalau sekitar universitas tsb, masuk daerah endi? Queens or Manhattan?
OK.....sabar ya....Insya Allah cepat tayang. he..he..he..kayak sinetron....
ReplyDeleteAsekkkkk, akhirnya diposting juga.
ReplyDelete*Pembaca setia yang menanti dengan sabar lanjutannya*
Njenengan nggak nganggo kleleran barang?
Lha timbang setiap kali ditakokké yo sisan diposting. he..he..he..
ReplyDeleteKleleran? Lha itu tunggu di bagian kedua......
Hehehehehe...
ReplyDeleteIki jenenge cerewet membawa berkah :))
th 96 aku belum ditempat sekarang mbak... masih njomblo & sekulah.... hahaha!
ReplyDeletekalo di daerah Columbia itu di Manhattan, wis cedak Harlem... daerah Morningside Heights, tapi daerahnya bagus & cukup aman kok.
jebule lagi kedayohan tamu tho... makane kok sepiiiiii.... hahaha :D
ReplyDeleteLha timbang tiap kali kuping gembrebeg dicreweti, yo wis ditulis pisan....he..he..he..
ReplyDeleteWaktu itu aku ora ngerti aman opo ora. Walaupun ngga panik, tetep aja puyeng karena ngga tahu utara selatang, berada di tempat asing, kena dinginnya angin malam....masih ditambah capek yang luar biasa...
ReplyDeleteKedayohan tamu, masak mie goreng, tapi ora bagi-bagi.....he..he..he..mulakno sepi yo.....
ReplyDeleteuuuuh... mba Sri bikin orang penasaran aja...
ReplyDeleteUntung udah ada bagian kedua...meluncur ke TKP...
ReplyDelete*gak sabar*
Memang disengaja. he...he..he...
ReplyDeleteSoale kedawan Ning kalau aku tulis dalam 1 journal, jadi aku pecah.....
Kayak ada kasus apa saja, sampai ke TKP segala......he..he..he..
ReplyDeleteserius baca dulu :D
ReplyDeleteWah jadi bayangin Yola mengerutkan kening karena membaca serius....
ReplyDeletehehehehe....
ReplyDeletejarang neng omah, kluyuran thok. Dan yang jelas mangan pecel kumplit loh. Pake peyek :)
Lha endi peyeké? Aku kok ora komanan.....
ReplyDeletepenasaran banget... lanjutannnya mana Mbak Sri.. bikin orang penasaran aja :)
ReplyDeleteHe..he..he..kan sudah ada lanjutannya....
ReplyDelete