Karena pesawat murah, maka perusahaan ingin menekan semua biaya serendah mungkin. Misalnya untuk tiket, penumpang bisa pesen lewat internet. Ini artinya mereka tidak perlu menyediakan orang khusus untuk melayani pemesanan tiket. Walaupun sebetulnya kalau mau pesan tiket ke sana juga bisa, tapi ngapain susah-susah telpon atau pergi ke sana segala kalau sudah bisa dilakukan secara online. Setelah pesan lewat internet, beberapa detik kemudian kami mendapat konfirmasi lewat e-mail yang dilampiri dengan itinerary travel. Itinerary travel ini dapat diprint sendiri di rumah. Jadi kalau suatu kali ilang, masih bisa nge-print lagi beberapa kali sak sukanya.
Dengan menunjukkan itinerary travel dan identitas diri waktu check in, kami memperoleh boarding pass. Waktu itu aku sudah membayangkan boarding pass yang akan kami terima kayak boarding pass pesawat-pesawat lain yaitu dicetak di sebuah kertas tebal kayak karton, terus di belakangnya ada block item memanjang kayak yang ada di credit card atau ATM.
Lha ternyata boarding pass yang kami terima cuma selembar kertas tipis, kayak struk supermarket. Itu saja di-jegleg sama petugasnya di itinerary travel yang kami print dari rumah. Wis jan pengiritan habis-habisan. hi...hi...hi... Yo wis lah, wong namanya tiket murah kok minta macem-macem. Yang penting slamet, mau boarding pass nya dicetak di kertas mewah ataupun di kertas koran, yang penting ada. Cuma kalau dicetak di kertas tipis kayak struknya supermarket, rak yo bisa cepet ilang ya tulisannya.
Karena nggak ada nomor seat, maka setiap penumpang harus mencari seat yang diinginkan. Waktu itu adikku sudah kasih tahu, kalau naik pesawat murah, orang akan rebutan untuk naik pesawat. Lha yo mungkin pake sikut-sikutan segala kali ya kayak mau naik KRL (sudah bayangin yang terjelek. he...he...he...).
Ternyata kenyataannya tidak sejelek itu. Walaupun penumpang buru-buru (takut ketinggalan pesawat kali ya?), tapi nggak pake sampai sikut-sikutan dan rebutan yang keterlaluan. Menurutku sih cukup tertiblah. Mungkin karena sebagian penumpang sudah sepuh (tua) jadi lebih kalem, mungkin karena nggak semua seat terisi jadi penumpang lebih leluasa memilih, mungkin masih terlalu pagi (wong terbangnya saja jam 06.35 dari Jakarta) apalagi ditambah belum sarapan jadi belum ada tenaga untuk dorong-dorongan, mungkin ada yang baru kali itu naik pesawat (lha gimana mau rebutan wong ngelihat dalamnya pesawat saja belum pernah), mungkin karena kami naik dari belakang dan memilih duduk di belakang sementara orang lain maunya duduk di depan jadi kami nggak tahu bagaimana orang lain berebutan tempat duduk. Tapi yang jelas semua penumpang dapat tempat duduk, kalau perlu malah dobel kalau seat sebelahnya kosong.
Ada beberapa hal unik yang saya temui di Air Asia yang belum pernah saya temui di pesawat lain. Misalnya sandaran tempat duduknya rendah. Buat orang Indonesia atau Asia lainnya sih nggak masalah karena masih bisa menyandarkan punggung sampai dengan kepala. Tapi bagi Leo yang tinggi, dia tidak bisa menyandarkan seluruh punggungnya. Aku pengin ketawa melihat dia duduk di seat Air Asia, kayak duduk di bis kota PPD saja. he....he....he.... Tapi untungnya perjalanan cuma memakan waktu 1 jam 40 menit, jadi ya tidak terlalu masalah buat dia.
Hal lain lagi adalah pengumuman tentang pentingnya mematikan pesawat seluler. Perasaan naik pesawat-pesawat lain, nggak pernah pramugarinya mengumumkan sampai berkali-kali supaya penumpang mematikan mobile phone atau HP nya. Biasanya pengumuman cuma sekali to, apalagi kalau ada videonya. Tapi kalau naik Air Asia, pengumuman ini akan terus diulang berkali-kali, bosan atau tidak bosan ya harus didengar wong kita punya kuping. Pengumuman berulang kali ini nggak hanya terjadi pada waktu perjalanan Jakarta-Padang, tapi juga waktu baliknya. Waktu itu aku sampai berpikir, apakah orang Indonesia begitu tidak disiplinnya, sampai-sampai pengumuman untuk mematikan HP diulang berkali-kali.
Karena saking kepinginnya mereka menekankan segi keselamatan, sampai-sampai di tersedia kartu tentang bagaimana prosedur check dan re-check mesin dsb dilakukan. Biasanya kan yang tersedia cuma kartu tentang prosedur penyelamatan dalam keadaan darurat. Di sini tersedia juga kartu check dan re-check mesin dan peralatan lainnya yang diletakkan di kantong di depan tempat duduk. Aku ya baca juga walaupun sekilas, panjang banget jé.
Yang paling unik dari semuanya dan belum pernah aku alami di pesawat lain adalah pengumuman yang disampaikan oleh pramugari sebelum tinggal landas. Seperti yang terjadi di pesawat lain kan ada demo tentang petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat. Pake bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Tapi kalimat terakhir yang diucapkan oleh pramugari sebelum take off, belum pernah aku dengar di pesawat lainnya.
Waktu pramugari mengucapkan dalam bahasa Indonesia, Leo masih tidak bergeming, dia pikir biasa saja kayak pengumuman di pesawat-pesawat lainnya. Tapi begitu pramugari mengucapkan dalam bahasa Inggris yang bunyinya kira-kira begini:
"Ladies and gentlemen, let's pray together based on your religion and belief"
Langsung Leo nengok ke aku. Dia tanya:
"Is this a good sign or a bad sign?"
Waduh...ya nggak tahu aku mau jawab apa, wong namanya baru kali ini naik Air Asia. Terus terang baru kali itu aku mendengar pengumuman seperti ini. Aku pernah naik berbagai macam pesawat termasuk Malaysian Airlines tapi nggak pernah mereka mengumumkan seperti ini. Mungkin maksudnya baik, tapi terus terang orang kan jadi punya pikiran macem-macem, ini pesawat aman atau enggak ya.....
Yang membuat suasana sendu adalah sebelum ada pengumuman yang meminta penumpang untuk berdoa, ada seorang penumpang yang mengaji (membaca Al Qur'an) di pesawat yang gaungnya terdengar oleh setiap orang. Waktu itu suasana pesawat sendu dan sepi. Lha setelah selesai ngaji, kok ada pengumuman untuk berdoa sebelum pesawat tinggal landas. Bisa dibayangin to suasananya, gimana gitu.
Waktu aku cerita ke adik, dia malah nanya:
"Terus setelah itu ada lagu gugur bunga?"
"Ah...kamu ini nakut-nakutin aja...."
Waktu aku cerita ke teman-teman, mereka nggak bisa menahan tawa.
Mereka bilang:
"Orang nggak usah disuruh berdoa, pasti sudah berdoa...."
Mungkin mereka mau menambahkan: "apalagi naik pesawat murah....harus ekstra doanya...."
Ternyata pengumuman untuk berdoa ini diulang lagi pada waktu kami balik dari Padang ke Jakarta. Jadi cuma faktor kebiasaan saja.
Tapi yang jelas adalah tinggal landas dan mendarat dilakukan secara mulus. Bahkan aku bisa merasakan landing nya di Padang alus sekali. Waktu landing di Jakarta, aku tidak terlalu memperhatikan apakah landingnya alus sekali atau tidak. Wong kami berdua waktu itu sama-sama terserang diare, jadi ya kami lebih memikirkan perut daripada halus-kasarnya landing.
Catatan: tulisan ini saya revisi sedikit soalnya tulisan sebelumnya rancu antara e-ticket dan itinerary travel. Yang bisa diprint berkali-kali di rumah adalah itinerary travel. Menurut Leo, e-ticket adalah tiket yang ada didalam komputer (bukan tiket fisik dalam bentuk karton ataupun kertas). Yang menghubungkan antara e-ticket dan kita adalah nomor passport karena pada waktu kita pesan e-ticket, kita ditanya nomor identitas kita. Jadi logikanya, kalau kita setor muka di airport dengan membawa passport sudah cukup untuk memperoleh boarding pass. Ini menurutku lho ya. Itinerary kan cuma sekedar jadwal bepergian saja walaupun di dalamnya memuat hal-hal seperti booking number, nama, alamat, tujuan, jadwal keberangkatan dan kepulangan, no flight, pembayaran dsb. Itinerary travel ini bisa kita print berkali-kali di rumah (atau di tempat lain) sesuka kita.